Tragedi Bintaro, Setelah 32 Tahun Berlalu
Jalanan sempit yang diapit rel, selokan, dan permukiman padat penduduk di Gang Beksi, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta, menjadi saksi peristiwa tragis 32 tahun lalu.
Jalanan sempit yang diapit rel, selokan, dan permukiman padat penduduk di Gang Beksi, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta, menjadi saksi peristiwa tragis 32 tahun lalu. Senin pagi, 19 Oktober 1987, terjadi kecelakaan kereta api hebat. Hingga kini, warga masih memperingati tragedi yang memilukan itu.
Tabrakan pada hari itu terjadi antara kereta api patas 220 Tanah Abang-Merak dengan KA 225 Rangkasbitung-Tanah Abang. Meskipun sudah lama berselang, peristiwa itu masih membekas bagi warga, terutama mereka yang bermukim di sekitar lokasi kejadian.
Spaduk bertuliskan, "Mengenang Tragedi Bintaro ke-3 19 Oktober 2019” terpasang di halaman rumah babeh Muslih (58). Malam itu, Sabtu (19/10/2019), warga sekitar Gang Beksi akan menggelar tahlilan atau doa bersama untuk para korban Tragedi Bintaro I.
Sebanyak 150-an orang meninggal dan 300-an orang lainnya luka-luka akibat kejadian tahun 1987 tersebut. Setiap tahun, warga kampung yang dulunya bernama Pondok Betung itu menggelar doa bersama bagi para korban.
Muslih adalah warga setempat yang menyaksikan peristiwa pilu tersebut. Ia mengenang, pada pagi hari saat kejadian, ia sedang mencangkul di ladang untuk menanam pohon pisang. Ladang itu berada di sisi rel yang kerap dilewati kereta rute Tanah Abang-Merak ataupun Rangkasbitung-Tanah Abang.
Di sekitar ladang itu juga terdapat empang untuk memelihara ikan.
Awalnya, Muslih heran saat melihat kereta melaju dari arah Sudimara ke Tanah Abang. Saat itu, banyak penumpang gelap tak bertiket yang naik di atas kereta. Penumpang memadati kereta pada Senin pagi itu.
Para penumpang di atap kereta itu banyak yang melompat. Ada yang terjatuh di bebatuan, rel, ada yang masuk empang atau area ladang. Tak lama dari kejadian itu, tiba-tiba dia melihat kereta lain dari arah Tanah Abang melaju di rel yang sama.
Tabrakan tak bisa dihindarkan. Suara besi beradu terdengar nyaring memekakkan telinga.
”Bruaaakkk... blek... blek... blek... orang yang ada di dalam kereta kegusur semua karena ada gerbong kereta yang memakan lokomotif hingga mangap dan naik ke atas,” kenang Muslih.
Setelah kejadian, terdengar suara-suara orang meminta tolong. Mereka yang terjepit badan kereta, patah tulang, merintih meminta tolong.
Saking banyaknya korban, warga sekitar pun sampai kebingungan mana yang harus ditolong terlebih dulu. Menurut Muslih, dibutuhkan waktu hingga satu hari dua malam untuk mengevakuasi jenazah maupun korban yang terjepit kereta.
Sementara proses memindahkan kereta yang bertabrakan memakan waktu tiga minggu sampai satu bulan seusai kejadian.
”Saat itu, jenazah dan korban luka-luka dievakuasi ke balai rakyat yang sekarang menjadi RPTRA Permai. Warga dan aparat bergotong royong mengevakuasi korban. Setiap mobil yang melintas dimintai tolong untuk membawa ke rumah sakit,” ujar Muslih.
Sejarawan dari komunitas Ngopi Jakarta, Reyhan Biadillah, menambahkan, saat Tragedi Bintaro I, sistem perkeretaapian masih karut-marut. Terjadi semacam salah urus moda transportasi kala itu.
Dengan kondisi apa adanya itu, kereta api sudah menjadi andalan warga untuk bermobilitas. Banyak penumpang gelap tanpa tiket yang bebas naik kereta. Mereka naik hingga ke atap kereta.
”Saat itu, tidak hanya ada kecelakaan kereta, api tetapi juga ada kecelakaan kapal laut dan pesawat. Waktu itu terjadi salah urus moda transportasi sehingga sistemnya morat-marit,” ujar Reyhan, yang memandu kelompok napak tilas Tragedi Bintaro I.
Berdasarkan arsip pemberitaan Kompas (20/10/2019), kecelakaan antara KA Patas 220 dan KA 225 membuat gerbong pertama di belakang kedua lokomotif membungkus loko yang ada di depannya. KA 220 dari Stasiun Kebayoran Lama yang muncul di tikungan langsung berhadapan dengan KA 225 dari Rangkasbitung.
KA Tanah Abang-Rangkasbitung setiap harinya terbilang padat. KA 225 Rangkasbitung-Jakarta Kota sarat penumpang hingga ke atap. Kereta dipadati pekerja yang mengadu nasibnya di Jakarta.
