Orangtua Perlu Paham, Kehidupan Remaja bak Naik ”Roller Coaster”
›
Orangtua Perlu Paham,...
Iklan
Orangtua Perlu Paham, Kehidupan Remaja bak Naik ”Roller Coaster”
Remaja yang bagaikan tengah “naik roller coaster” perlu mendapat pendampingan orangtua untuk belajar memahami dirinya. Masa-masa ini akan dilalui dengan baik jika komunikasi antara remaja dan orangtua berjalan lancar.
Oleh
Sri Rejeki
·4 menit baca
Orangtua tidak jarang kebingungan menghadapi perilaku anak remajanya. Tidak heran, mengingat remaja berada dalam fase peralihan dari anak-anak ke dewasa yang mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis.
Kehidupan remaja bagaikan naik roller coaster, yang naik dan turun secepat kilat. Dengan demikian, orangtua pun harus siap ikut ”naik roller coaster” mendampingi remaja.
Hal ini terungkap dalam bincang-bincang dalam peluncuran e-book atau buku elektronik ”1001 Cara Bicara Orangtua dengan Remaja”, Kamis (24/10). Buku yang diinisiasi oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan John Hopkins Center for Communication Programs (JHCCP) di Indonesia ini bisa diunduh secara gratis di Skata.info.
”Remaja merasa tidak nyaman, resah, bahkan ketakutan mengalami perubahan fisik dan psikisnya. Peran orangtua untuk mendampingi remajanya dalam masa-masa ini menjadi penting,” kata psikolog anak dan remaja, Alzena Masykouri.
Pembicara lain adalah praktisi pendidikan Imelda Hutapea, artis Novita Angie, dan Supi Catur Nadyastuti sebagai perwakilan orangtua dengan moderator Dinar Pandansari dari JHCCP.
Remaja yang tengah dalam masa ”naik roller coaster” ini, menurut Alzena, perlu mendapat pendampingan orangtua untuk belajar memahami perkembangan dirinya. Masa-masa ini akan dilalui dengan baik jika komunikasi antara remaja dan orang tua berjalan dengan lancar.
”Meskipun melahirkan dan merawat anaknya hingga besar, orangtua tidak bisa bersikap sebagai yang paling tahu tentang anaknya. Anak-anak biasanya butuh didengar dan dipahami dan ini ada caranya,” kata Alzena.
Buku elektronik ”1001 Cara Bicara Orangtua kepada Anak” memberi perspektif yang cukup komprehensif bagi orangtua untuk memahami proses yang dialami remaja, masalah-masalah yang mungkin dihadapinya, serta bagaimana mengelolanya.
Novita Angie mengungkapkan, salah satu masa paling berat saat mendampingi anak-anak remajanya yang kini berusia 14 dan 16 tahun ini adalah ketika mereka mulai tertarik kepada lawan jenis.
Ia mengatakan, tidak mungkin melarang mereka begitu saja. Sebagai gantinya, ia membekali anak-anaknya dengan rambu-rambu dalam pergaulan berupa hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
”Saya ingin mereka jadi anak yang gaul supaya wawasannya luas, tetapi juga tidak mau mereka kebablasan. Mereka harus tahu kapan harus say no kepada ajakan yang negatif,” kata Novita Angie.
Supi Catur mengatakan, salah satu yang membuatnya deg-degan adalah ketika anak mengajukan pertanyaan yang membuatnya terkejut. ”Suatu kali, anak perempuan saya yang masih kelas VI SD tanya apa itu mimpi basah,” ujarnya.
Kondisi-kondisi seperti ini akan lebih mudah dihadapi jika komunikasi orangtua dan anak lancar. ”Komunikasi yang baik harus dibangun. Bisa dimulai dari ngobrolin hal-hal kecil secara rutin sehingga anak-anak terpancing mengungkapkan apa yang dihadapi dan dirasakannya,” kata Imelda.
Sebelumnya, saat pembukaan acara, Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN M Yani mengatakan, banyak persoalan atau penyakit sosial ketika dirunut ternyata berakar pada keluarga. Sayangnya, keluarga, yang merupakan tempat untuk mendidik, dalam praktiknya sering ditinggalkan.
”Pemerintah tidak mungkin tidak hadir di tengah keluarga. Saat ini, kita punya 62 juta jiwa remaja dan 71 juta keluarga. Kami telah membangun pusat informasi konseling, bina keluarga dan remaja. Namun, memang jumlahnya masih sedikit,” kata Yani.
Ia mengakui, amat disayangkan sejauh ini tidak ada semacam upaya untuk menyiapkan calon orangtua agar siap menghadapi kehidupan keluarga, termasuk mendidik anak-anaknya. ”Penyebaran e-book 1001 Cara Bicara ini adalah upaya untuk membekali orangtua agar bisa menjadi orang terdekat bagi anak-anaknya,” kata Yani.
Salah satu pengetahuan yang perlu dibekali kepada remaja adalah tentang kesehatan reproduksi. Rendahnya pemahaman remaja terhadap masalah ini membuat terjadinya kehamilan dan pernikahan remaja.
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 mengungkapkan, 33,5 persen remaja putri usia 15-19 tahun sudah hamil dan mengalami risiko kurang energi kronis.
Hal serupa ditunjukkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2016, 1 dari 9 anak perempuan di bawah usia 18 tahun sudah menikah. Bahkan, 0,5 persen di antaranya berusia di bawah 15 tahun.
”Fakta ini tidak mengejutkan mengingat remaja semakin permisif terhadap seks pranikah. Hanya 5 dari 10 remaja yang tahu bahwa berhubungan seks sekali saja sudah bisa menyebabkan hamil,” kata Fitri.
Hasil Riset Perilaku Seksual 2017 yang diselenggarakan JHCCP dan Universitas Gadjah Mada mengungkapkan, penyebab rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi antara lain karena kurang kredibelnya sumber informasi dan bacaan, masih dianggap tabu, serta absennya peran orangtua dalam memberikan pendidikan seksual bagi remaja.