Api Neraka di Surga Kecil Ijen
Keindahan lanskap kawah Gunung Ijen membuat sebagian orang menyebutnya, sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi. Perjuangan berat dan tidak mudah saat mendaki hingga menuruni kawah untuk melihat fenomena api biru di Ijen serupa dengan usaha mencapai surga.
Untuk mencapai puncak Ijen, pengunjung harus mendaki lebih kurang sejauh 3 kilometer hingga mencapai ketinggian 2.779 meter di atas permukaan laut. Sesampainya di puncak, dua keindahan lukisan alam siap menanti, yakni fenomena api biru di dasar kawah serta pemandangan matahari terbit.
Api biru di kawah Gunung Ijen menjadi daya tarik tersendiri karena konon fenomena alam tersebut hanya ada dua di dunia. Di Eslandia, fenomena tersebut juga muncul, tetapi tidak sebanyak di kawah Ijen.
Api biru di kawah Gunung Ijen menjadi daya tarik tersendiri karena konon fenomena alam tersebut hanya ada dua di dunia.
Tak heran apabila kunjungan ke Gunung Ijen dalam sehari mencapai 500 orang hingga 750 orang saat hari biasa. Sementara saat hari libur atau akhir pekan, kunjungan bisa melampaui 1.000 orang per hari. Pengunjung biasanya mulai mendaki sekitar pukul 01.00. Saat malam Sabtu dan malam Minggu, pendakian sangat padat. Pengunjung harus berdesakan dengan para petambang belerang yang juga mengais rezeki di sana. Walakin, hal itu tidak terjadi pada Sabtu (19/10/2019). Tak ada satu pun wisatawan atau pendaki yang naik ke gunung api aktif tersebut.
Sejumlah wisatawan tertahan di Paltuding yang menjadi titik awal pendakian. Sementara sebagian lainnya tertahan di pos peristirahatan Taman Sari, 15 km dari Paltuding. Saat itu ada larangan mendaki karena sebagian lereng Gunung Ranti dan Gunung Widodaren, yang masih berada dalam satu gugusan pegunungan dengan Gunung Ijen, terbakar. Gunung Ranti terletak di sebelah selatan Gunung Ijen, dipisahkan jalan beraspal selebar 5 meter. Adapun Gunung Widodaren berbatasan langsung di sebelah barat Gunung Ijen.
Malam itu, suasana menjadi sangat mencekam. Sersan Mayor Dedi Rizal, anggota Koramil Glagah, yang ikut meninjau lokasi kebakaran, bercerita dengan keadaan mata memerah dan berair. Sesekali ia mengusap matanya karena tak kuat menahan pedih. ”Api sudah sampai di 500 meter sebelum Paltuding, tinggal 3 meter lagi mendekati jalan raya. Di sana asapnya sangat tebal, mata saya sampai pedih. Lebih baik batalkan naik ke Ijen,” lanjutnya.
Alhasil, semua wisatawan yang hendak naik dari Kota Banyuwangi ke Gunung Ijen ditahan di Pos Peristirahatan Taman Sari. Sementara wisatawan yang sudah sampai di Paltuding dievakuasi turun ke Pos Peristirahatan Taman Sari. Hingga Minggu (20/10) pukul 01.00, wisatawan semakin menumpuk di Pos Peristirahatan Taman Sari. Tempat yang biasa digunakan untuk bersantai sebelum naik ke Ijen itu berubah mirip penampungan.
Wisatawan berbagi tempat untuk tidur atau sekadar duduk dan minum kopi atau susu agar badan tetap hangat. Tak sedikit wisatawan lokal yang memilih bermalam di sana daripada langsung kembali ke rumah. ”Kami rombongan berdelapan, naik empat sepeda motor dari Genteng (Banyuwangi). Rencananya memang mau naik ke Ijen, tetapi kondisinya tidak memungkinkan. Kami memilih minum kopi dan bermalam di sini (Taman Sari) saja, nanti kalau sudah pagi kami pulang,” ujar Setiawan, salah seorang wisatawan.
