Upah Pekerja Tinggi Jadi Tantangan Investasi di Jawa Barat
›
Upah Pekerja Tinggi Jadi...
Iklan
Upah Pekerja Tinggi Jadi Tantangan Investasi di Jawa Barat
Tingginya upah pekerja menjadi tantangan dalam mendatangkan investasi industri padat karya di Jawa Barat. Relokasi ke daerah dengan upah lebih rendah belum menjadi solusi karena terbatasnya tenaga kerja terampil.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Tingginya upah pekerja menjadi tantangan dalam mendatangkan investasi industri padat karya di Jawa Barat. Relokasi industri ke daerah dengan upah lebih rendah juga belum menjadi solusi karena terbatasnya tenaga kerja terampil.
Hal itu disampaikan Ketua Asosiasi Perusahaan Garmen Korea Selatan di Jawa Barat Ahn Chang Sub dalam CEO Ambassador Breakfast Meeting di Kota Bandung, Kamis (24/10/2019). Kegiatan ini diselenggarakan Pemerintah Provinsi Jabar dan dihadiri duta besar dari enam negara serta puluhan CEO perusahaan asing.
”Upah pekerja di Jabar naik hingga 3,5 kali lipat dalam tujuh tahun terakhir. Namun, produksinya tidak ikut naik. Ini menjadi persoalan bagi investasi di bidang padat karya,” ujar Ahn.
Pada 2019, ada tiga daerah di Jabar dengan upah minimum kabupaten/kota (UMK) lebih dari Rp 4 juta per bulan. UMK Karawang Rp 4,23 juta, Kota Bekasi 4,22 juta, dan Kabupaten Bekasi Rp 4,14 juta.
Upah pekerja di Jabar naik hingga 3,5 kali lipat dalam tujuh tahun terakhir. Namun, produksinya tidak ikut naik. Ini menjadi persoalan bagi investasi di bidang padat karya.
UMK di daerah industri lainnya juga masih cukup tinggi. Dua di antaranya Kabupaten Bogor Rp 3,76 juta dan Kabupaten Purwakarta Rp 3,72 juta.
”Dibandingkan dengan Jawa Tengah, upah di Jabar lebih besar dua kali lipat. Perbedaan upah yang terlalu besar memberatkan pengusaha padat karya di sini,” ujarnya.
UMK tertinggi di Jateng adalah Kota Semarang Rp 2,49 juta. Selanjutnya diikuti Kabupaten Demak Rp 2,24 juta, Kabupaten Kendal Rp 2,08 juta, dan Kabupaten Semarang Rp 2,05 juta. Sementara upah pekerja di kabupaten/kota lain di bawah Rp 2 juta.
Menurut Ahn, tingginya upah membebani investor. Sebab, perusahaan di bidang padat karya memiliki 1.000 hingga lebih dari 5.000 pekerja.
Saat ini terdapat sekitar 160 perusahaan padat karya asal Korsel di Jabar. Dalam lima tahun terakhir, sekitar 45 perusahaan tutup dan memindahkan lokasi pabrik.
Akan tetapi, setelah pindah, perusahaan sulit berkembang karena tidak mendapatkan tenaga kerja terampil. ”Harus diakui, kualitas tenaga kerja di Jabar lebih baik. Persoalannya, saat perusahaan pindah, tidak tersedia tenaga kerja terampil,” katanya.
Pemprov Jabar juga mewacanakan relokasi industri padat karya ke Kabupaten Majalengka. Daerah itu dipilih karena UMK-nya Rp 1,79 juta sehingga dinilai cukup bersaing dengan upah di Jateng.
Menurut Ahn, persoalan relokasi tidak hanya sekadar memindahkan pabrik. Tanpa ketersediaan tenaga kerja yang memiliki skill, perusahaan terancam ”gulung tikar”.
”Cari lokasi yang upahnya murah itu gampang. Namun, itu bukan solusi. Pekerja dari lokasi awal pabrik juga tidak mau diajak pindah,” ujarnya.
Ahn mengusulkan agar pemerintah menetapkan upah khusus bagi industri padat karya. Pertimbangannya karena industri tersebut memiliki banyak pekerja sehingga perbedaan upah antara di Jabar dan Jateng yang lebih dari Rp 1 juta sangat memengaruhi keuangan perusahaan.
Akan tetapi, tidak mudah merealisasikan usulan tersebut. Dalam beberapa kali unjuk rasa buruh di Jabar, buruh menolak penetapan upah khusus pekerja industri padat karya karena nilainya lebih kecil dari UMK.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, pihaknya tidak dapat mengintervensi persentase kenaikan upah setiap tahun. Sebab, kebijakan itu wewenang pemerintah pusat. Namun, dia berjanji mencarikan solusi atas masalah tersebut.
”Kami akan membuat beberapa kluster industri. Misalnya, Karawang, dengan UMK yang tinggi, tidak cocok untuk industri tekstil dan produk tekstil,” ucapnya.
Dalam kegiatan itu, Kamil juga memaparkan sejumlah proyek pembangunan di Jabar dengan potensi investasi 59 juta dollar Amerika Serikat. Sebelumnya, dalam West Java Investment Summit 2019, Jumat (18/10/2019), telah dilakukan penandatanganan nota kesepahaman (MOU) 26 proyek pembangunan dengan komitmen investasi Rp 53,8 triliun.
”Salah satu yang konkret adalah pembangunan politeknik kemaritiman di Patimban, Kabupaten Subang. Kurikulum dan investornya dari Inggris. Jadi, ketika Pelabuhan Patimban selesai dibangun pada 2022, anak-anak pantura bisa bekerja di sana,” ujarnya.