Ruang mental masyarakat harus dimerdekakan, melalui diskusi yang mengedepankan akal sehat. Ini akan mendorong masyarakat berpola pikir kritis.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·2 menit baca
Ruang mental masyarakat harus dimerdekakan, melalui diskusi yang mengedepankan akal sehat. Ini akan mendorong masyarakat berpola pikir kritis.
JAKARTA, KOMPAS — Pemikiran radikal yang dalam arti sebenarnya berarti pemikiran yang mendasar atau pun pemikiran yang maju, kini justru dimaknai sebagai ancaman yang perlu ditangkal. Paradigma yang salah tersebut dapat menghambat terjadinya diskusi yang mengedepankan akal sehat dan pola pikir kritis di masyarakat, terutama di institusi pendidikan.
Upaya deradikalisasi yang selama ini dilakukan pemerintah bukan hanya menyebabkan pendangkalan, tetapi juga penyempitan ruang mental seseorang. Ruang mental yang dimaksud di sini antara lain emosi, rasa, spiritualitas, dan akal dari seseorang.
“Ruang mental itu harus dihidupkan dan dicerdaskan, dengan memberi ruang ekspresi yang lebih luas pada dunia mental. Jika ruang itu tidak dimerdekakan, malah dilarang dengan batasan yang sifatnya regulasi dan represi seperti pembubaran diskusi buku di kampus atau di suatu forum, itu bukan hanya pendangkalan tetapi (juga) penyempitan ruang mental masyarakat,” kata pendiri dan koordinator Mufakat Budaya Indonesia, Radhar Panca Dahana, dalam diskusi bertajuk “Menguat dan Melebarnya Radikalisme: Problem dan Solusi” yang diselenggaran dalam Temu Nasional Mufakat Budaya Indonesia di Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Ruang mental itu harus dihidupkan dan dicerdaskan, dengan memberi ruang ekspresi yang lebih luas pada dunia mental.
Diskusi tersebut dihadiri sekitar 50 tokoh yang terdiri dari cendekiawan, rohaniawan, tetua adat, budayawan, dan ilmuan di Indonesia. Sejak Selasa (29/10) hingga Kamis (31/10), mereka berkumpul untuk mengidentifikasi persoalan dasar di Indonesia, dan mendapatkan solusi praktis berbasis budaya. Solusi tersebut akan direkomendasikan kepada penyelenggara utama negara sebagai pertimbangan pembentukan kebijakan nasional.
Paradoks
Radhar mengatakan, ketika ruang mental masyarakat menyempit, akibatnya gagasan-gagasan yang seharusnya berkembang menjadi pemikiran yang maju dan terdepan dihentikan. Potensi kehidupan di masa depan yang baik bisa terbunuh dan memunculkan apatisme dan fatalisme pada sebagian masyarakat. Kondisi ini dinilai paradoks dengan semangat pemerintah yang menggebu untuk memajukan potensi sumber daya manusia bangsa.
Hal senada dikatakan pengamat sosial politik Rocky Gerung. Dia mengatakan, diskusi akal sehat perlu diperbanyak untuk membangun keunggulan bangsa. “Satu-satunya cara untuk menderadikalisasi pemikiran adalah dengan diskusi akal sehat,” ujarnya.
Ketua Kerukunan Masyarakat Hukum Adat Nusantara Henry Pandapotan Panggabean menambahkan, jika konsep radikalisme masih ingin digunakan sebagai konsep yang harus diwaspadai, tindakan radikalisme yang dimaksud harus turut diutarakan. Radikalisme terorisme, misalnya, berarti tindakan yang mendasar pada terorisme. Tindakan lainnya, seperti radikalisme-separatisme, radikalisme korupsi, dan radikalisme-rasialisme. “Jangan mengeneralisasi radikalisme sebagai konsep yang harus dihindari,” ucapnya.
Menurut antropolog dan budayawan, Faisal Kamandobat, radikalisme yang perlu ditangani adalah yang mengandung teror dan kriminal, serta mengganggu pertahanan negara. Caranya adalah dengan merasionalisasi pemikiran masyarakat melalui pendidikan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat.