Kesetiaan Menjaga Warisan Budaya Agraris
Di Jawa Barat, sejumlah tradisi agraris setia yang dipertahankan petani, mulai dari proses tanam hingga panen tiba. Tak hanya ritual semata, di sana ada jejak kebersamaan, kebahagiaan, dan ungkapan syukur kepada Yang Maha Kuasa.
Salah satu tradisi yang masih hidup adalah Nyalin (ngala indung pare), yakni ritual mengganti padi dengan tanaman baru. Tradisi ini biasanya dilakukan setahun sekali saat tanaman padi hendak dipanen sekaligus untuk mencari benih baru.
Abah Herman (60) adalah petani generasi keempat dalam keluarganya yang masih setia mengadakan Nyalin di Desa Dukuhkarya, Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Upacara yang berlangsung pada Minggu (13/10/2019) siang itu dilakukan secara turun-temurun sejak buyutnya untuk menghormati padi yang dilambangkan sebagai Nyi Pohaci.
Siang itu puluhan hektar sawah milik Herman tampak menguning bagai karpet emas. Di tengah hamparan padi yang berumur sekitar 90 hari, para petani dan warga bersukaria melakukan Nyalin. Alunan musik Sunda menyejukkan suasana di tengah teriknya musim kemarau.
Ritual Nyalin diawali oleh pemangku adat dan sesepuh desa dengan berdoa. Di hadapan mereka terhampar sesaji, antara lain ayam bekakak (ayam jantan, digoreng atau dibakar), kelapa muda, ubi, dan pisang. Semua ditujukan sebagai penolak bala.
Ketika kidung Nyalin dilantunkan, pemangku dan sejumlah anak muda menari ke tengah sawah. Mengikuti suara musik, gerakan mereka menunjukkan cara mengolah pertanian, seperti menabur pupuk, ngirik (merontokkan butir padi dari tangkai), nutu (menumbuk butir padi), dan nampi (memisahkan kotoran pada beras).
Setelah itu, tiba acara memotong padi. Anak muda yang berada di tengah sawah itu pun memilih indukan padi terbaik. Pemangku adat memerciki tanaman padi siap panen dengan air dan beras. Air yang telah didoakan diyakini membawa kesuburan bagi tanaman padi.
Bersamaan dengan itu, dilakukan ritual meuncit jeung ngubur hulu domba (menyembelih, lalu mengubur kepala domba) sebagai simbol agar dijauhkan dari sifat buruk atau sebagai tolak bala. Selama prosesi berlangsung, Herman membacakan doa-doa yang selalu dibacakan sejak dulu.
”Doa-doa ini adalah peninggalan dari leluhur. Kami berharap agar diberi kemudahan dalam bertanam padi dan mendapatkan hasil yang melimpah,” ujar Herman.
Kala Gumarang
Tidak hanya saat panen, ritual adat juga dilakukan untuk menjaga panen tetap melimpah. Ini dilakukan petani dengan memopulerkan kembali tradisi Kala Gumarang, yakni gotong royong membunuh hama di sawah.
Kala Gumarang erat kaitannya dengan legenda Dewi Sri, pelindung beragam tanaman pangan. Kala Gumarang disimbolkan sebagai hama dalam bentuk sapi hutan, rumput liar, dan tikus sawah. Diyakini, nafsu besar Kala Gumarang sangat mengancam kehidupan Dewi Sri, karena itu harus dibasmi.
Tradisi ini tidak rutin digelar. Petani Karawang biasa melakukan saat gadu atau kemarau sangat kering. Saat itu, tikus berkembang biak sangat pesat.
Bulan Juli lalu, Kompas mengikuti kegiatan itu di Desa Ciranggon, Kecamatan Majalaya, Karawang. Petani bahu-membahu berburu tikus yang bersembunyi di lubang-lubang pematang sawah. Alat yang mereka gunakan sederhana, yakni ranting pohon, bilah bambu, selang air panjang, dan pompa air. Semua dilakukan secara alami tanpa racun kimia yang bisa berpengaruh pada kualitas padi petani.
Pemburu andalan hari itu adalah Usman (37). Sorot mata petani Desa Ciranggon itu tajam memperhatikan lubang-lubang yang diyakini rumah tikus. Setiap kali air dari selang disemprotkan, tikus-tikus meloncat keluar dari lubang dan berlari cepat menghindari tongkat petani.
Tak kalah gesit dengan tikus, Usman sigap mengayunkan tongkat. Ketika ada tikus yang tercebur di saluran irigasi tersier, para petani ikut memburu ke sana. Cipratan air dan lumpur pun menghiasi pakaian dan wajah. Mereka yakin, setiap tikus tertangkap bisa mengurangi potensi kerugian di sawah.
Pengalaman tahun 2017, misalnya, petani di desa itu banyak yang gagal panen karena padi dimakan tikus. Ada sekitar 50 hektar lahan yang terserang dari 300 hektar total lahan.
