Jariah, Maestro Seni Dideng dari Rantan Pandan, Jambi
Jariah (81) patut merasa senang karena lima tahun lalu ia dinobatkan sebagai maestro dideng. Kini, seni tradisi itu turut disematkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.
Jariah (81) patut merasa senang karena lima tahun lalu ia dinobatkan sebagai maestro dideng. Kini, seni tradisi itu turut disematkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.
Sungguh tak terbayangkan bagaimana seni dideng beserta penuturnya dapat memperoleh dua penghargaan tertinggi sekaligus. “Sedikitpun saya tidak menyangka. Tradisi ini diwariskan turun temurun di dusun kami. Ternyata dunia menghargainya,” kata Jariah, Sabtu (19/10/2019).
Dideng merupakan sastra lisan atau tutur yang berasal dari desa Rantau Pandan Kabupaten Bungo. Dideng dibawakan oleh seorang penutur. Tuturannya berupa ratapan, ungkapan kesedihan yang dibawakan dengan cara bersenandung.
Kisah yang dibawakan dalam dideng adalah legenda tentang seorang putri yang sakit hati oleh anak raja. Rasa sakit hati membawanya lari hingga jauh ke dalam hutan. Dalam pengembaran di tengah hutan, sang putri sesekali berhenti karena tak tahan oleh rasa sedihnya. Ia menangis dan menyampaikan kesedihannya pada seluruh penghuni hutan. Ratapan itulah yang diyakini sebagai cikal bakal dideng.
Tradisi ini diwariskan turun temurun di dusun kami. Ternyata dunia menghargainya.
Dalam legenda masyarakat di Rantau Pandan, meski si anak raja turut menyusul masuk ke dalam hutan untuk meminta maaf dan menjemputnya, luka itu masih tergores dalam hati sang putri. Bahkan sampai akhirnya sang putri meninggal kemudian.
Di balik kisah itu, tersemat pesan agar setiap orang hidup dalam jiwa yang lapang. Mau memaafkan dan tidak menyimpan sakit hati berkepanjangan. Tidak baik menyimpan rasa dendam dalam, apalagi bila dendam tersebut dibawa mati.
Terlepas dari isinya tentang lara, dideng kerap ditampilkan dalam berbagai acara kenduri saperi perkawinan, khitanan, atau acara menuai padi. Dulu, hampir setiap pekan terdengar suara dideng di teras rumah pemilik acara.
Untuk menghibur masyarakat, tukang dideng menyanyi diiringi tabuhan kelintang kayu. Belakangan, biola dan gong turut mengiringi. Tak ada kunci nada khusus saat mengetuk kelintang. Pedideng mengutamakan kepekaan rasa. Untuk sejumlah lantunan, susunan kelintang dapat diubah-ubah demi terciptanya harmoni nada.
Dideng telah menyatu hampir sepanjang hidup Jariah. Di mana ia berada, di situlah dideng terlantunkan. Saking melekatnya dideng pada dirinya, sampai-sampai lebih banyak orang menyebutnya sebagai “nenek dideng” ketimbang namanya sendiri.
Jariah mengenal dideng sejak bocah dan melakoninya hingga ia masuk ke usia senja. Ia dulu kerap mendengar bibinya dan sejumlah orangtua di Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, Jambi, berdideng. Dari itu ia belajar dideng dan akhirnya menjadi maestro.
Ia masih ingat betul, dulu orang-orang betah duduk di lantai semalaman suntuk untuk mendengarkan nyanyian itu. Sebelum tukang dideng, demikian si pelantun biasa disebut, berhenti menyanyikannya, para tamu takkan bubar. Ada kalanya lantunan itu terdengar dari pagi hingga malam, dan baru berakhir menjelang dini hari.
Pedideng seperti Jariah hanya beristirahat sejenak, lalu melanjutkannya kembali. Begitulah seterusnya, sampai kisah ratapan itu berakhir, barulah orang-orang membubarkan diri. “Bahkan pernah dideng dinyanyikan hampir seminggu berturut-turut,” kenang ibu tiga anak itu.
Sampai-sampai lebih banyak orang menyebutnya sebagai “nenek dideng” ketimbang namanya sendiri.
Lantunan dideng yang mendayu-dayu dan bersuara nyaring, kerap memantik rasa haru bagi yang mendengarkan. Tak jarang pula si tukang dideng sendiri menitikkan air mata karena penghayatannya sedemikian besar, seolah-olah balada yang dibawakannya merupakan pengalaman hidupnya sendiri.
Sanggar seni
Meredupnya tradisi itu mulai disadari Jariah. Bersama sejumlah orangtua, ia membentuk sanggar seni Dideng. Anak-anak dikumpulkan untuk belajar seni tutur Dideng. Dua hingga tiga kali sepekan latihan digelar. Mereka pun berlatih menabuh kelintang dan sejumlah alat musik tradisi.
Terbentuknya sanggar ternyata disambut masyarakat. Anak-anak senang dibawa orangtua mereka turut berdideng. Untuk membangkitkan lagi popularitas Dideng, tradisi dijadikan suguhan wajib pada acara-acara syukuran di desa.
Jariah selalu menekankan bahwa Legenda Putri Dayang Ayu boleh jadi berisi sama dari waktu ke waktu. Namun, lanjutnya, kreativitas bertutur dan penghayatan yang sepenuh jiwa menjadi kunci untuk menahan setiap orang betah menikmati kesenian tersebut. Itulah saat bagi sang pedideng memainkan peran mereka sebagai penghibur sekaligus pembawa pesan-pesan kehidupan.
Tradisi lokal dapat memberi arti penting bagi dunia. Karena itulah mereka perlu melestarikan.
Kini, Dideng telah semakin populer di desa. Anak-anak pun makin sering naik panggung melantunkan sastra lisan tersebut. Ada kebanggaan menjadi “Tukang Dideng”.
Tahun 2013 lalu, peneliti dari Kantor Bahasa Jambi berkunjung ke desa itu untuk mendalami tradisi Dideng. Jariah mulanya kaget mengetahui si peneliti menyatakan kekaguman. Melihat orang luar begitu serius mengenal Dideng, Jariah makin semangat memperkenalkannya.
Kedatangan sang tamu ternyata tak semata penelitian. Nama Jariah dimasukkan dalam seleksi maestro seni. Memang, kiprahnya melestarikan tradisi itu betul-betul menuai penghargaan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menganugerahinya gelar sebagai Maestro Seni Tradisi 2014.
Puncak kebahagiaan ibu tiga anak itu tatkala Dideng turut pula ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Penghargaan ini semakin menguatkan keyakinan bahwa tradisi lokal dapat memberi arti penting bagi dunia. Karena itulah mereka perlu melestarikan.
Jariah (81)
Lahir: Rantau Pandan, Kabupaten Bungo
Suami: Baduwi (alm)
Anak: Tabii, Jamilah, dan Hasan Jengki
Penghargaan:
- Mendirikan Kelompok Seni Tradisi Dideng Puti Dayang Ayu (2013)
- Anugerah Maestro Seni Tradisi Dideng (2014)
- Mengantar Sastra Dideng ditetapkan negara sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (2019)