Kesadaran pemanfaatan energi bersih di Indonesia masih rendah. Harga energi yang murah masih jadi fokus utama ketimbang sumber energi yang bersih dan ramah lingkungan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran pemanfaatan energi bersih di Indonesia masih rendah. Harga energi yang murah masih jadi fokus utama ketimbang sumber energi yang bersih dan ramah lingkungan. Dalam bauran energi nasional, energi terbarukan di bawah 10 persen.
”Perkembangan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia tidak seagresif negara-negara lain. Sebab, kesadaran tentang energi di Indonesia adalah tentang bagaimana energi itu harus murah, tak peduli dari mana asalnya. Belum ada kesadaran bahwa energi itu harus bersih atau tak meninggalkan polusi,” ujar Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma, Rabu (30/10/2019), di Jakarta, dalam konferensi pers untuk persiapan EBTKE Convention & Exhibition 2019 yang akan digelar pada 6-8 November 2019 di Jakarta.
Energi yang murah tapi kotor, lanjut Surya, mencemari udara dan meningkatkan suhu bumi. Ia mencontohkan, udara kotor menyelimuti Jakarta akhir-akhir ini. Pemanfaatan sumber energi bersih, seperti tenaga bayu, surya, panas bumi, dan tenaga air, dapat mengurangi polusi udara dan menghasilkan mutu udara bersih.
Surya meyakini, pengembangan energi terbarukan akan diperhatikan pada pemerintahan Joko Widodo dan Ma\'ruf Amin. Dalam pengumuman Kabinet Indonesia Maju beberapa waktu lalu, Presiden berpesan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif agar menekan impor minyak dan gas bumi serta meningkatkan peran energi terbarukan.
Namun, Surya mengakui, tak mudah mengembangkan energi terbarukan di Indonesia.
”Salah satu sebabnya adalah regulasi yang gampang sekali berubah-ubah. Hal ini jelas membuat pengembang bingung,” ujar Surya.
Ketua Panitia EBTKE Conex 2019 Adrian Lembong mengatakan, wacana pengembangan energi terbarukan di Indonesia belum terlalu membumi. Energi terbarukan masih dianggap sesuatu yang belum mampu dikonkretkan. Padahal, masyarakat punya andil sangat besar untuk membuat energi terbarukan di Indonesia maju.
”Kami akan fokus meningkatkan partisipasi masyarakat dan anak-anak muda untuk mengembangkan energi terbarukan. Mereka harus tahu dari mana sumber energi yang dipakai selama ini dan apa dampaknya terhadap lingkungan,” kata Adrian.
Dalam Kebijakan Energi Nasional, peran energi terbarukan sedikitnya 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025. Angka itu terus dinaikkan menjadi sedikitnya 31 persen pada 2050. Padahal, peran energi terbarukan pada bauran energi nasional saat ini masih di bawah 10 persen.
Dalam paparan Energy Outlook 2019 di Jakarta beberapa waktu lalu, Group Chief Economist BP Spencer Dale mengatakan, sebanyak 85 persen pasokan energi global pada 2040 dihasilkan dari energi terbarukan dan gas alam. Keduanya adalah jenis energi rendah karbon. Tren global menunjukkan, porsi pemanfaatan energi terbarukan dan gas alam terus meningkat.
”Di Indonesia, permintaan energi primer tumbuh 4,9 persen pada 2018 atau jauh di atas rata-rata tahunan yang sebesar 2,8 persen pada periode 2007-2017. Minyak menyumbang 45 persen penggunaan energi primer Indonesia pada 2018, produksi batubara naik 19 persen, dan penurunan produksi minyak 3,5 persen di tahun tersebut,” kata Spencer.
Kendati demikian, berdasar data statistik BP 2019, produksi biomassa dan panas bumi Indonesia meningkat 8,9 persen pada 2018. Di sektor pembangkit listrik, energi terbarukan menyumbang 5,5 persen di 2018 atau naik tipis dari 5,3 persen di 2017. Produksi bahan bakar nabati melonjak drastis 50.000 barrel setara minyak per hari pada 2017 menjadi 91.000 barrel setara minyak per hari pada 2018. (APO)