Perlu Komitmen Ungkap Penembak Saat Kerusuhan
Tindak lanjut penegak hukum terhadap rekomendasi Komnas HAM terkait kerusuhan Mei 2019 akan sangat menentukan apakah kasus ini bisa benar-benar terungkap. Polri menegaskan berkomitmen menuntaskan investigasi korban tewas dalam kerusuhan itu.
JAKARTA, KOMPAS - Tindak lanjut atas temuan dan rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengenai kerusuhan 21-23 Mei 2019 sangat menentukan apakah kasus ini bisa diungkap tuntas. Komitmen politik yang kuat dari pemerintah akan mampu mengungkap pelaku kerusuhan itu sehingga tidak meninggalkan beban utang sejarah bagi bangsa Indonesia.
Pada konteks kerusuhan Mei 1998, Komnas HAM juga mengeluarkan rekomendasi untuk mengungkap kasus itu, tetapi hal itu tak seluruhnya dijalankan sehingga penanganannya hingga kini belum tuntas.
Anggota Komnas HAM yang juga Wakil Ketua Tim Pencari Fakta (TPF) Peristiwa 21-23 Mei 2019, Mohammad Choirul Anam, di Jakarta, Selasa (29/10/2019), mengatakan, hasil investigasi timnya mengidentifikasi secara umum tipologi tindakan pelaku yang meliputi pola mobilisasi massa, alur gerakan, sasaran tembak, pembangunan narasi di media sosial, juga penentuan lokasi kerusuhan.
Dari tipologi itu diketahui penembak yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa dalam kerusuhan adalah orang yang terlatih atau profesional. Namun, pelakunya disimpulkan bukan berasal dari kepolisian. Sembilan dari 10 korban diduga tewas karena luka tembak. Tipologi umum dari identifikasi pelaku penembakan itu disertakan TPF untuk diserahkan kepada Presiden Joko Widodo dan pimpinan Polri.
”Kami meyakini pemerintah dan Polri akan menindaklanjuti temuan tim ini karena sebenarnya kepolisian beberapa waktu lalu telah mengumumkan jenis-jenis senjata yang digunakan dalam penembakan itu, baik laras panjang maupun laras pendek. Ini artinya, kepolisian sebenarnya telah mendapatkan cukup informasi mengenai pelaku yang diduga membuat rusuh dan menembak 10 orang dalam peristiwa 21-23 Mei 2019,” papar Anam.
Adapun, kerusuhan itu berawal dari unjuk rasa damai di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu terkait hasil Pemilu 2019. Setelah pengunjuk rasa damai berangsur meninggalkan area unjuk rasa, datang massa baru yang menjadi perusuh (Kompas, 24/5/2019).
Refleksi kasus 1998
Komnas HAM sebelumnya pernah menyebut pelaku terorganisasi sebagai pihak yang terlibat dalam kerusuhan Mei 1998. Kompas, 3 Juni 1998, menurunkan artikel bertajuk; ”Komnas HAM: Kerusuhan 13-14 Mei Dipicu Kelompok Terorganisir”. Di artikel itu disebutkan, pemerintah termasuk ABRI juga dituntut untuk mengusut tuntas adanya kelompok terorganisasi yang memulai sekaligus menjadi pemicu timbulnya perusakan, pembakaran, dan penjarahan di wilayah sekitar DKI Jakarta pada waktu itu. Kerusuhan itu menewaskan 1.188 orang.
Terkait hal itu, Anam mengatakan, penanganan Komnas HAM terhadap kerusuhan 1998 dengan Mei 2019 sedikit berbeda sekalipun dugaan munculnya pelaku yang terlatih dan profesional juga sama-sama mengemuka dalam hasil investigasi Komnas HAM. Dalam penanganan kasus penghilangan paksa maupun penembakan di seputar peristiwa Reformasi 1998, ada jeda waktu yang cukup panjang sejak peristiwa itu terjadi hingga pembentukan TPF maupun penyampaian kesimpulan Komnas HAM. Selain itu, belum semua rekomendasi Komnas HAM terkait dengan peristiwa reformasi 1998 ditindaklanjuti penegak hukum.
Namun, dalam menangani kasus Mei 2019, Komnas HAM memberikan rekomendasi sembari proses investigasi berlangsung. ”Respons positif ditunjukkan polisi dalam menangani laporan mengenai orang-orang yang dilaporkan hilang dalam peristiwa itu (Mei 2019). Dalam 3-4 hari terverifikasi bahwa mereka tak hilang. Hal-hal semacam itu menunjukkan rekomendasi kami ditanggapi baik oleh kepolisian dan ini menjadi modal baik bagi kepolisian untuk diteruskan guna mengungkapkan siapa pelaku atau dalang kerusuhan itu sebenarnya,” kata Anam.
Menurut dia, polisi bergerak lebih maju karena telah melakukan uji balistik dalam mengetahui jenis senjata yang digunakan dalam penembakan itu. Artinya, polisi juga bisa mengungkap pelaku sebenarnya dalam penembakan itu.
Beban sejarah
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mendorong agar pemerintah serius mengungkap kematian 10 korban tewas di kerusuhan itu. Menurut dia, kematian mereka harus diungkap supaya tak jadi beban sejarah. ”Kematian mereka tidak boleh sia-sia dan harus dipertanggungjawabkan,” kata Usman.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Anggara mengatakan, saat ini publik menunggu rekomendasi hasil investigasi TPF Peristiwa 21-23 Mei 2019 ditindaklanjuti pemerintah dan penegak hukum. Hanya dengan tindak lanjut itulah rekomendasi TPF bermakna dan siapa saja pelaku sebenarnya dalam peristiwa itu dapat diketahui.
”Hasil pemeriksaan Komnas HAM merupakan petunjuk yang berharga. Namun, harus jelas siapa saja pelakunya. Komnas HAM belum pada tahapan menentukan siapa pelakunya karena itu menjadi kewenangan kepolisian,” kata Anggara.
Secara terpisah, kepolisian memastikan penyelidikan terhadap korban tewas dalam sejumlah unjuk rasa yang berujung anarkistis terus dilakukan. Selain itu, hukuman tegas juga telah diberikan kepada oknum kepolisian yang terbukti melanggar prosedur standar operasi.
”Kita terus lakukan penyelidikan untuk memastikan penyebab korban meninggal,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Asep Adisaputra.
Terkait dugaan kekerasan yang dilakukan oknum kepolisian, Asep menyatakan, Polri telah menjatuhkan hukuman kode etik kepada 10 personel yang terbukti melakukan kesalahan prosedur dalam pengamanan aksi massa 21-23 Mei. Mereka dihukum 21 hari kurungan khusus.