Film Keluarga Cemara karya sutradara Yandy Laurens dari Indonesia kembali tampil di salah satu ajang festival film yang konsisten digelar di Jepang, Kyoto International Film and Art Festival atau KIFF 2019. Kesamaan nilai yang dianut masyarakat kedua negara, terutama terkait keluarga, diyakini membuatfilm ini bisa dinikmati publik Jepang.
Tahun lalu, film Bayangan garapan sutradara muda Alfrits John Rober yang mendapat giliran diundang untuk diputar di ajang yang sama. Pada penyelenggaraan keenam kali ini, sutradara Keluarga Cemara, Yandy Laurens, dan salah seorang pemain, Zara JKT 48, turut hadir dalam upacara pembukaan sekaligus juga pemutaran pertama.
Dalam KIFF 2019, film Keluarga Cemara diputar di salah satu bioskop umum di Kyoto. Yandy sangat senang filmnya bisa kembali diputar untuk publik Jepang. Beberapa bulan sebelumnya, film Keluarga Cemara juga sempat diputar di Okinawa International Movie Festival 2019.
Yandy berharap film yang merupakan remake drama seri televisi tahun 1990-an itu bisa diterima sekaligus dinikmati publik Jepang. Walau ada perbedaan budaya dan bahasa, ia yakin, masyarakat kedua bangsa sama-sama punya kesamaan nilai, terutama terkait keluarga.
Pembukaan KIFF 2019 digelar di sebuah kompleks kuil bersejarah Kyoto, Nishi Hongwanji. Itu salah satu kuil situs warisan dunia. Sebagian besar bangunan di dalam kompleks kuil didirikan pada abad ke-17.
KIFF diselenggarakan perusahaan hiburan besar Jepang berbasis komedi, Yoshimoto Kogyo. Perusahaan yang juga memiliki sekolah komedi itu berdiri tahun 1912 di Osaka. Yoshimoto Kogyo sejak tahun 2009 juga menggagas penyelenggaraan festival film lain, Okinawa International Movie Festival. Festival film itu digelar rutin setiap April di dua kota di Okinawa: Ginowan dan Naha.
Sejak awal KIFF digelar tahun 2014 lalu, upacara pembukaan selalu ditandai dengan pertunjukan tradisional Jepang. Kali ini, acara pembukaan diawali dengan tarian tangan para geisha berkimono dominan hitam (tomesode).
Sekitar satu jam sebelum acara pembukaan dimulai, para tamu undangan yang merupakan petinggi KIFF, artis, sutradara, dan seniman tiba dan terlebih dahulu melalui area jumpa pers. Mereka melintas di atas karpet merah untuk juga berpose dengan latar belakang bangunan kuil.
Saat berinteraksi dengan para pewarta, tamu undangan juga didampingi dua geisha, tak terkecuali Yandy dan Zara. Ketua kehormatan komite eksekutif sekaligus sutradara legendaris Jepang, Sadao Nakajima, dan Ketua Komite Eksekutif KIFF 2019 Ichiya Nakamura turut hadir. Juga aktor penerima penghargaan Toshiro Mifune untuk tahun ini, Kiichi Nakai (58).
Mendiang aktor Mifune, menurut Kiichi, adalah pemain film besar Jepang yang sangat berkarakter dan melambangkan semangat perjuangan rakyat negeri itu. Semangat yang sama, kata Kiichi, juga ditunjukkan aktor legendaris Amerika Serikat, John Wayne, yang selalu menghadirkan semangat serta jiwa seorang koboi dalam film-filmnya.
Jepang punya banyak perhelatan festival film rutin, baik tahunan maupun dua tahunan (biennale). Mengutip situs Asian Film Festivals, setidaknya ada 21 ajang festival film beragam tema yang digelar di Jepang. Sebanyak 12 festival bersifat kompetitif, lima festival nonkompetitif, dan tiga festival dua tahunan.
Salah satu yang terbesar adalah Tokyo International Film Festival. Festival film itu bersifat kompetitif dan digelar sejak tahun 1985. Selain itu, ada festival film kompetitif lain yang bahkan telah dimulai sejak tahun 1977.
Lantas apa kemudian yang membedakan KIFF dengan banyak festival film lain?
Ketua Komite Eksekutif Kyoto International Film and Art Festival Ichiya Nakamura punya jawaban menarik.
”Baik film, seni, dan seluruh hal-hal lain coba kami persatukan dalam sebuah acara besar ini. Dengan begitu, semakin banyak konten menarik bisa seimbang dan dinikmati oleh masyarakat kebanyakan. Film Indonesia, begitu juga film asing lainnya, punya peluang besar untuk bisa dinikmati para penonton Jepang,” ujarnya kepada Kompas.
Lintas genre
Ada lebih dari 60 film lintas genre, baik asal Jepang maupun negara lain, yang diputar sepanjang penyelenggaraan KIFF 2019, termasuk di sejumlah bioskop di Kyoto. Film-film itu mulai dari animasi, film dokumenter, film klasik dan bisu, film pendek, hingga film layar lebar.
Salah satu film dokumenter menarik yang diputar adalah karya sutradara Heather Lenz, Kusama Infinity, berkisah tentang seniman kontemporer terkenal dunia asal Jepang, Yayoi Kusama. Untuk membuat film itu, Lenz membutuhkan waktu 14 tahun dengan mengikuti perjalanan karier Yayoi hingga terkenal.