Tindak Lanjuti Temuan Komnas HAM dengan Tim Independen
Agar tak bersinggungan dengan kepentingan politik, Tim Independen tak hanya melibatkan polisi, tetapi juga kelompok masyarakat dan independen.
JAKARTA, KOMPAS - Tim Pencari Fakta Peristiwa 21-23 Mei 2019 akan menyerahkan hasil rekomendasinya kepada Presiden Joko Widodo. Rekomendasi itu diharapkan dapat ditindaklanjuti penegak hukum ataupun tim khusus yang sifatnya independen hasil bentukan presiden.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang juga Wakil Ketua TPF Peristiwa 21-23 Mei 2019, Mohammad Choirul Anam, Rabu (30/10/2019), di Jakarta, mengatakan, selain kepada Presiden Jokowi, rekomendasi juga akan diserahkan ke pihak-pihak terkait, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). ”Hari ini (Rabu) belum,” kata Anam.
Hasil investigasi TPF tersebut menyebutkan, pelaku penembakan terhadap 10 orang dalam kerusuhan terkait hasil Pilpres 2019 adalah orang profesional dan terlatih. Namun, mereka bukan dari kepolisian. Penilaian TPF ini didasarkan alur tipologi mobilisasi massa sebelum dan sesudah kerusuhan, narasi di media sosial, korban yang menjadi target, hingga koordinasi di lapangan.
”Di tempat-tempat yang banyak dijaga kepolisian justru tak timbul kerusuhan. Tetapi kerusuhan terjadi di tempat-tempat yang tak dijaga ketat aparat. Artinya, gerakan ini diorganisasi sedemikian rupa. Tak mungkin kalau pelakunya bukan orang terlatih dan profesional jika melihat tipologi gerakannya,” kata Anam.
Komnas HAM meyakini kepolisian akan menindaklanjuti temuan dan rekomendasi TPF. Sebelumnya, polisi memiliki modal menindaklanjuti rekomendasi dan masukan TPF selama investigasi berlangsung. Salah satunya, verifikasi laporan adanya orang yang diduga hilang dan penjatuhan sanksi disipliner ke anggota polisi yang melakukan kekerasan berlebih saat menangkap dan memeriksa pihak-pihak terkait aksi.
Kerusuhan 21-23 Mei 2019 di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebelumnya dipicu unjuk rasa elemen masyarakat terkait hasil Pilpres 2019. Polisi sebelumnya menyebutkan, kerusuhan bukan oleh pendemo, melainkan kelompok perusuh yang datang setelah demonstrasi usai pada malam hari. Dari 10 orang tewas, sembilan di antaranya diduga karena peluru tajam dan satu akibat benda tumpul. Kerusuhan terjadi di DKI Jakarta dan Pontianak, Kalimantan Barat.
Bebas dari kepentingan
Pengajar hukum dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STH) Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, laporan dan rekomendasi TPF sebaiknya dilakukan tim independen yang dibentuk presiden. Idealnya, anggota tim tak semuanya unsur penegak hukum seperti polisi, tetapi kelompok masyarakat dan independen lainnya guna memastikan tindak lanjut atas rekomendasi yang tak bersinggungan dengan politik tertentu.
”Kita belum tahu siapa yang dimaksud orang terlatih dan profesional itu, sekalipun dijelaskan bukan kepolisian. Namun, untuk menjaga tindak lanjut penanganan rekomendasi lebih jelas dan terbebas dari kemungkinan konflik kepentingan, sebaiknya presiden membentuk tim independen untuk menindaklanjuti temuannya,” ujar Bivitri.
Pelaksanaan rekomendasi oleh tim khusus itu pun diharapkan terbuka sehingga publik dapat memantau dan memastikan rekomendasi dijalankan. ”Tim harus mengungkap siapa pelaku dan dalang kerusuhan,” tuturnya.
Jika kepolisian diberikan tugas mengungkap lebih lanjut rekomendasi Komnas HAM, menurut Bivitri, hal itu tetap perlu dilakukan transparan. Dengan kewenangan sebagai penyelidik dan penyidik, polisi memiliki setiap sumber daya yang diperlukan untuk mengungkap siapa sebenarnya pelaku dan dalang penembakan 10 orang itu.
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengaku belum tahu laporan investigasi tersebut. Menurut dia, sejak awal Presiden Jokowi tegas memerintahkan semua aparat keamanan tidak membawa apalagi menggunakan peluru tajam dan menghindari kontak langsung. Dengan demikian, penanganan unjuk rasa tak menimbulkan persoalan.
Kendati demikian, dia menambahkan, sangat mungkin ada pihak lain yang ikut bermain. Pasalnya, Kepala Polri yang saat itu dijabat Tito Karnavian pernah menyebutkan adanya orang dengan ciri-ciri tertentu dengan menggunakan senjata. Namun, Moeldoko belum tahu detailnya.
Pelaku bersenjata itu, kata Moeldoko, selain diduga orang-orang yang berolahraga tembak, juga orang-orang yang pernah memakai senjata seperti mantan aparat. Kemungkinan lainnya, perampok bersenjata yang punya senjata rakitan atau senjata selundupan. ”Ini perlu didalami. ’Kan, kita lihat di televisi, seperti ada pola,” kata Moeldoko.