Sekitar 70 pengusaha Sulawesi Utara bertemu langsung dengan 49 pengusaha Mindanao, Filipina, untuk mencoba membuat kesepakatan dagang, Selasa (29/10/2019).
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS – Sekitar 70 pengusaha Sulawesi Utara bertemu langsung dengan 49 pengusaha Mindanao, Filipina, untuk mencoba membuat kesepakatan dagang, Selasa (29/10/2019). Kedua pemerintah akan menghitung total nilai kesepakatan dagang antarpengusaha, baru kemudian menentukan moda transportasi ekspornya.
Pertemuan di salah satu hotel di Manado itu juga jadi ajang pameran berbagai produk Sulut dan Mindanao. Mayoritas produk Mindanao adalah makanan jadi, seperti cokelat batang, keripik pisang, permen durian, dan minuman cokelat bubuk. Sulut memamerkan antara lain tepung kelapa, minyak kelapa murni, kopra putih, ikan kaleng, dan kopi bubuk.
Ada pengusaha Mindanao yang mau bikin sosis dan hot dog dari pisang. Mereka butuh rempah-rempah dan tertarik dengan pala kami.
Acara itu dimanfaatkanManajer Pemasaran PT Gunung Intan Permata, Debora Manueke, untuk mencari pembeli pala, cengkeh, dan fuli (bunga) pala perusahaannya. Meski belum ada kesepakatan yang dibuat, ia melihat prospek yang baik.
“Ada pengusaha Mindanao yang mau bikin sosis dan hot dog dari pisang. Mereka butuh rempah-rempah dan tertarik dengan pala kami. Kami sudah bertukar nomor telepon dan email,” katanya.
Jika kesepakatan tercapai, perusahaannya akan mulai mengirim dalam jumlah kecil, sekitar 10 kilogram saja. Kargo Garuda Indonesia yang terbang dua kali seminggu dari Manado ke Davao bisa dimanfaatkan.
Wakil Wali Kota Gingoog, Filipina, Peter Unabia, mengatakan, telah berbicara dengan produsen kakao, kopi, dan jagung Sulut. Kota di utara Pulau Mindanao itu berencana membangun sentra produksi kakao, tapi masih kekurangan pasokan dari dalam negeri. “Sementara kami berencana mendatangkan dari Sulut dulu,” katanya.
Peter menambahkan, pengusaha Gingoog juga tertarik membeli jagung Sulut. “Tapi harganya 16,50 peso (Rp 4.521). Di tempat kami hanya 12,50 peso (Rp 3.425)” katanya.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperindag) Sulut Jenny Karouw mengatakan, kesamaan produk antara Sulut dan Mindanao tidak masalah. Sulut tetap bisa mengekspor karena kurangnya pasokan di Mindanao, seperti kakao. Di paruh kedua 2018 saja, Sulut menghasilkan 11.591 ton kakao, sedangkan Mindanao hanya 6.500 ton sepanjang tahun.
Kami membutuhkan jagung Sulut untuk mendukung peternakan ayam yang sedang berkembang.
Potensi produk Sulut yang lain, seperti pala dan turunannya, cukup besar karena tidak ada di Mindanao. Semen juga semakin dibutuhkan di Mindanao yang sedang menggenjot pembangunan. “Peluang di bidang konstruksi bisa kita ambil,” kata Jenny.
Di lain pihak, Kepala Otoritas Pembangunan Mindanao (MinDA) Emmanuel Pinol mengatakan, ia berupaya memperbaiki neraca perdagangan Mindanao yang pada 2018 mengalami defisit sebesar 926,13 juta dollar AS. Ia pun memfokuskan tawaran ekspor produk ritel makanan jadi dari Mindanao serta produk-produk berteknologi.
“Kami menawarkan peralatan sawah padi serta teknologi dan peralatan sistem irigasi panel surya. Pakan hewan juga bisa kami sediakan. Sebaliknya, kami membutuhkan jagung Sulut untuk mendukung peternakan ayam yang sedang berkembang,” katanya.
Pinol bahkan menawarkan kesempatan ekspor ayam hidup ke Mindanao. Sebab, Mindanao punya budaya menyabung ayam yang sangat besar. “Di Mindanao, sabung ayam itu bisnis multimiliar peso. Bukan hanya butuh ayam, tapi juga pakan dan obat-obatan hewan,” ujarnya.
Penjajakan perdagangan Sulut-Mindanao adalah yang pertama dilakukan pemerintah Mindanao secara internasional. Ia memperkirakan, setidaknya lima atau enam kesepakatan telah tercapai pada acara itu. “Ini kesepakatan yang baik dan kami ingin terus mengembangkannya ke sektor lain, seperti pariwisata,” kata Pinol.
Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Disperindag Sulut Darwin Muksin mengatakan, Pemerintah Provinsi Sulut juga tidak memasang target nilai perdagangan yang ingin dicapai. “Pokoknya pemerintah ingin ada deal dulu. Setelah jumlahnya ketahuan, baru kami rundingkan masalah transportasi untuk pengirimannya,” katanya.
Masih kurang
Menurut data Kementerian Perdagangan, total perdagangan Indonesia-Filipina selama Januari-Agustus 2019 mencapai 5 miliar dollar AS. Indonesia mencatat surplus sebesar 3,93 miliar dollar AS. Namun, ekspor dari Sulut ke Filipina tergolong kecil, hanya 5 persen dari total ekspor sekitar 80 juta dollar AS.
Kepala Disperindag Sulut Jenny mengatakan, itu disebabkan terbatasnya konektivitas kapal antara Sulut dan Mindanao. “Ekspor kami harus lewat Jakarta dan Surabaya. Selain itu, kami juga jual jagung, tetapi dengan kapal kayu yang kapasitasnya setara 8 TEUs (peti kemas 20 kaki) dari Kepulauan Sangihe,” katanya.
Keterhubungan Pelabuhan Peti Kemas Bitung dan Pelabuhan Kudos di Davao gagal berlanjut setelah dibuka pada April 2017 dan Juni 2019. Jenny mengatakan, biaya kirim per peti kemas yang ditetapkan operator jalur perdagangan dari Filipina terlalu mahal bagi pengusaha, yaitu 1.620 dollar AS, delapan kali lebih mahal dibanding biaya di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Sebelum biaya kirim bisa ditekan, kata Jenny, pengusaha bisa memanfaatkan kargo Garuda Indonesia yang terbang dari Manado ke Davao dua kali sepekan. Selain itu, kapal-kapal rakyat masih bisa dimanfaatkan.
Sebaliknya, Emmanuel Pinol mengatakan, pihaknya lebih ingin ekspor-impor melalui kapal laut. Ia membuka kesempatan bagi operator kapal Indonesia yang menawarkan harga lebih baik. “Tidak masalah kapal Filipina atau Indonesia, yang penting pengusaha untung,” kata Pinol.