Dari Tanjung Pinang hingga Alor, Sama-sama Merawat Bahasa Indonesia
›
Dari Tanjung Pinang hingga...
Iklan
Dari Tanjung Pinang hingga Alor, Sama-sama Merawat Bahasa Indonesia
Di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau kaum muda giat menafsirkan syair klasik Melayu yang jadi tulang punggung bahasa Indonesia. Nun jauh di timur, di Pulau Alor, orang-orang mempraktikkan bahasa Indonesia dengan elok.
Oleh
Herlambang Jaluardi dan Soelastri Soekirno
·4 menit baca
Di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau kaum muda giat menafsirkan syair klasik Melayu yang jadi tulang punggung bahasa Indonesia. Nun jauh di timur, tepatnya di Pulau Alor, orang-orang mempraktikkan bahasa Indonesia dengan elok dan benar. Mereka yang di hulu dan hilir sama-sama merawat bahasa Indonesia.
Kamis (17/10/2019), keramaian terlihat di halaman rumah dinas gubernur Kepulauan Riau. Di sana digelar Festival Gemala yang ditaja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI bekerja sama dengan pemerintah setempat. Festival diisi antara lain acara balas pantun dan tarian zapin massal yang melibatkan 500 siswa. Selain itu, digelar lomba visualisasi naskah Gurindam Dua Belas, karya Raja Ali Haji tahun 1847.
Raja Ali Haji adalah sastrawan, ulama, juga pengkaji bahasa. Salah satu bukunya, Kitab Pengetahuan Bahasa (1857) membakukan bahasa Melayu Tinggi yang kelak menjadi induk bahasa Indonesia. Buku itu ditulis di Pulau Penyengat, tanah kelahirannya, yang bisa diseberangi dengan perahu dari Tanjung Pinang tak lebih dari 15 menit.
Jika hendak mengenal orang yang mulia/lihatlah pada kelakuan dia//Jika hendak mengenal orang yang berilmu/bertanya dan belajar tiadalah jemu//
Malam itu, enam belas kelompok berupaya mengalihkreasikan ajaran filsafat sastrawi Gurindam Dua Belas dalam pertunjukan teater. Sanggar Seni Titah Tuanku yang terdiri dari 10 anak muda usia 20-an tahun menafsirkan Pasal V. Begini salah satu bagian petikannya, "Jika hendak mengenal orang yang mulia/lihatlah pada kelakuan dia//Jika hendak mengenal orang yang berilmu/bertanya dan belajar tiadalah jemu//”
Pasal yang berisi dua belas larik itu ditampilkan dalam rupa teater berdurasi sepuluh menit. Penampilan sanggar itu terbilang lengkap. Ada seni tari, seni peran, deklamasi, berpadu dengan permainan biola dan rebana, dalam balutan pakaian bernuansa songket yang berkilauan.
“Seni tradisi diwakili musik, deklamasi, dan naskahnya. Sedangkan koreografi tarinya bergaya kontemporer. Contohnya waktu adegan tarik kain hitam, itu menggambarkan kekelaman yang melatari masa kepenulisan Raja Ali Haji. Sedangkan lentera melambangkan cahaya yang mengikis kekelaman,” kata Handry Fahmizar (42), sutradara sekaligus pendiri sanggar itu.
Iklim pertunjukan di Tanjung Pinang, kata Handry, kerap memanggungkan kesenian tradisi. Kecenderungan itu ia anggap mendorong pelestarian budaya Melayu, termasuk di dalamnya karya sastra Melayu. Maka dari itu, naskah klasik seperti Gurindam Dua Belas tetap bisa akrab di kalangan anak muda yang juga menyukai hal-hal modern.
Contohnya Haryadi, mahasiswa Administrasi Negara Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji, Tanjung Pinang. Mahasiswa berusia 21 tahun itu menggemari karya sastra klasik Melayu dan tari tradisi sejak lama. Ketika ditanya mengapa tertarik pada sastra klasik Melayu, ia menjawabnya dengan pepatah yang pernah diutarakan Hang Tuah. "Supaya tak kan Melayu hilang di bumi, bumi bertuah negeri beradat." Ia melanjutnya, “Siapa lagi yang mau mengangkat seni Melayu, kalau tidak kita kaum mudanya.”
Demikianlah warga Kepulauan Riau merawat dan menghidupi bahasa Indonesia, yang merupakan keturunan bahasa ibu mereka, bahasa Melayu.
Bahasa elok
Nun jauh dari Tanjung Pinang, warga Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, melantunkan bahasa Indonesia dengan amat elok. Padahal Pulau Alor berjarak 2.400-an kilometer dari Tanjung Pinang jika ditarik garis lurus di atas peta.
Anak-anak hingga orang lanjut usia di pulau kecil yang bertetangga dengan Timor Leste itu begitu tertib menggunakan bahasa Indonesia yang baku mulai di sekolah, rumah makan, jalanan, hingga pasar. Di Alor, kata “beta” atau “katong” tak berlaku, melainkan “saya” ketika merujuk pada diri sendiri. Warga Alor menggunakan kata “mereka” alih-alih “dong” yang kerap dipakai warga Soe (Timor Tengah Selatan) dan Kefamenanu (Timor Tengah Utara). Penggunaan penggalan suku kata seperti “su” (sudah), “sa” (saya), dan “pi” (pergi) seperti yang biasa dilontarkan warga Flores juga tak terdengar di Alor.
“Kami memakai bahasa Indonesia yang baik, dan itu selalu dijaga di sini,” kata Agustina Susan Sina, guru bahasa Indonesia di SMA Negeri 2 Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor. Sepanjang 40 menit percakapan dengannya, tak sekalipun dia memakai kata “enggak”, melainkan “tidak”.
Langgam bahasa Indonesia yang elok itu tak cuma terdengar di ibu kota kabupaten tetapi juga hingga ke pelosok desa. Di Dusun, Desa Probur Utara, Kecamatan Alor Barat Daya yang mesti ditempuh sekitar dua jam perjalanan dengan mobil dari Kalabahi ditambah jalan kaki dua kilometer, Imanuel Kolimalay (61), bercengkerama dengan keluarganya dalam bahasa Indonesia yang baku, Rabu (16/10/2019).
Apa yang menyebabkan warga Alor begitu memuliakan bahasa Indonesia, yang sebenarnya bukan bahasa ibunya? “Kami sama-sama tidak tahu bahasa masing-masing, sehingga satu-satunya alat berkomunikasi adalah dengan bahasa Indonesia,” kata Anis Atamai (31), warga Kalabahi.
Sebagai catatan, di Alor ada 30-an ragam bahasa lokal yang dipakai beberapa suku atau desa. Wilayah satu desa bahkan bisa memiliki lebih dari satu bahasa.
Yunus Adifa, Sekretaris Dinas Kebudayaan Kabupaten Alor menyebut, biasanya warga mengucilkan orang Alor yang tidak mau berbicara bahasa Indonesia. “Kalau ditegur tidak juga mau berubah, tidak ada yang ajak orang itu tidak diajak omong sampai dia malu sendiri,” tutur Yunus.
Begitulah cara orang Alor yang selalu setia memakai bahasa Indonesia baku dari generasi ke generasi.