Jalur Tanah Abang-Rangkasbitung juga dianggap sebagai jalur rawan karena banyak penumpang gelap. Penumpang naik begitu saja ke kereta, duduk di atap, ataupun ke dalam gerbong.
Tak cek kondisi
Menteri Perhubungan kala itu, Rusmin Nurjadin, mengatakan, ada kelainan pada KA 225 dari Serpong ke Jakarta yang seharusnya menunggu di Sudimara untuk bersimpangan dengan KA 220 dari Stasiun Kebayoran Lama. Setelah diselidiki, kecelakaan maut terjadi karena kesalahpahaman Kepala Stasiun Serpong yang memberangkatkan KA 225 tanpa mengecek kondisi stasiun.
Kedatangan KA 225 membuat tiga jalur di Stasiun Sudimara penuh. KA 225 yang seharusnya berpindah rel tiba-tiba berangkat. Upaya yang dilakukan juru langsir untuk menghentikan KA 225 sia-sia.
Di sisi lain, KA 220 yang berada di Stasiun Kebayoran Lama juga ikut diberangkatkan. KA 220 melaju ke arah Sudimara di atas rel yang sama dengan KA 225 dari arah Serpong. Tabrakan pun tak bisa dihindarkan di lokasi tak jauh dari Stasiun Pondok Betung, Bintaro.
Reformasi kereta api
Peristiwa kelam itu akhirnya menjadi catatan hitam sejarah perkeretapian di Indonesia. Butuh waktu lama bagi operator kereta api ini untuk mereformasi pelayanan besar-besaran.
Sejak tahun 2009, PT KAI mengawali reformasi yang mengubah banyak hal. Saat itu, reformasi masif ini mendapat penolakan dari berbagai pihak.
Pedagang asongan tidak bisa membawa barang dagangannya ke dalam kereta. Para penumpang gelap hingga perokok di area stasiun protes terhadap perubahan radikal ini.
Melalui penerapan teknologi informasi berupa tiket elektronik, PT KAI bisa meniadakan para penumpang gelap.
Untuk kereta jarak jauh, tiket bisa dibeli jauh-jauh hari baik melalui situs resmi PT KAI maupun aplikasi khusus. Tiket harus sesuai identitas penumpang. Praktik penjualan tiket melalui calo pun dipangkas.
Meski demikian, pascareformasi besar-besaran di tubuh KAI ini, kecelakaan kereta api masih kerap terjadi.
Di Jabodetabek, KRL commuter line KA 1722 rute Jatinegara-Bogor tergelincir keluar rel di Kebon Pedes, Bogor, Minggu (10/3/2019). Tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan ini.
Peralatan canggih
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang menuturkan, jika berbicara tentang aspek keselamatan, ada empat hal yang perlu diperhatikan, yaitu sarana, prasarana (infrastruktur), kesalahan manusia (human error), dan manajemen operasi.
Tahun 2018, menurut dia, kecelakaan lebih banyak disebabkan faktor kesalahan manusia. Padahal, sebenarnya, faktor ini bisa diminimalisasi dengan bantuan teknologi.
Jepang, misalnya, memakai teknologi untuk meminimalkan kecelakaan. Alat bernama automatic train protection (ATP) ini dipasang di lokomotif. ATP mendeteksi otomatis bahkan mengaktifkan rem darurat kereta untuk berhenti ketika ada kesalahan manusia, seperti masinis mengantuk sehingga kereta salah jalur.
”Kalau di kita, peralatan masih lebih banyak konvensional dan dikendalikan tenaga manusia. Kalau mau mengganti dengan teknologi yang lebih canggih dan otomatis bisa, tetapi membutuhkan investasi yang mahal,” ujar Deddy.
Jika ingin lebih maju, misalnya, Indonesia bisa menerapkan sistem otomatis. Dengan sistem seperti itu, tanpa masinis pun kereta masih bisa berjalan. Namun, sistem itu membutuhkan anggaran yang sangat besar. Sistem persinyalan manual saja bisa membutuhkan dana miliaran rupiah setiap satu sinyal. Apalagi, jika harus membongkar dan penggantian seluruh sistem persinyalan kereta api.
”Investasi di bidang keselamatan ini harus diprioritaskan. Keselamatan nomor satu sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal 8 Tahun 2018. Memang keselamatan tidak hanya pembiayaan, tetapi juga kinerja manajemen,” ujar Deddy.
Menurut Deddy, saat ini yang paling disoroti adalah aspek keselamatan lingkungan, misalnya di pelintasan sebidang. Angka kecelakaan di pelintasan sebidang masih tinggi terutama di Jabodetabek. Oleh karena itu, perlu komitmen untuk menata lingkungan di sekitar jalur ataupun stasiun kereta api.
”Sistem perkeretaapian kita sebenarnya sudah bagus. Tapi, kalau lingkungannya tidak bagus, lalu untuk apa,” ujarnya.