JAKARTA, KOMPAS--Kementerian Kelautan dan Perikanan berencana menambah petugas pemantau di kapal. Saat ini, jumlah petugas pemantau di kapal secara nasional baru 80 orang. Mereka memantau 300 kapal.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Zulficar Muchtar, di Jakarta, Rabu (30/10/2019), mengemukakan, sampai dengan akhir tahun ini, pihaknya akan bekerja sama dengan 11 perguruan tinggi untuk menempatkan pemantau pada 110 kapal. Dengan demikian, hingga akhir tahun 2019, jumlah kapal yang menggunakan pemantau sebanyak 410 kapal.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, kapal berukuran di atas 30 gros ton (GT) berjumlah 7.987 unit. Jumlah itu belum termasuk kapal cantrang berukuran di atas 30 GT, yakni sekitar 755 unit.
Pada 2020, kapal ikan berukuran besar yang akan ditempatkan petugas pemantau ditargetkan berjumlah 500 kapal. Adapun penambahan tenaga pemantau regular ditargetkan 120 orang.
“Kami juga akan memperkuat kerja sama dengan kampus agar pemantauan pada tahun depan bisa mencapai 700 kapal,” katanya.
Zulficar menambahkan, ada beberapa kriteria prioritas kapal penangkapan dan pengangkutan ikan yang wajib menempatkan petugas pemantau, yaitu kapal berukuran di atas 30 GT yang menangkap di wilayah kerja organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO) dan kapal yang menangkap tuna.
Selain itu, kapal ikan yang perlu diobservasi berdasarkan penilaian buku kapal (logbook), misalnya kapal yang pelaporan hasil tangkapannya dinilai tidak rasional.
Berdasarkan rekomendasi RFMO, penempatan petugas pemantau minimal 5 persen dari kapal-kapal ikan Indonesia di wilayah perairan yang dikelola RFMO. Indonesia saat ini tercatat dalam keanggotaan tiga organisasi internasional di bawah RFMO terkait pengaturan penangkapan tuna di laut lepas, yakni Komisi Tuna Samudra Hindia (IOTC), Komisi Perikanan Pasifik Tengah dan Barat (WCPFC), serta Komisi Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan (CCSBT).
“Secara bertahap, kita mulai dulu memenuhi target 5 persen dari kapal-kapal ikan kita di RFMO,” katanya.
Dari 5.889 ton kuota tangkapan tuna mata besar per tahun di Samudra Pasifik bagian tengah dan barat, baru dimanfaatkan 13 ton pada tahun 2017 dan 8 ton pada tahun 2016. Sementara pada tahun 2016, tangkapan tuna sirip biru di CCSBT hanya 600,64 ton atau 80,08 persen dari kuota 750 ton dan tangkapan pada tahun 2017 sebesar 750 ton.
Pukat harimau
Secara terpisah, Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Marthin Hadiwinata mengemukakan, penggunaan alat tangkap pukat harimau (trawl) masih terus berlangsung, meskipun sudah dilarang pemerintah. Di Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara, ada indikasi penggunaan pukat harimau berlangsung terang-terangan dan terkesan dibiarkan aparat.
"Penggunaan trawl sudah berlarut-larut, nggak habis-habis. Malah, sebaliknya, nelayan tradisional di anaktirikan oleh aparat di lapangan," katanya. (LKT)