Ketika Desa Berpraktik dengan Baik
Desa dengan tata kelola dan pemberdayaan yang baik terbukti mampu menghadirkan kemajuan pembangunan dan kesejahteraan warganya. Semakin banyak desa yang dikelola dengan baik, Indonesia akan menuai kemajuan berarti.
Tata kelola pemerintahan desa menjadi salah satu penopang kemajuan Indonesia. Desa dengan tata kelola dan pemberdayaan yang baik terbukti mampu menghadirkan kemajuan pembangunan dan kesejahteraan warganya. Semakin banyak desa yang dikelola dengan baik, Indonesia akan menuai kemajuan berarti.
Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan salah satu desa dengan tata kelola pembangunan yang baik. Dua hal utama yang dilakukan kepala desa untuk mengembangkan desanya adalah mereformasi birokrasi pemerintahan dan memberdayakan masyarakat.
Selain menuai predikat sebagai desa unicorn, yaitu desa dengan pendapatan asli desa di atas Rp 1 miliar setahun, desa di selatan Kota Yogyakarta tersebut juga menjadi percontohan nasional. Nilai APBDes Desa Panggungharjo Rp 4,9 miliar setahun. Perkembangan Desa Panggungharjo tampak sejak tahun 2012, saat mereka memilih kepala desa (kades) baru. Wahyudi Anggoro Hadi (40), Kades Panggungharjo terpilih, menjadi agen perubahan di sana.
Sebelumnya, Desa Panggungharjo hanya dikenal sebagai desa di wilayah perbatasan dengan Kota Yogyakarta. Birokrasi pemerintahan konvensional, pembangunan tidak terarah, dan kehidupan warga pun apa adanya.
Sejak Wahyudi terpilih, secara perlahan Desa Panggungharjo berubah. Desa berpenduduk 28.000 jiwa tersebut memiliki sistem tata kelola dan konsep pemberdayaan cukup baik. Ia mereformasi birokrasi pemerintahan dan mengusung pemberdayaan masyarakat.
Reformasi birokrasi dimulai dengan membentuk lembaga desa. Lembaga itu menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam melayani masyarakat. Lembaga desa pertama dibuat tahun 2013, bertugas mengelola sampah warga. Lembaga tersebut menjadi cikal bakal unit Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Panggung Lestari. BUMDes pun berkembang menjadi salah satu penyumbang pendapatan asli desa (PADes), sebesar Rp 200 juta sebulan.
Saat ini ada 11 lembaga desa. Di antaranya adalah BUMDes, badan pelaksana jaring pengamanan sosial atau bapel JPS (bertugas melayani kesehatan, pendidikan, ataupun ketahanan pangan), lembaga pengelola sistem informasi desa, lembaga sanggar anak desa, forum pengurangan risiko bencana, dewan masjid desa, lembaga pengelola budaya desa, dan paguyuban ketua RT.
Setelah pelembagaan itu berjalan, Wahyudi membangun kultur organisasi baru. Selama ini, birokrasi pemerintahan desa dinilai tidak berkembang karena perangkat desa tidak memiliki motivasi untuk bekerja lebih baik. Di antara perangkat desa yang berkinerja bagus dan buruk mendapat perlakuan sama, tidak seperti di perusahaan swasta yang dibangun dengan sistem merit.
”Mulai tahun 2016, desa menetapkan sistem penggajian berbasis kinerja yang diputuskan melalui analisis beban kerja, pengukuran kinerja, dan penetapan tunjangan kinerja. Ada target pemenuhan jam kerja, yaitu 140 jam kerja selama satu bulan. Akhir bulan dievaluasi. Kalau kerjanya kurang dari 140 jam, akan dipotong tunjangan kinerjanya. Aturan ini ditetapkan dalam peraturan desa,” kata Wahyudi.
Konsekuensi kebijakan itu, desa harus menyekolahkan perangkatnya yang tidak sesuai kualifikasi minimal. Seorang kepala urusan, misalnya, dalam analisis beban kerja tersebut harus berpendidikan minimal diploma tiga. Penataan birokrasi dimulai Wahyudi sejak menjabat kades tahun 2012 dan baru bisa mapan tahun 2016.
