Merawat Ingatan Kolektif dan Semangat Juang Lintas Generasi
›
Merawat Ingatan Kolektif dan...
Iklan
Merawat Ingatan Kolektif dan Semangat Juang Lintas Generasi
Tahun ini, Komnas Perempuan genap berusia 21 tahun. Komnas Perempuan telah hadir mewarnai kehidupan bangsa ini, terutama dalam upaya mewujudkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Tahun 2019, tepatnya 15 Oktober 2019, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan genap berusia 21 tahun. Acara ulang tahun lembaga negara independen untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia tersebut digelar sederhana, Kamis (24/10/2019), dan dirangkaikan dengan Peringatan 40 Hari Kepergian BJ Habibie, Presiden ke-3 Republik Indonesia yang juga pendiri Komnas Perempuan.
Berlangsung di Ruang Perpustakaan Habibie & Ainun di Jalan Patra Kuningan, Jakarta, acara peringatan kelahiran Komnas Perempuan dikemas dalam bentuk Bincang Lintas Generasi Gerakan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
”Kami ingin memperingati 21 tahun Komnas Perempuan ini dengan memaknai kehadiran Komnas Perempuan bagi upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia,” ujar Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu.
BJ Habibie adalah sosok yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah Komnas Perempuan. Dalam catatan sejarah, Komnas Perempuan lahir dari desakan masyarakat (yang dimotori oleh sejumlah aktivis perempuan) agar negara bertanggung jawab atas peristiwa kekerasan seksual yang dialami sejumlah perempuan dalam kerusuhan Mei 1998.
Di tengah penyangkalan sejumlah pejabat negara saat itu, Presiden BJ Habibie tampil menyampaikan permintaan maaf dan penyesalannya atas kekerasan yang terjadi, dan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta untuk mengusut peristiwa tersebut dan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komnas Perempuan.
Di tengah penyangkalan sejumlah pejabat negara saat itu, Presiden BJ Habibie tampil menyampaikan permintaan maaf dan penyesalannya atas kekerasan yang terjadi.
”Jadi, sesungguhnya Komnas Perempuan adalah juga warisan berharga Presiden BJ Habibie bagi bangsa Indonesia, selain hal-hal yang berkaitan dengan teknologi dan kedirgantaraan,” kata Azriana saat mengawali bincang lintas generasi yang juga dihadiri Ilham Habibie, putra BJ Habibie.
Selama perjalanan 21 tahun, Komnas Perempuan hadir mewarnai kehidupan bangsa Indonesia, terutama dalam upaya mewujudkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Komnas Perempuan membangun pengetahuan, mengadvokasi kebijakan, hingga menciptakan mekanisme dukungan bagi korban dan pembela HAM.
Tentu saja dari sejumlah pencapaian yang diraih Komnas Perempuan selama 21 tahun, masih ada yang harus diperjuangkan. Salah satunya adalah persoalan kekerasan seksual yang masih menjadi tantangan Komnas Perempuan dan gerakan perempuan Indonesia. Mewujudkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasaan Seksual yang berpihak pada korban menjadi pekerjaan rumah yang masih harus diperjuangkan.
Perempuan pembela HAM
Bincang Lintas Generasi yang dipandu penyair Zubaidah Djohar tersebut menghadirkan pembicara empat perempuan pembela HAM yang berjuang melalui karya seni (pegiat seni/seniman perempuan), yakni Dewi Candraningrum, Dolorosa Sinaga, Dewi Kanti, dan Samsidar. Dewi Candraningrum dan Dolorosa adalah seniman yang meletakkan karya seninya di kantor Komnas Perempuan, Dewi Kanti adalah penyintas diskriminasi dari masyarakat adat dan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan, sedangkan Samsidar adalah pembela HAM/pendamping korban di wilayah konflik bersenjata.
Perempuan seniman dihadirkan sebagai narasumber dalam bincang lintas generasi karena mereka dinilai mampu menyuarakan perjuangan penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui cara-cara kreatif, kondusif, dan meneduhkan.
