Lintas Sektoral Masih Menghambat Pemberantasan Penyakit Sistosomiasis di Sulteng
›
Lintas Sektoral Masih...
Iklan
Lintas Sektoral Masih Menghambat Pemberantasan Penyakit Sistosomiasis di Sulteng
Belum terbangunnya kerja sama lintas sektor menghambat pemberantasan penyakit demam keong atau sistosomiasis, penyakit endemik di Sulawesi Tengah.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS - Belum terbangunnya kerja sama lintas sektor menghambat pemberantasan penyakit demam keong atau sistosomiasis, penyakit endemik di Sulawesi Tengah. Akibatnya, penanganan penyakit tak menyeluruh. Penyakit tersebut ditargetkan eliminasi pada 2025.
Hal itu terungkap dari rapat evaluasi monitoring lintas sektor di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (30/10/2019). Hadir dalam kegiatan tersebut, antara lain Gubernur Sulteng Longki Djanggola, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, dan Kepala Dinas Kesehatan Sulteng Renny Lamadjido.
"Hasil monitoring kami, kerja sama lintas sektoral di lokasi penyakit belum sinkron," kata Siti.
Ia mencontohkan pemerintah desa belum terlibat dalam pengganggaran memberantas penyakit dengan alokasi dana desa. Desa masih ragu karena belum ada pedoman atau petunjuk terkait penggunaan dana desa untuk pemberantasan sistosomiasis di daerah endemik penyakit tersebut.
Sistosomiasis atau demam keong adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Schistosoma japonicum. Cacing ini hidup di pembuluh darah, terutama di kapiler darah dan vena kecil dekat selaput usus.
Sistosomiasis ditularkan oleh keong Oncomelania hupensis lindoensis. Penularan sistosomiasis terjadi melalui kontak langsung dengan air dimana keong menjadi vektor pembawa larva infektif cacing sistosoma (serkarea) hidup.
Manusia berisiko terinfeksi ketika mencuci, mandi, dan melewati air yang mengandung larva infektif serkaria. Larva tersebut dapat menembus kulit manusia dan menjadi dewasa di dalam tubuh manusia.
Infeksi sering terjadi pada anak usia sekolah, petani, penangkap ikan, pekerja irigasi, serta orang yang menggunakan sumber air yang mengandung sistosoma. Anak-anak yang menderita penyakit itu bisa mengalami kelainan pertumbuhan dan kelemahan kognitif.
Di Indonesia, sistosomiasis hanya merebak di Lembah Napu dan Lembah Bada di Kabupaten Poso serta Lembah Lindu di Kabupaten Sigi. Penyakit itu ada di 28 desa. Titik fokus atau habitat penyakit tersebar di dekat permukiman, kebun, sungai, dan padang penggembalaan. Sejumlah fokus yang teridentifikasi ditandai dengan pemasangan papan informasi.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan, prevalensi sistosomiasis pada 2018 mencapai 0,3 persen dr target 0,5 persen. Meskipun data lengkap belum dikeluarkan, berdasarkan pengobatan pada 2019 prevalensinya 0,1 persen.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bersama dengan Pemerintah Provinsi Sulteng pada 2018 telah menyusun Peta Jalan Eradikasi Sistosomiasis 2018-2025. Targetnya 0 persen penyakit pada manusia di 2025.
Renny menyampaikan dari segi penyakit pada manusia yang ditangani Dinas Kesehatan, prevalensinya turun terus. Artinya program berjalan. Namun, lintas sektor tak banyak membantu.
Ia mencontohkan prevalensi pada hewan yang turut mengembangbiakkan penyakit, seperti tikus sangat tinggi, 25 persen. Target penurunan pada binatang itu mestinya 0,25 persen. Tapi hal itu sulit terealisasi. "Tanggung jawab siapa tikus ini. Mungkin hari ini kita sepakati bersama. Kami memang memberantasnya dengan penjaringan, tapi itu tak maksimal," ucapnya.
Tanggung jawab siapa tikus ini. Mungkin hari ini kita sepakati bersama. Kami memang memberantasnya dengan penjaringan, tapi itu tak maksimal
Longki menyebutkan agar aparat desa bisa mengalokasikan dana desa untuk pemberantasan sistosomiasis dirinya akan menyiapkan petunjuk pelakasanaan pemakaian dana desa. "Ini, kan, kondisi setempat yang memang butuh perhatian. Jadi, jangan takut, yang terpenting kegiatannya tidak fiktif," katanya
Ia mengkui masalah sistosomiasis memang membutuhkan perhatian banyak pihak. Lokasi atau habitat keong sebagai inang cacing mikroskopis itu banyak di kawasan Taman Nasional Lore Lindu.
Intervensinya butuh koordinasi khusus karena ada aturan tertentu yang perlu disinkronkan. "Saya mengharapkan dari forum ini ada poin penting bersama agar target 0 persen pada 2025 tercapai," ujarnya.