Pengaruh Kekuasaan terhadap Konservasi Cagar Budaya Jakarta
›
Pengaruh Kekuasaan terhadap...
Iklan
Pengaruh Kekuasaan terhadap Konservasi Cagar Budaya Jakarta
Setiap rezim kekuasaan di Indonesia biasanya memengaruhi upaya konservasi bangunan-bangunan tua. Dalam setiap era pemerintahan, ada kebijakan yang berbeda-beda tentang peninggalan, sejarah, dan warisan.
Oleh
Stefanus Ato
·3 menit baca
Setiap rezim kekuasaan di Indonesia biasanya memengaruhi upaya konservasi bangunan-bangunan tua. Dalam setiap era pemerintahan, ada kebijakan yang berbeda-beda tentang peninggalan, sejarah, dan warisan yang perlu diingat, dijaga, atau ditinggalkan.
Hal ini terlihat dari kebijakan konservasi dari masa ke masa yang dipamerkan dalam pameran bertema ”Segar Bugar”, kisah konservasi cagar budaya di Jakarta dari tahun 1920-an sampai sekarang. Pameran yang berlangsung di Museum Bank Indonesia, Jakarta, itu dimulai Kamis (24/10/2019) sampai 24 November 2019.
Di sana, pengunjung dapat menyaksikan arsip-arsip berupa dokumen dan foto konservasi cagar budaya dari masa Hindia Belanda hingga masa sekarang. Ada juga miniatur monumen-monumen, candi, dan patung yang dibangun pada masa sebelum penjajah, masa penjajah, hingga masa kemerdekaan. Pameran ini bertujuan menelusuri kebijakan konservasi cagar budaya dari setiap rezim sejak zaman Batavia.
Konservasi cagar budaya itu dibagi dalam empat fase, mulai dari masa Hindia Belanda pada 1850-an sampai 1920-an, masa pendudukan Jepang tahun 1943 sampai 1945, masa awal kemerdekaan tahun 1950-an sampai 1960-an, dan masa-masa proses penataan kembali dari tahun 1970-an sampai sekarang.
Konservasi cagar budaya pertama masuk Hindia Belanda dibawa oleh sekelompok intelektual yang tergabung dalam lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Lembaga ini pada tahun 1873 menugaskan fotografer Isodore van Kinsbergen untuk membuat serangkaian foto mengenai Candi Borobudur.
Rangkaian foto itu dikerjakan selama 12 tahun dan menghasilkan 12 album yang berjudul ”Boroboedoer Album”. Praktik fotografi dengan logika pembekuan citra itu berpengaruh besar dalam pendokumentasian dan pelestarian cagar budaya di masa itu.
Praktik pembekuan tersebut kemudian diikuti dengan terbitnya Monumenten Ordonantie pada 1931 yang menjadi payung hukum pertama pelestarian cagar budaya di Hindia Belanda. Regulasi itu disambut baik oleh pihak-pihak yang peduli terhadap upaya pelestarian cagar budaya.
Sementara itu, di masa pendudukan Jepang, relatif tidak berpengaruh banyak terhadap upaya konservasi cagar budaya. Namun, Jepang cenderung mendorong masyarakat melupakan warisan Batavia.
”Salah satunya dengan mengubah nama-nama jalan di Batavia dengan bahasa Jepang dan bahasa Melayu. Ada juga beberapa patung-patung yang dirobohkan di masa itu, termasuk tiga patung monumental yang berdiri di Lapangan Banteng,” kata kurator pameran Segar Bugar, Ayos Purwoaji, di Jakarta, Kamis.
Kebesaran bangsa
Menurut Ayos, di masa kemerdekaan, tidak ada pemikiran untuk melestarikan cagar budaya yang dibangun Belanda. Pemerintah memilih melakukan dekolonisasi politik untuk membangun narasi tentang kebesaran bangsa Indonesia.
Konservasi yang dilakukan pada zaman Soekarno salah satunya dengan merekonstruksi candi, antara lain pembangunan Candi Siwa. Tujuannya, untuk menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki modal sosial menuju bangsa besar.
Pemerintah di masa Soekarno juga menghancurkan monumen-monumen Belanda, seperti Monumen Van Heutz, Monumen Dewi Kemenangan Perang Aceh, Gerbang Amsterdam, dan Benteng Prins Hendrik. Sebagai gantinya, pemerintahan era Soekarno membangun monumen baru, seperti Monumen Dirgantara, Monumen Selamat Datang, dan Monumen Pembebasan Irian Barat.
Konservasi yang dilakukan zaman Soekarno salah satunya dengan merekonstruksi candi, antara lain pembangunan Candi Siwa.
Upaya melestarikan, menata, dan merawat cagar budaya mulai marak dilakukan tahun 1970-an atau pada masa pemerintahan Soeharto. Saat itu pula, bangunan bersejarah dilestarikan dengan tujuan bisnis.
”Situasi itu bertahan hingga kini. Sampai sekarang, upaya pelestarian kita untuk menggaet wisatawan. Selain itu, konservasi juga bertujuan agar peninggalan masa lalu dapat menjadi pembelajaran dan penelitian,” ucap Ayos.
Sektor pariwisata
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Edy Junaedi menambahkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menaruh perhatian serius terhadap upaya pelestarian cagar budaya di Jakarta. Sebab, sektor pariwisata berperan penting dalam menyumbang pendapatan daerah DKI Jakarta.
”Setiap bulan itu pendapatan dari sektor pariwisata 30 persen disumbangkan dari mereka yang datang ke museum dan kawasan Kota Tua,” katanya.
Sumbangsih ini dinilai sebagai berkah bagi Jakarta yang memiliki banyak peninggalan masa lalu. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendukung setiap upaya pelestarian dan promosi dari seluruh pihak yang peduli terhadap cagar budaya, termasuk melalui pameran.