Musim Semi di Lebanon-Irak
Fenomena musim semi Arab, yang menumbangkan rezim di beberapa negara Arab dan Afrika utara, kembali melanda kawasan itu. Lebanon dan Irak kini berada di pusaran badai musim semi tersebut.
Fenomena musim semi Arab, yang menumbangkan rezim di beberapa negara Arab dan Afrika utara, kembali melanda kawasan itu. Lebanon dan Irak kini berada di pusaran badai musim semi tersebut.
Saad al-Hariri, sekali lagi, mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri Lebanon, Selasa (29/10/2019). Ia korban lanjutan dari Musim Semi Arab, yang meletus pada akhir 2010 dan tidak benar-benar selesai sampai sekarang.
Unjuk rasa yang berujung pada pengunduran diri Hariri itu masih menggunakan isu yang sama dengan permulaan Musim Semi Arab. Pengunjuk rasa ingin perbaikan taraf hidup dan perekonomian, pemberantasan korupsi, dan perubahan struktur politik.
Kala Musim Semi dimulai, negara Arab dan Afrika utara— yang menjadi lokasi revolusi saat itu—dikendalikan elite politik yang sama selama puluhan tahun. Selepas revolusi, kondisi sebagian negara, seperti Libya dan Suriah, makin buruk. Sebagian lagi tidak banyak berubah, seperti di Irak dan Lebanon.
Di Baghdad dan Beirut, perubahan-perubahan yang dituntut sejak Musim Semi Arab tidak kunjung terjadi. Korupsi tetap terjadi dan meluas. Negara-negara Barat dan Arab pendukung pemerintahan Hariri sekalipun menolak mengucurkan pinjaman miliaran dollar AS gara-gara wabah korupsi di Lebanon. Padahal, pinjaman 11 miliar dollar AS itu dibutuhkan untuk menangani krisis ekonomi yang membayangi negara tersebut. Pinjaman itu hanya bisa dicairkan apabila Lebanon memperbaiki diri dan memberantas korupsi.
Selepas revolusi, kondisi sebagian negara, seperti Libya dan Suriah, makin buruk. Sebagian lagi tidak banyak berubah.
Wabah korupsi dan kolusi dituding sebagai penyebab kemerosotan ekonomi. Banyak badan usaha dikendalikan politisi dan jaringannya. Karena itu, warga Lebanon marah saat pemerintah memilih menaikkan pajak daripada mereformasi diri dalam menghadapi krisis.
Kemarahan yang sudah lama dipendam termasuk karena perekonomian buruk dan pengangguran yang tinggi, diwujudkan lewat unjuk rasa dalam dua pekan terakhir. Hariri berusaha meredam unjuk rasa dengan menawarkan sejumlah penghematan anggaran, termasuk pemangkasan hingga separuh gaji pejabat. Pajak-pajak juga dibatalkan. Namun, unjuk rasa tak reda. Pengunjuk rasa bukan hanya ingin reformasi kebijakan. Mereka ingin perombakan struktur politik. Pengunjuk rasa menuding elite yang sama sejak perang saudara berakhir pada 1990 menjadi pemicu wabah korupsi.
Nabih Berri, misalnya, jadi Ketua DPR sejak 1992. Michel Aoun, kini Presiden Lebanon, aktif berpolitik sejak masih jadi tentara di masa perang saudara 1975-1990. Menantunya, Gebran Bassil, menduduki beberapa kursi menteri di beberapa kabinet Hariri. Pengunduran diri Bassil dan 10 menteri dari partainya, Gerakan Pembebasan Patriot, Januari 2011, membuat pemerintahan Hariri periode pertama bubar. Meskipun demikian, ia tetap dilibatkan di pemerintahan Hariri di periode selanjutnya.
Hariri pun juga bagian dari elite lama. Ayahnya, Rafiq Hariri, adalah jutawan dan politisi Lebanon sejak masa perang saudara. Seperti Saad, Rafiq juga pernah jadi PM Lebanon.
Aktor lama lain di Lebanon adalah Hezbollah. Kelompok milisi sejak masa perang saudara itu tetap jadi kekuatan politik sekaligus bersenjata penting di Lebanon masa kini.
PM Mahdi goyah
Di Irak, kondisinya hampir setali tiga uang. Kekuatan politik penting masa kini adalah warisan selepas Saddam Hussein yang jatuh pada 2003. Kekuatan itu, antara lain, faksi pergerakan masa depan pimpinan Moqtada Sadr yang nasionalis dan anti-asing serta faksi Fatah pimpinan Amar Amiri yang dekat dengan Iran.
Seperti di Lebanon, para pengunjuk rasa menuding dominasi elite politik yang sama selama bertahun-tahun memicu korupsi. Maraknya korupsi membuat banyak penduduk negara kaya minyak itu miskin, dan pemudanya menganggur. Mereka berunjuk rasa dan, seperti di Beirut, menuntut perombakan struktur politik.
Sampai sekarang, pemerintahan PM Adel Abdul Mahdi memang masih bertahan. Walakin, tidak ada yang tahu sampai kapan Mahdi bisa terus menduduki kursi PM. Amiri dan Sadr, yang dulu berseberangan lalu bersepakat menjadikan Mahdi sebagai PM, kini kembali bersepakat menarik dukungan dari Mahdi.
Para pengunjuk rasa menuding dominasi elite politik yang sama selama bertahun-tahun memicu korupsi.
Penarikan dukungan itu membuat Mahdi kehilangan 102 dari 189 anggota parlemen yang menyokongnya. Padahal, pemerintahan Irak hanya mungkin terbentuk jika didukung sedikitnya 161 anggota parlemen. Penarikan itu membuat Mahdi menghitung hari untuk menyusul Hariri.
Kekhawatiran Iran
Kekacauan di Irak dan Lebanon juga berimbas ke Iran. ”Unjuk rasa di Irak dan Lebanon awalnya tentang politik dan negeri serta elite politik korup yang gagal bertugas. Unjuk rasa menunjukkan kegagalan model di mana Iran bisa memperluas pengaruhnya, walakin sekutunya gagal memerintah secara efektif,” kata Ayham Kamel, peneliti isu Timur Tengah dan Afrika utara pada lembaga kajian Eurasia Group.
Semua partai dan faksi korup.
Lewat Amiri di Irak dan Hezbollah di Lebanon, Iran memperluas pengaruhnya. Secara resmi, Kementerian Luar Negeri Iran menuding ada pihak asing yang berusaha mengacaukan Irak dan Lebanon.
”Semua partai dan faksi korup, kondisi ini terkait dengan Iran. Sebab, Iran menggunakan mereka untuk mengekspor sistem politik ke Irak. Warga menentang itu dan karena itu ada perlawanan terhadap Iran,” kata Ali al-Araqi (35), pengunjuk rasa di Nasiriyah, Irak.
”Iran khawatir dengan unjuk rasa ini karena mereka yang selama ini diuntungkan lewat kedekatan dengan pemerintah dan partai sejak AS menginvasi Irak. Iran tidak mau kehilangan ini,” kata Hisham al-Hashimi, analis keamanan Irak.
Perhatian Iran kepada Irak tidak hanya lewat pernyataan Kemlu. Komandan Brigade Quds, unit Garda Revolusi Iran yang mengurus operasi di luar negeri, Mayor Jenderal Qassem Soleimani bertandang ke Irak sejak hari-hari pertama unjuk rasa. Bahkan, ia memimpin rapat di kantor PM Irak. (AFP/REUTERS)