Bagi Dewi Kanti, kehadiran Komnas Perempuan sangat berarti bagi dirinya dan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan karena memberikan penguatan bahwa perempuan punya kapasitas, termasuk setia mendampingi perempuan Sunda Wiwitan.
”Terima kasih Komnas Perempuan, 21 tahun ini menjadi referensi yang cukup berarti bagi kami. Sampai sekarang kami tidak akan berhenti berjuang, cukup banyak ilmu yang bisa kami serap dari Komnas Perempuan,” ujar Dewi Kanti sambil menangis terharu.
Samsidar, yang juga pernah menjadi komisioner Komnas Perempuan, memandang Komnas Perempuan bukan hanya membangun kelembagaan, tetapi membangun gerakan sosial, gerakan masyarakat yang lebih peduli terhadap kekerasan perempuan.
Komnas Perempuan tidak hanya membangun kelembagaan, tetapi juga membangun gerakan sosial.
Dewi Candraningrum, perempuan pelukis pada acara tersebut, memperlihatkan lukisan karyanya dalam kain syal yang berisi wajah-wajah perempuan korban pelanggaran HAM. Adapun Dolorosa menyatakan apresiasi atas dedikasi komisioner di Komnas Perempuan yang luar biasa.
Hadir juga Saparinah Sadli, Ketua Komnas Perempuan periode pertama (1998-2001), serta beberapa komisioner purnabakti seperti Nursyahbani Katjasungkana, Tumbu Saraswati, Ninik Rahayu, Kunthi Tridewiyanti, Pengasihan Gaut, dan Sylvana Apituley. Hadir juga sejumlah tokoh, aktivis perempuan seperti Lies Soegondo, Julia Suryakusuma, dan Mayling Oey.
”Saya senang masih bisa hadir pada saat Komnas Perempuan ulang tahun yang ke-21. Terima kasih saya diundang. Komnas Perempuan sudah masuk usia dewasa. Kematangan organisasi tidak hanya dipertahankan, tapi juga harus terus dikembangkan. Jadi setelah masuk usia dewasa ini masyarakat mengharapkan Komnas Perempuan makin berkembang,” kata Saparinah.
Hadir juga Veronica Tan, mewakili perempuan Indonesia dari etnis Tionghoa. Dia berharap Komnas Perempuan menjadi bagian dalam membantu menyuarakan hak-hak perempuan. Menurut Veronica, Komnas Perempuan harus mendorong perempuan berani bersuara dalam kondisi apa pun. Kepada para perempuan di Tanah Air, Veronica berpesan agar berani berbicara, jika benar jangan diam saja, tetapi harus berjuang.
”Saya yakin perempuan diberikan karunia untuk bisa lebih bijaksana dan lebih bisa berpikir, tapi juga harus berani berbicara kalau kita memang yakin kita berbicara dengan baik dan benar,” ujar Veronica, yang mengajak perempuan jangan berjuang sendiri.
Meski mayoritas yang hadir dari internal Komnas Perempuan, perwakilan kaum muda dari sejumlah badan eksekutif mahasiswa dan aktivis gerakan perempuan juga diundang. Kaum muda diundang karena mereka dinilai berperan penting dalam memimpin advokasi penegakan HAM dan kesetaraan jender di komunitasnya masing-masing.
Di luar itu, kehadiran Komnas Perempuan diharapkan menjadi ruang bagi para pembela dari lintas generasi untuk berinteraksi dan berbagi pengalaman, dan mengelolanya kemudian menjadi napas panjang gerakan. Karena itu, penting untuk terus merawat pengetahuan dan ingatan kolektif serta semangat juang lintas generasi dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui bahasa seni.
Sebab, seperti ungkapan Julia Suryakusuma, Komnas Perempuan bukan hanya organisasi, melainkan juga gerakan sosial progresif, pluralis, dan inklusif yang sangat dibutuhkan untuk melawan arus konservatisme, eksklusivisme, dan intoleransi yang semakin meluas dan seolah ”dinormalkan” dan dibenarkan ”agama”. Bahkan, Komnas Perempuan merupakan mikrokosmos dan contoh idealnya masyarakat Indonesia.