Di bidang pemberdayaan masyarakat, Wahyudi membuat tradisi proses dialogis. Ia ingin partisipasi masyarakat meningkat sejalan dengan membaiknya kesejahteraan. Proses dialogis salah satunya dilakukan melalui lembaga-lembaga desa yang sudah dibentuk tadi. Berbagai seri diskusi warga dibuat untuk merumuskan kebutuhan dan tantangan desa ke depan.
Inisiasi masyarakat
Jika keberhasilan Desa Panggungharjo adalah karena sosok kadesnya yang kuat, lain halnya dengan Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Desa Pandanlandung menata sistem tata kelola pembangunan desa justru dari inisiasi masyarakat.
Desa Pandanlandung membuat beberapa terobosan, seperti menetapkan Peraturan Desa Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tata Kelola Pelaksanaan Pembangunan Desa, menerapkan sistem penjaringan perangkat dengan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test ), serta mengangkat tenaga ahli desa.
Dalam perdes tata kelola itu juga diatur mekanisme pengawasan kegiatan berbasis masyarakat. Pengawasan tersebut dilakukan pada proyek kegiatan desa. Pengawas proyek terdiri atas masyarakat di lokasi proyek sehingga kualitas proyek diharapkan terjaga. Kelebihan perdes itu, transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dijamin.
”Dengan ditetapkannya menjadi perdes, mekanisme pengawasan oleh masyarakat itu tidak mudah diganti meski kepala desanya ganti,” kata Iman Suwongso (50), tokoh masyarakat penggerak pembangunan di Desa Pandanlandung. Iman adalah tenaga ahli bidang tata kelola pembangunan Desa Pandanlandung. Sebelumnya, ia adalah Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Adapun konsep fit and proper test pada seleksi penerimaan perangkat desa diterapkan awal 2019. Materi uji kelayakan dan kepatutan berisi pengetahuan tentang UU Desa, sikap mental, dan kemampuan menggunakan komputer. ”Kami tidak hanya mencari perangkat yang sekadar paham UU Desa, tetapi juga perangkat dengan mentalitas jujur. Itu akan terlihat dari hasil tesnya,” kata Iman.
Hasil seleksi perangkat awal tahun ini melahirkan perangkat muda berusia 20-an tahun. Mereka menduduki jabatan strategis di desa, seperti sekretaris desa (carik), bendahara desa (kepala urusan keuangan), kepala urusan perencanaan, dan kepala seksi kesejahteraan. Mereka saat ini berproses menyelesaikan sistem informasi desa (SID) berbasis peta spasial dan sosial desa.
”Harapannya, jika pemetaan selesai, data terekam bisa disinkronkan dengan perencanaan pembangunan desa. Setiap proyek pembangunan akan tercatat dan terpantau kondisinya setiap saat sehingga ketika membuat program pembangunan infrastruktur, tidak kira-kira, tetapi berdasarkan data,” katanya.
Inovasi lain dari Desa Pandanlandung adalah mengangkat tenaga ahli desa untuk mengawal pembangunan di desa berpenduduk 9.000-an jiwa tersebut. Tenaga ahli desa itu diangkat sesuai SK kepala desa. Tugasnya memberikan arahan dan mengevaluasi kerja perangkat desa.
Berbagai kebijakan inovatif di Desa Pandanlandung itu semula digulirkan oleh Iman selaku tokoh masyarakat. Lalu, ide didukung oleh lembaga kemasyarakatan desa (LKD) dan kepala desa. LKD seperti karang taruna, PKK, dan LPMD kerap diajak diskusi guna mendorong pemahaman bahwa masyarakat adalah subyek pembangunan sesuai UU Desa. Pemberdayaan LKD, dengan sering diajak diskusi seperti itu, dikuatkan dalam visi-misi pemerintahan kades selanjutnya.
Desa Panggungharjo dan Pandanlandung adalah contoh desa dengan tata kelola baik. Harapannya, dari 74.957 desa di Indonesia, akan terus muncul desa-desa dengan tata kelola pembangunan yang baik.