Bekerja sebagai barista menjadi tren di kalangan mahasiswa seiring dengan melejitnya bisnis kedai kopi pada 3-4 tahun terakhir ini. Mereka bekerja sambil kuliah. Bikin kopi sambil mengerjakan tugas kuliah atau skripsi.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Bekerja sebagai barista menjadi tren di kalangan mahasiswa seiring dengan melejitnya bisnis kedai kopi pada 3-4 tahun terakhir ini. Mereka bekerja sambil kuliah. Bikin kopi sambil mengerjakan tugas kuliah atau skripsi.
Sejak akhir 2016, kegiatan sehari-hari Fani berkutat seputar kuliah dan kedai kopi. Setelah kuliah selesai, ia bergegas ke Haus Coffee di Jalan Kertamukti, Ciputat, Tangerang Selatan, untuk bekerja sebagai barista. Ketika pengunjung kedai tidak banyak, ia punya waktu untuk membuka laptop dan mengerjakan tugas kuliah.
”Kalau sekarang saya tinggal ngerjakan skripsi, jadi nggak sesibuk dulu,” ujar Fani, yang ditemui pada Selasa (29/10/2019) di Coffee Haus.
Ketika jadwal kuliahnya padat, Fani mengaku kerepotan membagi waktu antara kampus dan kedai kopi. Apalagi, ia juga aktif di organisasi ekstra dan intra kampus. ”Pokoknya capek banget, tapi menyenangkan,” ujarnya.
Fani mengaku terdorong menjadi barista karena menyukai kopi. Kebetulan sepupunya di Lampung suka mengirimkan kopi. Dari situ, Fani coba-coba menyeduhnya sebisa mungkin. Hasilnya kurang enak karena ia saat itu belum tahu bagaimana menyeduh kopi dengan benar.
Pucuk dicinta ulam tiba. Haus Coffee membutuhkan mahasiswa yang mau bekerja paruh waktu menjadi barista. Fani mendaftar dan diterima bekerja. Ia mulai belajar meracik minuman dari nol. Yang mengajari Mochtar dan Mahfud, pendiri Haus Coffee.
”Awalnya belajar bikin minuman blanded, setelah itu kopi hitam. Ini yang susah. Saya belajar sampai enam bulan untuk dapat taste yang bagus,” katanya.
Untuk menjadi barista memang tak semudah yang dikira. Varian Damario (18), mahasiswa Jurusan Teknik Informatika Bina Nusantara University, menceritakan proses yang ia lalui untuk belajar kopi cukup panjang.
”Saya harus mengeksplorasi kopi, mempelajari kopi dari mana asal kopi, prosesnya, varietasnya, dan lain-lain. Pengetahuan kopi luas banget karena kopi berkembang seiring metode-metode baru. Namun, tidak semua metode harus dikuasai karena setiap barista memiliki cara dan standar masing-masing,” kata Varian.
Awalnya, Varian tertarik belajar membuat kopi secara otodidak. Sampai suatu hari di tahun 2016, ia datang ke sebuah kedai kopi dan bertanya-tanya kepada baristanya. Secuil ilmu yang ia peroleh dari barista itu ia praktikan sendiri dengan peralatan yang ia miliki. Untuk menambah ilmunya, ia memilih magang di Zuma Coffee & Cvit selama 1,5 tahun.
Dari situ ia diajari standar SCAA mulai dari proses penanaman kopi di petani hingga bentuk minuman kopi. Dari proses magang, ia tahu bahwa rasa kopi itu tak hanya pahit dan asam, tetapi beragam, seperti asin, manis, rasa buah, anggur, dan lain-lain.
”Tetapi, gue tetap harus fokus sama kuliah gue. Kalau ada waktu kosong aja gue belajar tentang kopi,” ujarnya.
Pengalaman serupa juga didapat Laurentius Setiawan (21), mahasiswa Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara, saat bekerja paruh waktu di kedai kopi pada akhir Juni 2017. Ia mulai belajar dari pemilik kedai untuk membuat kopi secara manual. Setelah mahir, barulah ia menggunakan mesin kopi. Ia memilih magang di kedai kopi karena suka minum kopi. Namun, ternyata tidak mudah bekerja sebagai barista karena harus mengorbankan waktu santai dan bermain.
”Dulu ketika semester 4 dan 5, sering satu minggu tidak ada waktu istirahat dan santai. Jadwal benar-benar padat. Saatnya waktu kosong, ya, untuk membuat tugas dan liputan. Selesai tugas, lanjut kerja lagi. Kalau kuliah, otaknya yang terkuras. Kalau kerja, fisiknya yang terkuras. Jadi sangat lelah,” kata Laurentius, yang ingin menjadi roaster kopi dan membuka restoran itu.
Gumilang Alam, mahasiswa Jurusan Sistem Informasi Fakultas Teknologi Informasi Universitas Budi Luhur, tidak kesulitan membagi waktu antara kuliah dan kerja sebagai barista di kedai kopi Kararopi di daerah BSD, Tangerang Selatan.
”Kebetulan jadwal kuliah lebih banyak pagi dan kedai kopi tempat saya bekerja buka sore hingga malam hari. Selesai kuliah langsung cabut ke Kararopi. Enggak pernah nongkrong-nongkrong,” ujarnya.
Kopi dan duit
Selain bisa meracik kopi yang nikmat, mahasiswa yang jadi barista di kedai juga dapat penghasilan tambahan. Alam mengaku, dengan gajinya sebagai barista paruh waktu, ia bisa membiayai kebutuhan sehari-hari. Bahkan, masih ada sisanya yang ia sisihkan untuk peralatan kopi dan biji kopi. ”Lumayan sekali bisa punya uang sendiri supaya tidak merepotkan orangtua,” ujarnya.
Seperti Alam, Laurentius juga bisa membiayai hidupnya sendiri. Ia hanya minta uang dari orangtua untuk bayar kuliah.
Sementara itu, Fani mengaku jadi lebih mandiri setelah bekerja sebagai barista. Ia mendapat penghasilan per bulan lebih dari Rp 1 juta dari kedai tempatnya bekerja. ”Buat mahasiswa, duit segitu lumayan gede,” ujarnya. (*)