Sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru dinilai tidak cocok untuk wilayah luar Jawa khususnya di Kalimantan Barat. Sistem justru menghambat kemajuan pendidikan dan menimbulkan demotivasi siswa berprestasi.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS – Sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru dinilai tidak cocok untuk wilayah luar Jawa khususnya di Kalimantan Barat. Sistem zonasi dinilai justru menghambat kemajuan pendidikan dan menimbulkan demotivasi bagi siswa berprestasi.
Hal itu disampaikan Pengajar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura Pontianak Aswandi, Kamis (31/10/2019). Pernyataan itu menguatkan pandangan Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji saat peringatan hari Aksara Internasional sehari sebelumnya. Gubernur menyatakan sistem zonasi tidak cocok untuk luar Jawa
Aswandi mengatakan sistem zonasi kurang berpihak kepada murid karena hanya melihat dari sisi kepentingan pemerintah. “Pemerintah ingin mudahnya saja," kata Aswandi. Padahal untuk melahirkan manusia unggul siswa mesti dididik di sekolah yang unggul.
Sistem zonasi bisa mengurangi semangat anak berprestasi. Karena sistem itu, anak-anak yang berprestasi ada yang sulit masuk sekolah favorit. Banyak orangtua murid yang terpaksa menyekolahkan anaknya ke sekolah yang tidak bermutu karena jarak sekolah yang bermutu jauh sehingga tidak masuk satu zonasi.
Menurut dia, kewajiban pemerintah adalah meratakan mutu pendidikan, bukan malah membuat zonasi. “Bayangkan orang ingin anaknya hebat. Sementara sekolah yang diharapkan tidak ada di dekat rumahnya,” papar Aswandi.
Kalau di Jawa mungkin oke. Kalau di Kalbar, satu sekolah jarak dengan penduduk bisa puluhan kilometer. Oleh sebab itu sistem zonasi tidak tepat. (Sutarmidji)
Untuk membuat mutu pendidikan merata, lanjut Aswandi, diperlukan guru yang bermutu. “Jangankan bicara mutu guru, cukup saja belum di Kalimantan ini,” kata Aswandi. Aswandi menilai, sistem zonasi menghalangi anak-anak berprestasi untuk “melompat” di tengah ketertinggalan pendidikan di wilayahnya.
Saat peringatan hari Aksara Intenasional, Rabu (30/10), Sutarmidji mengatakan penerapan sistem zonasi tidak disesuaikan dengan data yang ada. “Kalau di Jawa mungkin oke. Kalau di Kalbar, satu sekolah jarak dengan penduduk bisa puluhan kilometer. Oleh sebab itu sistem zonasi tidak tepat,” kata Sutarmidji.
Perbaikan mutu
Gubernur mengatakan pihaknya terus mendorong perbaikan mutu pendidikan karena pendidikan menjadi aspek penting untuk mengentaskan kemiskinan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) persentase penduduk miskin di Kalbar September 2018 sebesar 7,37 persen. Sementara pada Maret 2019 sebesar 7,49 persen. Persentase kemiskinan periode itu merupakan angka tertinggi se-Kalimantan.
Untuk itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalbar mengupayakan siswa-siswa di Kalbar minimal mampu tamat SMA/SMK. “Pemprov Kalbar sejak tahun ajaran baru 2019 membuat kebijakan membebaskan biaya pendidikan jenjang SMA/SMK negeri. Tujuannya agar anak Kalbar berusia di bawah 20 tahun minimal tamat SMA/SMK,” ujar Sutarmidji.
Peningkatan kualitas pendidikan yang berkesinambungan itu diperlukan untuk memperbaiki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalbar. Saat ini IPM Kalbar berada di posisi ke-29. Adapun lama sekolah baru 7,2 tahun.
Namun, harapan untuk melanjutkan pendidikan bagi anak yang berusia 1 tahun ke bawah sudah mencapai 16 tahun. "Itu sudah bagus. Namun, untuk yang berusia 25 tahun ke atas masih 7,2 tahun. Masih diperlukan upaya-upaya untuk memperbaikinya,” ujar Sutarmidji.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalbar Suprianus Herman, menuturkan, Pemprov Kalbar terus meningkatkan kualitas pendidikan dengan berbagai program. Salah satunya mengurangi buta huruf.
Pemprov tahun depan memberikan bantuan peralatan, yakni laptop dan proyektor sebagai instrumen untuk menurunkan angka buta huruf. Besaran anggaran yang disiapkan untuk tahun depan sekitar Rp 2 miliar.
Penerima bantuan adalah kabupaten. Pemprov masih memverifikasi kabupaten mana saja yang akan mendapatkan bantuan itu. Kabupaten/kota juga didorong untuk membuat kebijakan juga untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
“Perlengkapan itu bisa dipergunakan kabupaten-kabupaten untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat yang buta huruf. Harapan kami buta huruf bisa semakin menurun jumlahnya,” paparnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, persentase buta huruf di Kalbar pada 2017 untuk usia 15 tahun ke atas sebanyak 7,52 persen, usia 15-44 tahun 1,76 persen dan usia 45 tahun keatas 20,20 persen.
Adapun pada tahun 2018 persentase buta huruf menurun. Usia 15 tahun ke atas 7,42 persen, usia 15-44 tahun 1,63 persen dan usia 45 tahun keatas 19,70 persen. Meskipun menurun, namun angka itu masih lebih tinggi dari rata-rata nasional.