Beberapa kali juga terdengar perdebatan dalam bahasa Inggris. Sejumlah wisatawan asing memaksa naik. Namun, setelah ditunjukkan kondisi kebakaran hutan di sekitar Ijen melalui foto dan video, mereka baru memaklumi larangan untuk naik ke Ijen. ”Rasanya kami memang harus membatalkan mendaki Gunung Ijen hari ini. Semoga besok kami bisa kembali untuk melihat api biru,” ujar George, wisatawan asal Australia.
Mencekam
Dini hari itu, di sepanjang perjalanan menuju Paltuding tampak kobaran api yang sangat besar di sisi badan jalan. Bau hangus tercium cukup pekat. Begitu sampai di Paltuding, suasana menjadi lebih mencekam karena begitu gelap.
Semoga besok kami bisa kembali untuk melihat api biru.
Lampu penerangan jalan padam karena aliran listrik terputus. Sementara badan jalan juga nyaris tertutup ranting-ranting pohon yang berserakan. Kios-kios di depan Paltuding yang biasa ramai para pendaki, tampak kosong. Bukan hanya ditinggal pendaki dan pemiliknya, beberapa kios itu hancur porak poranda tertimpa sebatang pohon cemara gunung.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan debu pasir pun beterbangan. Suara angin menderu cukup keras bak deburan ombak. ”Malam ini tidak ada wisatawan yang naik. Harusnya hari ini jadi masa ’panen’ guide (pemadu wisata) lokal. Kalau hari biasa kadang guide rebutan tamu, tetapi kalau malam Minggu justru tamu yang rebutan dapat guide,” ujar Mulyono (42), pemandu wisata lokal yang saat itu memilih bertahan di Paltuding.
Kebakaran kali ini mendatangkan kerugian bagi pemandu wisatawan karena biasanya mereka mendapat upah Rp 200.000 hingga Rp 500.000 saat menemani sekelompok wisatawan. Seorang pemandu wisata bisa menemani hingga lima wisatawan di tiap kelompok.
Tak hanya Mulyono, Kartono, pemilik kios makanan yang ada di pos Paltuding, juga kehilangan pemasukan karena tutupnya jalur pendakian Gunung Ijen. Kartono yang ditemui pada Senin (21/10) siang tampak tepekur di beranda kiosnya sambil membersihkan beberapa bagian kios yang porak poranda karena terpaan angin kencang.
Pria yang sudah enam tahun berjualan di Paltuding tersebut masih bersyukur karena kerusakan di kiosnya tak parah. Ia bahkan masih dapat membuka tokonya bagi sejumlah petugas pemadam kebakaran yang sekadar ingin minum kopi saat beristirahat.
Kalau pendakian ditutup seperti ini, ya, hanya bawa pulang mimpi dan harapan...
”Kalau malam Sabtu minimal saya membawa pulang Rp 600.000, kalau malam Minggu bisa sampai Rp 1,5 juta. Sementara kalau hari biasa Rp 100.000 sampai Rp 300.000. Nah, kalau pendakian ditutup seperti ini, ya, hanya bawa pulang mimpi dan harapan, he-he-he,” ujarnya sambil menertawakan nasibnya sendiri.
Dampak tidak hanya dirasakan pelaku usaha yang bersinggungan dengan pariwisata. Larangan pendakian Ijen juga berdampak pada petambang belerang di kawah Ijen. Mereka tak hanya kehilangan kesempatan untuk menambang, tetapi sebagian juga justru kehilangan troli yang menjadi alat kerja.
Hal itu terjadi karena kebakaran turut menghanguskan tempat penimbangan belerang dan bilik-bilik peristirahatan para petambang. Bangunan semipermanen dua lantai tersebut terbakar, Minggu malam. Angin kencang mendorong api mendekati tempat para petambang biasa menimbang belerang.
