Perilaku antikorupsi sudah dicontohkan tokoh pendahulu. Jujur dan tak mau disuap tersemat pada tokoh-tokoh sekaligus pejuang antikorupsi. Wakil Presiden pertama RI Mohammad Hatta, mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso, dan mantan Jaksa Agung Baharuddin Lopa adalah tiga sosok yang memberikan keteladanan dalam pemberantasan korupsi.
Meskipun negara ini memiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didirikan berlandaskan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jumlah jenis kejahatan itu bukannya turun, melainkan malah bertambah. Modus makin beragam, pelaku meluas ke berbagai kalangan, mulai dari pegawai negeri, pengusaha, politisi, hakim, kepala daerah, Ketua MK, Ketua DPD, Ketua DPR, hingga menteri.
Sejatinya, perilaku korupsi bisa dicegah sejak dini dengan menanamkan sifat kejujuran dan menolak suap. Menghalau keinginan menyuap yang muncul dari dalam diri sendiri juga menjadi salah satu tindakan preventif agar tak terjebak dalam pusaran kasus korupsi. Berikut ini kiprah tiga tokoh yang menjadi panutan dalam pemberantasan korupsi.
Mohammad Hatta
Mohammad Hatta yang akrab disebut Bung Hatta merupakan contoh negarawan yang sangat tegas menolak suap. Dalam buku Mengenang Bung Hatta karya I Wangsa Widjaja yang terbit pada 1988, dikisahkan pada tahun 1970, Bung Hatta melakukan kunjungan kerja ke Irian Jaya (Papua). Ia pergi ke daerah Tanah Merah. Pesawat berangkat dari Bandara Kemayoran menuju Ujung Pandang (Makassar) karena harus berganti pesawat dengan ukuran lebih kecil untuk melanjutkan penerbangan ke Jayapura.
Di Bandara Sentani di Jayapura, Bung Hatta disambut Gubernur Irian Jaya Kaisieppo, dan Bupati Jayapura Anwar Ilmar. Rombongan langsung diantar ke penginapan dari bandara.
Pagi harinya, sahabat Bung Hatta, Soemarmo, yang juga pejabat Departemen Penerangan selama 10 tahun di Irian Jaya, datang. Soemarmo adalah orang yang berinisiatif membujuk Bung Hatta agar mau berkunjung ke Irian Jaya. Saat itu, Bung Hatta selama menjadi wapres belum pernah pergi ke Irian Jaya. Soemarmo berpendapat tak lengkap jika Bung Hatta belum pergi ke Irian Jaya. Sebelumnya, tahun 1963, Bung Karno berkunjung ke Irian Jaya.
Kedatangan Soemarmo ke penginapan Bung Hatta pada pagi itu bertujuan memberi sesuatu. Soemarmo membawa amplop di tangannya. Setelah mengobrol, Soemarmo menyodorkan amplop ini ke hadapan Bung Hatta. Spontan Bung Hatta bertanya, ”Surat apa ini?”
Soemarmo menjawab, ”Bukan surat, Bung... uang. Uang saku untuk selama perjalanan Bung Hatta di sini.” Bung Hatta balik bertanya lagi, ”Uang apa lagi? Bukankah semua ongkos perjalanan saya ditanggung pemerintah? Dapat mengunjungi daerah Irian ini saja saya sudah harus bersyukur. Saya benar-benar tidak mengerti uang apa lagi ini?”
”Lho Bung... ini pun uang dari pemerintah, termasuk dalam biaya perjalanan Bung Hatta dan rombongan,” ujar Soemarmo mencoba meyakinkan Bung Hatta.
Menurut peraturan yang berlaku saat itu, setiap pejabat yang berkunjung ke daerah selalu disediakan uang saku selama perjalanan. Dengan demikian, uang dalam amplop itu sah dan masuk dalam anggaran perjalanan Bung Hatta.
”Tidak, itu uang rakyat. Saya tak mau terima. Kembalikan!” kata Bung Hatta menolak amplop yang disodorkan kepadanya. ”Maaf, Saudara, saya tetap tidak mau menerima uang itu. Sekali lagi saya tegaskan, bagaimanapun itu uang rakyat dan harus dikembalikan kepada rakyat,” perintah Bung Hatta.
Saat mengunjungi Digul, Bung Hatta melihat kondisi masyarakat Digul yang memprihatinkan, amplop berisi uang yang dibawa Soemarmo diserahkan kepada masyarakat. Hal ini menegaskan komitmen Bung Hatta bahwa uang yang akan diberikan kepadanya adalah uang milik rakyat dan harus dikembalikan kepada mereka.
Hoegeng Iman Santoso
Indonesia juga memiliki sosok polisi yang bisa dijadikan teladan dalam hal perilaku antikorupsi. Mantan Kapolri Hoegeng Iman Santoso adalah ikon tokoh polisi yang tak bisa disuap.
Dalam buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan karya Suhartono edisi 2013, digambarkan karakter kejujuran Hoegeng. Pada saat ditempatkan menjadi Kepala Direktorat Reserse dan Kriminal (Ditserse dan Kriminal) Kantor Kepolisian Provinsi Sumatera Utara, ia menghadapi tantangan yang tak mudah bagi polisi muda yang baru merintis karier.
Saat itu, Kota Medan dikenal bukan wilayah kerja yang enteng, terutama bagi polisi yang jujur dan tak mau kompromi. Di Medan, saat itu marak kejahatan penyelundupan berbagai barang yang masuk ke Indonesia ataupun keluar dari Indonesia. Praktik suap marak dilakukan pengusaha.
Setibanya di kota Medan untuk mulai menjalankan tugas, Hoegeng disambut pengusaha. Seorang pengusaha menyatakan sudah menyiapkan rumah dan kendaraan bagi Hoegeng serta keluarganya selama bertugas di Medan. Bahkan, saat tiba pertama kali di Medan, Hoegeng siap diantar ke hotel yang disiapkan panitia penyambutan. Namun, Hoegeng menolak secara halus semua tawaran tersebut.
Setibanya di rumah dinas di Jalan A Rivai, Medan, Hoegeng mendapat kiriman perabotan dari pengusaha. Barang itu antara lain mesin cuci, kulkas, dan mesin jahit. Hoegeng menolak secara halus dan meminta para pengusaha menarik barang-barang tersebut.
Namun, pengusaha bersikeras tak akan mengambil barang yang sudah dikirim ke Hoegeng sebagai ”hadiah” buat pejabat baru. Karena tak diambil, akhirnya Hoegeng mengeluarkan sendiri barang-barang tersebut dan meletakkannya di depan rumah hingga berhari-hari. Tak ada orang lain yang mengambilnya. Barang-barang ini pun rusak akibat terkena cahaya matahari dan hujan.
Itulah sikap tegas figur polisi Hoegeng Iman Santoso sehingga pantas menjadi teladan bagi aparat negara. Ia menolak menerima hadiah dari pihak mana pun yang berpotensi berhubungan dengan pekerjaannya dalam menjalankan tugas.
Baharuddin Lopa
Mantan Jaksa Agung Baharuddin Lopa adalah figur penegak hukum yang berintegritas dalam menjalankan tugas. Dalam buku Apa dan Siapa Baharuddin Lopa yang diterbitkan Kejaksaan Agung tahun 2012, digambarkan sosok Lopa yang sederhana.
Dalam buku tersebut, Abraham Samad menulis Lopa tak memiliki harta melimpah di rumahnya hingga wafat. Rumahnya di Makassar sangat sederhana untuk ukuran pejabat tinggi negara dibandingkan pejabat tinggi sekarang ataupun pejabat tinggi negara pada saat itu.
Pada suatu ketika, Lopa ingin membeli mobil pribadi karena tak mau menggunakan mobil dinas untuk kegiatan keseharian. Lopa menghubungi Jusuf Kalla yang merupakan pengusaha otomotif di Makassar dan berniat membeli sedan yang paling murah. Kalla menawarkan kepada Lopa Toyota Corolla seharga Rp 5 juta, padahal harga sesungguhnya Rp 27 juta. Karena tidak mau membeli dengan harga teman tersebut, Lopa membayar mobil dengan harga asli, dicicil selama tiga tahun.
”Ya... boleh terima mobil darimu karena memang tidak ada urusan apa pun. Tapi, suatu saat kau atau temanmu punya urusan kemudian datang dan minta tolong, saya tidak tegak lagi karena telah tersandera pemberianmu waktu itu,” ungkap Lopa kepada Kalla.
Lopa sangat antisuap. Ia sering menerima parsel atau bingkisan pada hari raya, tetapi semuanya selalu dikembalikan kepada pengirim. Suatu kali, anak-anak Lopa mengambil cokelat dalam parsel dan menutup kembali bungkus parsel tersebut. Hal ini diketahui Lopa. Ia lalu mencari bungkus cokelat tersebut dan membeli produk yang sama persis untuk dimasukkan ke parsel. Ia mengembalikan parsel kepada pengirim.
Tiga sosok tersebut menggambarkan betapa banyak godaan dan tantangan yang sewaktu-waktu menghampiri pejabat negara atau pejabat publik. Suap berupa uang ataupun dalam bentuk fasilitas bisa diberikan pengusaha atau pihak lain.
Di Indonesia, sudah ada KPK. Pemberantasan korupsi diperkuat dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang No 8 Tahun 2010 Tindak Pidana Pencucian Uang.
Meskipun demikian, undang-undang tentang KPK baru-baru ini direvisi DPR dan pemerintah. Akibatnya, ada beberapa prosedur yang menambah panjang proses penyidikan satu kasus korupsi, seperti keberadaan Dewan Pengawas
dan izin menyadap dari pengadilan.
Mudah-mudahan perubahan prosedur dalam penyidikan kasus korupsi tidak membuat jumlah kasus korupsi yang diusut oleh KPK berkurang.
(LITBANG KOMPAS)