LONDON, RABU— Kampanye secara tidak resmi menuju pemilihan umum 12 Desember 2019 di Inggris dimulai pada Rabu (30/10/2019). Meski Partai Konservatif diunggulkan secara luas dalam jajak pendapat, para analis menilai hasil pemilu nanti tidak dapat diprediksi karena dinamika keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit dinilai telah memotong loyalitas warga terhadap partai-partai tradisional.
Para anggota parlemen Inggris, Selasa (29/10), menyetujui digelar pemilu yang dipercepat pada 12 Desember 2019. Persetujuan parlemen dilakukan melalui voting yang menghasilkan 438 suara mendukung berbanding 20 suara menolak. Pemilu digelar sebagai upaya memecah kebuntuan pelaksanaan Brexit.
Sebelumnya, parlemen Inggris menolak jadwal usulan pemerintahan Johnson agar parlemen mengesahkan legislasi yang dibutuhkan untuk meratifikasi kesepakatan Brexit. Uni Eropa telah memperpanjang tenggat Brexit dari semula 31 Oktober ini menjadi 31 Januari 2020.
Pemilu itu nanti bakal menjadi pemilu yang sulit.
Kemarin, Perdana Menteri Boris Johnson dan pemimpin oposisi Jeremy Corbyn berhadapan di parlemen untuk terakhir kali sebelum pemilu. Isu Brexit dan belanja publik termasuk dalam materi perdebatan di antara keduanya di parlemen. Sidang parlemen selanjutnya ditangguhkan untuk pelaksanaan kampanye pemilu selama lima pekan.
Johnson mengatakan kepada anggota parlemen dari Partai Konservatif, Selasa, pemilu itu nanti bakal menjadi pemilu yang sulit. Dalam kampanye, Johnson mengusung visi dan misi ”menyelesaikan Brexit” sesuai keinginan Konservatif.
”Kami membutuhkan pemilu ini untuk mendapatkan mandat yang jelas dari rakyat dalam mengawal proses Brexit, kesepakatan yang kami miliki, yang akan membuat kami keluar dari UE,” kata Alister Jack, Menlu Skotlandia.
Partai Buruh akan berusaha memproyeksikan persatuan meskipun ada perpecahan internal di antara mereka yang ingin melanjutkan proses Brexit dan mereka yang ingin tetap di UE. Partai oposisi itu tengah menghitung bahwa pemilih ingin berbicara tentang sejumlah masalah, mulai dari perawatan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Anggaran untuk semua sektor itu telah dipangkas selama bertahun-tahun di bawah pemerintahan Konservatif.
Brexit tanpa kesepakatan akan mengganggu perdagangan dan dapat menjerumuskan ekonomi Inggris ke dalam resesi.
Sementara itu, dua partai kecil pada sisi yang berlawanan terkait perbedaan Brexit berharap mendapatkan keuntungan dari kampanye dan pemilu yang akan datang. Partai Demokrat Liberal yang sangat pro-UE telah menggerogoti dukungan Partai Buruh dan Konservatif di kota-kota besar dan kota-kota universitas di Inggris. Pada 2016, kota-kota itu merupakan kantong para pemilih pro-UE.
Adapun Partai Brexit yang dipimpin Nigel Farage berharap dapat menarik suara mereka yang sebelumnya memilih keluar dari UE untuk mendukung Brexit tanpa kesepakatan. Namun, sebagian besar ekonom telah memperingatkan, Brexit tanpa kesepakatan akan mengganggu perdagangan dan dapat menjerumuskan ekonomi Inggris ke dalam resesi. Ada peluang kuat, pemilu nanti akan menghasilkan parlemen yang tetap terbelah akibat Brexit, seperti saat ini. (AP/AFP)