BPJS Kesehatan Segera Sosialisasikan Penyesuaian Iuran
›
BPJS Kesehatan Segera...
Iklan
BPJS Kesehatan Segera Sosialisasikan Penyesuaian Iuran
Jika penyesuaian tidak dilakukan, defisit keuangan yang dialami BPJS Kesehatan bisa mencapai Rp 77 triliun tahun 2024. BPJS Kesehatan perlu mengantisipasi peserta yang turun kelas ruang perawatan agar tetap bisa mengiur.
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah resmi menyesuaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional yang akan berlaku mulai 1 Januari 2020 dan segera disosialisasikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. BPJS Kesehatan pun perlu lebih proaktif mengantisipasi lonjakan turun kelas kepesertaan demi menyesuaikan kemampuan membayar iuran.
Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan pada 24 Oktober 2019. Jika penyesuaian tidak dilakukan, defisit keuangan yang dialami BPJS Kesehatan bisa mencapai Rp 77 triliun tahun 2024.
“Tentu kami akan melakukan sosialisasi bersama dengan kementerian dan lembaga terkait,” kata Kepala Humas BPJS Kesehatan Muhammad Anas Iqbal Ma’ruf saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (29/10/2019).
Perpres tersebut mengatur bahwa iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) untuk manfaat layanan ruang perawatan kelas III naik dari Rp 25.500 per orang per bulan menjadi Rp 42.000 per orang per bulan. Iuran untuk penerima manfaat layanan ruang perawatan kelas II naik dari Rp 51.000 per orang per bulan menjadi Rp 110.000 per orang per bulan. Demikian pula penerima manfaat layanan ruang perawatan kelas I, naik dari Rp 80.000 per orang per bulan menjadi Rp 160.000 per orang per bulan.
Pemerintah juga menaikkan besaran iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibiayai APBN dan APBD dari Rp 23.000 per orang per bulan menjadi Rp 45.000 per orang per bulan. Berbeda dengan peserta nonpenerima bantuan, kenaikan iuran untuk peserta PBI mulai berlaku sejak 1 Agustus 2019.
“Penyesuaian iuran JKN-KIS ini murni untuk memastikan program ini bisa tetap diakses oleh masyarakat,” tambah Anas.
Kendati demikian, pemerintah pusat akan memberikan bantuan pendanaan iuran kepada pemerintah daerah sebesar Rp 19.000 per orang setiap bulan untuk penerima PBI. Bantuan tersebut diberikan, terhitung sejak Agustus hingga Desember 2019.
Sejumlah ketentuan baru bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) juga diatur. Mereka akan tetap membayar iuran sebesar 5 persen dari gaji atau upah yang diterima per bulan. Peserta hanya membayar 1 persen saja, sedangkan 4 persen lainnya ditanggung pemberi kerja.
Gaji atau upah yang dijadikan dasar perhitungan iuran untuk peserta PPU pejabat negara, pimpinan dan anggota DPRD, PNS, prajurit dan anggota Polri adalah gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan atau tunjangan umum, tunjangan profesi dan tunjangan kinerja atau tambahan penghasilan bagi PNS daerah.
Sementara itu, gaji atau upah untuk dasar perhitungan iuran peserta PPU kepala desa dan perangkat desa serta pekerja/pegawai didasarkan pada penghasilan tetap. Bagi peserta PPU di luar yang sudah disebutkan, perhitungannya berdasarkan gaji atau upah pokok dan tunjangan tetap.
Prioritaskan bayar tunggakan
Defisit keuangan BPJS Kesehatan selama ini juga berdampak menumpuknya tunggakan pembayaran tagihan klaim layanan JKN fasilitas-fasilitas kesehatan, terutama rumah sakit. Pemerhati JKN-KIS, yang juga Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) 2014-2019, Ahmad Ansyori, mengatakan, ada sejumlah hal yang perlu diprioritaskan pascakeluarnya Perpres Nomor 72 Tahun 2019 ini.
Pertama, untuk iuran PBI yang dibayarkan pemerintah sejak 1 Agustus 2019, hendaknya digunakan untuk membayar tunggakan rumah sakit. Selain itu, BPJS Kesehatan diminta mencermati respon dari PBPU dan peserta BP yang kemungkinan akan turun kelas.
“Bisa jadi mereka akan menjadi penunggak-penunggak baru,” kata Ansyori. Menurut Ansyori, pemerintah dan BPJS Kesehatan juga perlu mengembangkan komunikasi yang efektif demi kesamaan persepsi dan mendapatkan dukungan dari pemangku kebijakan lainnya. Selain itu, validitas data PBI APBN dan APBD perlu ditingkatkan.