JAKARTA, KOMPAS - Penunjukan wakil menteri yang akomodatif dan tidak berdasarkan meritokrasi akan lebih banyak membawa persoalan dibanding mewujudkan pemerintahan yang efisien dan efektif. Jika tidak dikelola dengan baik, para wamen yang tidak berkapasitas itu bisa mengganggu kelancaran pemerintahan untuk lima tahun ke depan.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia Agus Pambagio menilai, kehadiran para wakil menteri itu juga tidak terlalu berpengaruh. Sebab, para wamen tidak bisa menggantikan menteri di sidang kabinet. Wamen juga tidak bisa mengambil keputusan sebagaimana menteri. Sehingga, kehadiran wamen sebenarnya tidak diperlukan.
Penunjukan 12 orang wamen oleh Presiden Jokowi, yang dilantik kemarin di Istana Kepresidenen, pun kental dengan politik akomodatif yang tujuannya hanya untuk membagi jabatan untuk beberapa orang yang saat pemilu lalu memenangkan Jokowi-Amin.
Misalnya, Wahyu Sakti Trenggono yang adalah bendahara tim kampanye Jokowi-Amin, atau Ketua Umum Relawan Projo Budi Arie Setiadji. Selain itu, posisi itu juga untuk partai-partai pendukung Jokowi-Amin yang tidak mendapat kursi di DPR, seperti putri sulung Ketua Umum Perindo, Angela Herliani Tanoesoedibjo.
"Tugas mereka sebagai wamen apa? Apakah tidak akan bertumpuk dengan tugas direktur jenderal di tiap kementerian? Kalau saya melihatnya, itu hanya untuk memberi tempat untuk relawan dan pendukung yang sebelumnya ngambek," kata Agus saat dihubungi di Jakarta, Jumat (25/10/2019).
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor mengatakan, kehadiran para wamen seharusnya untuk memperkuat pemerintahan, terutama di pos-pos kementerian khusus yang akan menjadi fokus pemerintah ke depan. Namun, dengan penempatan wamen yang tidak sesuai dengan kapabilitas dan kompetensinya, tujuan itu tidak bisa terpenuhi.
Menurutnya, Presiden seharusnya lebih selektif memilih wakil menteri. Langkah akomodatif Presiden ini pada akhirnya justru bertentangan dengan keinginannya membentuk kabinet yang kuat dan efektif.
Sementara itu, Sekretaris Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa mengatakan, kehadiran wamen bisa memberatkan tugas para menteri, karena penempatan yang tidak sesuai dengan bidang kompetensi dan pengalamannya selama ini. Kehadiran mereka juga dinilai tidak akan banyak membantu efektivitas kinerja pemerintahan.
Ia pun menyinggung Wahyu Sakti Trenggono yang menjadi Wakil Menteri Pertahanan meskipun tidak memiliki latar belakang apapun di bidang pertahanan keamanan. Menurut Desmond, Prabowo tidak senang dengan adanya wakil menteri yang tidak paham dengan urusan pertahanan.
Sebab, banyak persoalan warisan periode sebelumnya yang perlu ditangani dan membutuhkan tangan dingin seseorang yang berkapasitas, atau setidaknya orang lama di Kemenehan yang paham persoalan lama.
"Wakil menteri itu minimal paham militer dan strategi pertahanan untuk membantu membenahi persoalan pertahanan nasional. Tetapi, kalau wakil menteri ditempatkan di situ karena saat kampanye membantu Pak Jokowi, kesannya saya pikir kasihan Pak Prabowo, ya. Negara juga rugi menggaji wamen yang tidak tahu apa-apa," kata Desmond.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Jazilul Fawaid mengatakan, kehadiran wamen itu jangan sampai menjadi matahari kembar di kementerian. Ia juga mengatakan, dalam kementerian, kehadiran wamen sebenarnya yang tambahan, bukan unit yang wajib ada.
"Wamen ini seharusnya hanya suplemen bagi kementerian yang dianggap memiliki tantangan besar. Kalau unit pembantu menteri sebenarnya sudah banyak, sudah ada dirjen, direktur, deputi," kata Jazilul.
Sejauh ini, PKB belum mendapat jatah wamen. Jazilul pun berharap, partainya bisa mendapat jatah wakil menteri juga. Sejauh ini, PKB mendapat tiga kursi menteri di Kabinet Indonesia Maju, yaitu menteri perdagangan, menteri tenaga kerja, serta enteri desa dan pembangunan daerah tertinggal.
"Mudah-mudahan akan ada jabatan wamen lagi. Untuk posisi yang lebih baik, siapa yang tidak berharap," katanya.