Jusuf Kalla: Persatuan Indonesia Tak Cukup dengan Simbol
›
Jusuf Kalla: Persatuan...
Iklan
Jusuf Kalla: Persatuan Indonesia Tak Cukup dengan Simbol
Wakil Presiden Indonesia ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla mengingatkan bahwa persatuan Indonesia di masa depan tak cukup hanya dengan simbol. Persatuan harus mewujud dalam hal nyata berupa keadilan dan usaha memajukan bangsa.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Wakil Presiden Indonesia ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla mengingatkan bahwa persatuan Indonesia di masa depan tak cukup hanya dengan simbol. Persatuan harus mewujud dalam hal nyata berupa keadilan dan usaha untuk memajukan bangsa.
Hal itu ia sampaikan saat menjadi pembicara kunci dalam Diskusi Satu Nusantara “Memupuk Rasa Persatuan dan Toleransi terhadap Perbedaan”, Selasa (29/10/2019), di Lembaga Ketahanan Nasional RI, Jakarta. Diskusi itu diselenggarakan oleh Ikatan Alumni SMA Taruna Nusantara.
“Apa yang dapat mempersatukan kita di masa datang? Tentu bagus sekali acara pawai obor (kebangsaan), tetapi berpuluh tahun hal itu dilaksanakan tetap saja ada konflik. Persatuan bisa dicapai dengan mencapai tujuan bersama secara adil,” katanya.
Dia menjelaskan, dalam sejarah Indonesia sedikitnya ada 15 konflik besar. Konflik besar tersebut diukur berdasarkan korban jiwanya yang lebih dari 1.000 orang. Konflik itu antara lain Gerakan 30 September 1965, PRRI-Permesta, hingga konflik Aceh. “Sebagian besar, konflik itu disebabkan oleh perasaan tidak adil,” katanya.
Adil dalam konteks ini, kata Kalla, adalah setiap anak bangsa mendapat kesempatan sama, entah itu dalam hal pendidikan maupun dalam kesempatan berusaha. Harus diakui, lanjutnya, kesenjangan masih terjadi di Indonesia.
Memang tidak mudah, katanya, untuk mengurus warga bangsa yang jumlahnya mencapai 260 juta orang. Ditambah lagi, Indonesia merupakan negara kepulauan. Mengurusnya lebih sulit ketimbang negara berbasis daratan.
Tentu bagus sekali acara pawai obor, tetapi berpuluh tahun hal itu dilaksanakan tetap saja ada konflik. Persatuan bisa dicapai dengan mencapai tujuan bersama secara adil,
Akan tetapi, meski sulit, pemerintah terus berusaha untuk mewujudkan persatuan dengan cara nyata. Cara ini, antara lain dengan memberikan kredit kepada pengusaha kecil, mikro, dan menengah. “Tujuannya agar jangan jangan yang besar saja tumbuh, tetapi juga menaikkan ekonomi masyarakat kecil,” katanya.
Di sisi lain, lanjutnya, dunia mengalami revolusi besar-besaran hampir di semua lini kehidupan. Untuk mengantisipasi perubahan ini, dibutuhkan pendidikan yang memadai.
Dia menerangkan, ada dua paradigma pendidikan: pendidikan yang fokus pada mengasah kemampuan berpikir dan pendidikan berbasis keterampilan. Paradigma pertama melahirkan inovasi, sedangkan yang kedua menghasilkan produk. Dua-duanya dibutuhkan oleh bangsa Indonesia.
“Tanpa inovasi, tidak ada yang dikerjakan orang yang punya keterampilan. Kalau tak ada keterampilan, inovasi sehebat apa pun tak ada yang bisa dimajukan. Hanya dengan ini bangsa kita bisa maju dan bersatu,” katanya.
Ketua Pelaksana Diskusi Satu Nusantara Renard Widarto menambahkan, ada dua ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia. Pertama, tentang adanya potensi disintegrasi bangsa. Hal ini dapat dicermati dari maraknya paham radikal yang ingin mengganti ideologi negara.
Selanjutnya, polarisasi masyarakat. Publik terkotak-kotak oleh suku, ras, agama, bahkan oleh pilihan politik. Ancaman ini, menurutnya, kian nyata di era banjirnya informasi. Masyarakat dengan mudah tersulut oleh informasi yang provokatif.
“Oleh sebab itu, melalui gerakan satu nusantara, kami ingin memperkuat semangat lagi persatuan generasi muda,” katanya.
Kegiatan Satu Nusantara memiliki lima kegiatan, salah satunya obor bara nusantara. Kegiatan ini merupakan pawai obor di seluruh provinsi. Per Januari 2020, ada tiga obor yang akan diarak: obor satu nusa, obor satu bangsa, dan obor satu bahasa. Obor satu nusa diarak dari Aceh, obor satu bangsa diarak dari Kalimantan Utara, dan obor satu bahasa diarak dari Papua. Setelah berkeliling di 34 provinsi, obor ini akan diterima Presiden pada Juli 2020 di Jakarta.