Hasil penimbangan tersebut memengaruhi pendapatan yang mereka bawa pulang. Saat ini, harga belerang Rp 1.250 per kilogram. Para petambang biasanya mampu mengangkut 160 kg hingga 180 kg per hari dalam dua kali angkut. ”Sehari saya bisa mendapat Rp 200.000 sampai Rp 225.000. Itu kalau badan lagi fit sehingga bisa dua kali naik turun kawah. Setelah dikumpulkan di bibir kawah, belerang kami bawa menggunakan troli ke pos penimbangan,” ujar Matrawi (57).
Matrawi yang sudah menambang sejak umur 16 tahun tersebut menuturkan, kebakaran yang terjadi di Ijen merupakan kebakaran terparah sejak 1978. Ia mengatakan, hampir setiap tahun ada kebakaran di sekitar Gunung Ijen. Namun, luasannya tak besar dan durasinya tak sepanjang kali ini. Larangan pendakian akibat kebakaran hutan kali ini merupakan yang perdana pada tahun ini. Biasanya hanya peristiwa gas beracun yang membuat jalur pendakian ditutup.
”Sejak tidak bisa menambang, saya hanya sibuk ngarit (mencari rumput) untuk sapi di rumah. Kadang siang hari atau sore ke sini (Gunung Ijen) untuk lihat kondisi, bertemu teman dan mengambil bangkai troli,” ujarnya. Sudah satu minggu terakhir Matrawi tidak menambang belerang. Sedikitnya ada 114 petambang lain yang bernasib sama dengan Matrawi. Hal itu pun berdampak pada pasokan belerang ke PT Candi Ngirimbi sebagai pengepul belerang hasil tambang di kawah Ijen.
Pantauan di gudang PT Candi Ngirimbi Unit 1 Banyuwangi, tak tampak aktivitas para pekerja. Padahal, biasanya ada 10 pekerja yang bertugas untuk bongkar muat dan mengemas belerang. ”Biasanya per hari ada 5 ton hingga 6 ton belerang hasil para petambang yang dikirim ke gudang ini. Tetapi, sejak jalur pendakian ditutup akibat kebakaran, tidak ada 1 kilogram pun belerang yang masuk,” ujar Pemimpin Unit 1 PT Candi Ngrimbi Banyuwangi Cung Lianto.
Kebakaran yang terjadi di Ijen merupakan kebakaran terparah sejak 1978.
Ketiadaan pasokan belerang merupakan kerugian bagi perusahaan. Mereka tetap harus membayar pegawai bidang administrasi yang masih bekerja dan mendapat gaji bulanan meski tidak ada aktivitas produksi belerang. Cung berharap, kebakaran segera padam sehingga aktivitas tambang bisa kembali berjalan normal. Dalam satu tahun terakhir, PT Candi Ngrimbi menjual belerang untuk memenuhi kebutuhan industri gula.
Suasana mencekam di kawasan Paltuding yang menyerupai neraka telah benar-benar menjadi neraka bagi Kartono, Mulyono, Matrawi, dan sejumlah orang yang menggantungkan nasib pada Gunung Ijen. Kebakaran di Ijen menjadi pelajaran dan pengingat bahwa upaya menjaga alam dari kebakaran hutan secara langsung juga menjauhkan manusia dari neraka.
Data terakhir yang dicatat Badan Penanggulangan Bencana Daerah Banyuwangi, kebakaran menghanguskan sekitar 700 hektar lahan di Gunung Ranti dan 500 hektar lahan di Gunung Ijen. Upaya pemadaman terus dilakukan dengan berbagai cara, baik lewat darat maupun dengan cara water bombing dari udara menggunakan helikopter. Semua berharap, ”api neraka” dari kebakaran hutan segera sirna sehingga pesona dari surga Ijen kembali terpancar.