Akibatnya, hasil panen anjlok. Idealnya, 1 hektar sawah menghasilkan 5-7 ton gabah. Saat diserang tikus, sawah hanya mampu memproduksi 1-2 ton gabah. Padahal, biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Petani merugi hingga Rp 15 juta per hektar.
Tradisi Kala Gumarang sekaligus membuat guyub para petani. Ada petani yang bertugas menyiramkan air dari selang ke dinding pembatas saluran irigasi yang terbuat dari tanah. Petani lain bersiap memukul tikus yang keluar dari lubang-lubang itu. Kemudian ada petani yang bertugas menangkap hasil buruan dan memasukkan ke karung.
Semangat tani
Menurut pengamat budaya Karawang, Asep Sundapura, tradisi agraris itu menunjukkan budaya kerja sama yang ada sejak zaman dulu masih mengakar hingga sekarang. Di desa, mayoritas masyarakat bermata pencarian sebagai petani karena itu tak ada sekat satu sama lain. Saat musim tanam ataupun panen, semua orang saling membantu.
Bentuk kerja sama ini tidak ada kompensasi dan ketentuan yang mengikat. Mereka sukarela karena bagi mereka bertani tidak hanya meraup keuntungan. Semua tradisi mempunyai arti penting dalam kehidupan petani, sebagai pemersatu dan menjalin ikatan emosi yang baik di antara mereka. Dengan demikian, suasana kekeluargaan dan keakraban sangat terasa.
Semua tradisi itu, kata Asep, diyakini berkontribusi bagi kelangsungan pertanian di Karawang. Hingga kini Karawang masih menjadi lumbung pangan nasional meski ada sejumlah tantangan.
Perubahan alih fungsi lahan akibat perkembangan ekonomi dan zaman menjadi salah satu tantangan. Data Dinas Pertanian Karawang menunjukkan, tahun 2017, luas sawah 95.906 hektar menghasilkan 1.393.795 ton gabah kering panen (GKP). Setahun kemudian, luas lahan menurun menjadi 95.287 hektar, menghasilkan 1.216.652 ton GKP. Panen tahun 2018 itu setara 12 persen total produksi Jabar. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, potensi produksi padi Jawa Barat pada 2018 mencapai 9,54 juta ton.
Tantangan lain adalah keterbatasan air saat musim kemarau. Daerah rawan kekeringan di Karawang antara lain Kecamatan Tegalwaru, Pangkalan, Pakisjaya, Batujaya, Cibuaya, dan Cilamaya Wetan. Catatan Dinas Pertanian Karawang, tahun ini ada 1.644 hektar sawah yang terimbas kekeringan dari total lahan sawah di Karawang seluas 95.287 hektar.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Karawang Eka Sanatha mengatakan, upaya jangka panjang tengah disusun untuk mengatasi kekeringan. Salah satunya, Pemkab Karawang bakal membangun sejumlah bendungan serta embung di lokasi terdampak kekeringan.
Embung adalah tempat penampungan air hujan yang bisa dimanfaatkan pada saat musim kemarau untuk keperluan air bersih hingga irigasi. Sementara bendungan adalah pembatas yang dibangun melintasi sungai untuk mengubah karakteristik aliran sungai membentuk genangan air.
Bendungan dan embung akan dibangun di tiga kecamatan yang paling parah terdampak kekeringan, yakni Kecamatan Pangkalan, Tegalwaru, dan Ciampel. Ketiga lokasi berada di daerah yang tidak terjangkau irigasi dari bendungan di sekitarnya. Lokasinya di daerah yang tinggi sehingga sulit dijangkau saluran pengairan.
Anggaran proyek jangka panjang ini Rp 5 miliar-Rp 10 miliar per bendungan. Pengajuan dana telah diusulkan kepada Pemprov Jabar, tetapi hingga kini belum diputuskan.
Hama berganti
Kembali pada tradisi Kala Gumarang, hingga jelang siang, perburuan tikus di Ciranggon terus berlangsung. Hasilnya melegakan. Dua jam berburu, hampir satu karung atau sekitar 200 tikus dikumpulkan.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Desa Ciranggon Asep Saepudin mengatakan, jumlah tikus pada musim gadu atau kemarau tahun ini lebih banyak dibandingkan dengan tahun lalu. Pada periode yang sama tahun 2018, hama yang menyerang tanaman padi didominasi oleh wereng coklat dan penggerek batang. Tikus di sawah tidak sebanyak tahun ini.
”Tikus-tikus itu bisa menghabiskan bulir padi yang siap panen di lahan setengah hektar dalam waktu semalam. Namun, tikus juga memberikan pelajaran. Kalau ingin tetap hidup dari sawah, petani harus tetap guyub,” katanya.
Budaya agraris yang menghargai alam menjadi modal petani bangsa ini yang perlu dijaga. Tidak hanya mempertahankan produksi, tetapi juga merawat beragam nilai baik dalam kehidupan di lingkungan sekitarnya.