Lawan Candu Gawai dengan Permainan Tradisional
Penggunaan gawai pada anak ibarat pisau bermata dua. Bisa menambah referensi belajar, tetapi juga rawan mendatangkan berbagai sisi buruk jika ketergantungan memakainya. Permainan tradisional yang sarat pesan luhur bisa menjadi ”senjata” melawan sisi buruk itu.
Keceriaan anak-anak memenuhi halaman parkir barat Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (24/9/2019). Pagi itu, ratusan siswa, dari tingkat SD hingga SMA, bermain dengan riang dalam kampanye ”Asyik Tanpa Gawai (Astaga)”. Keriangan terpancar dari wajah Fatur Sayyid (14), siswa kelas VIII SMP Negeri 27 Bandung. Meski tubuh gempalnya sudah bercucuran keringat, semangatnya bermain boy-boyan tak surut. Lebih dari setengah jam ia menikmati permainan tradisional Jabar itu.
”Ayo main lagi. Mumpung belum ada yang menggantikan,” ujar Fatur mengajak rekan-rekannya yang mulai ngos- ngosan. Permainan boy-boyan terdiri atas dua tim, penyusun dan penjaga. Tidak ada aturan baku dalam menentukan luas area permainan dan jumlah anggota tim. Hari itu, mereka bersepakat bermain dengan lima orang per tim di lapangan voli.
Lima belas potong kayu berbentuk persegi disusun vertikal di tengah lapangan bola voli. Regu pertama berdiri lima langkah di sisi kiri dan regu kedua lima langkah di sisi kanan. Regu yang dapat melempar bola tenis mengenai dan merobohkan potongan kayu lebih dahulu akan menjadi tim penyusun. Sementara regu lainnya menjadi penjaga.
Tim penyusun bertugas menumpuk kembali potongan kayu itu seperti semula. Pada saat bersamaan, tim penjaga harus memburu tim penyusun dan melempar bola agar mengenai bagian tubuh tim lawan. Fatur menjadi pelempar pertama. Kaki kiri dimajukan, sedangkan tangan kanan diayunkan dari belakang. Bola dilemparkan dan mengenai potongan kayu itu. Permainan pun dimulai.
Tubuhnya yang gemuk membuat Fatur menjadi incaran tim penjaga. Larinya tidak kencang. Namun, dia lihai menghindar dari lemparan lawan. Refleksnya bagus sehingga bidikan lawan sulit mengenainya.
Ihfazriel (14), anggota tim penjaga, geleng-geleng kepala. Tiga kali lemparannya meleset. Fatur menghindar dengan cara menunduk dan melompat. Siswa berkacamata itu tidak menyerah. Dari jarak delapan meter, dia kembali melemparkan bola ke Fatur. Bola terlihat meleset karena arahnya tidak berubah. Namun, Fatur mengatakan, bola itu menyerempet tangannya.
”Bolanya menyenggol tanganku,” ujarnya sambil mengangkat tangan. Secara inisiatif, Fatur keluar dari area permainan. Tidak ada wasit atau juri. Jadi, kejujuran pemain sangat penting. Jika tidak, kedua tim akan saling bersitegang untuk menentukan lemparan tim penjaga mengenai anggota tim penyusun atau tidak.
Sarat nilai
Selain kejujuran, permainan ini juga mengajarkan sikap rela berkorban. Seperti yang dilakukan Fatur. Dia berkorban agar diburu tim penjaga. Dengan begitu rekan satu timnya punya kesempatan menyusun kembali potongan-potongan kayu itu. Pesan kebajikan lainnya adalah untuk tidak menyakiti orang lain dalam mencapai tujuan. Ihfazriel, misalnya, saat berjaga, dia tidak melemparkan bola dengan sekuat tenaga.
”Kalau melempar bolanya kencang bisa menyakiti teman. Yang penting kan bolanya kena badan. Jadi, enggak perlu sekuat tenaga,” ujarnya. Sudah tiga tahun Fatur dan Ihfazriel tidak bermain boy-boyan. Sejak duduk di bangku SMP, dunia permainan mereka lebih banyak dihabiskan bermain gim daring. Saat ini mereka sedang menggandrungi gim PUBG dan Asphalt 9.
”Permainan boy-boyan enggak kalah asyik. Bisa untuk diet juga karena harus kejar-kejaran sehingga mengeluarkan banyak keringat,” ujar Fatur diikuti tawa rekan-rekannya. Kampanye Astaga juga mengenalkan permainan tradisional lainnya, seperti galasin atau gobak sodor, sapintrong (lompat tali), sorodot gaplok, engklek cing ciripit, dan kentungan. Setiap permainan membawa pesan-pesan kebajikan dan melatih ketangkasan anak.
Kampanye ini digagas oleh PT Johnson & Johnson Indonesia melalui salah satu produknya, Combantrin, bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) dan Pemerintah Provinsi Jabar. Dalam permainan galasin, misalnya, tim penghadang harus saling melindungi. Kerja sama dan kekompakan sangat dibutuhkan agar lawan tidak lolos dari satu baris ke baris lainnya.
Sementara, permainan sapintrong memotivasi anak untuk meningkatkan kemampuannya. Dalam permainan ini, pemainnya melompati tali dengan ketinggian berjenjang, dari mata kaki hingga kepala. Ketua LPAI Seto Mulyadi mengatakan, permainan tradisional mengandung pesan-pesan luhur sehingga harus terus dilestarikan. Selain itu, juga menyehatkan karena membutuhkan aktivitas fisik.
”Belajar dan bermain harus seimbang. Jangan sampai anak stres karena terbebani belajar. Imbasnya, anak tidak suka belajar sehingga berpotensi merundung temannya dan ikut-ikut tawuran,” jelasnya. Menurut Seto, perkembangan dunia digital membuat penggunaan gawai tak bisa dihindari. Namun, sisi buruknya, seperti membuat anak apatis dan sulit bersosialisasi, patut diwaspadai. Oleh sebab itu, kampanye permainan tradisional perlu digencarkan karena melatih anak dalam berinteraksi sosial.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, masa anak- anak penting diisi dengan hal-hal menyenangkan. Salah satunya lewat permainan tradisional dengan pola berkelompok. Hal itu menjadi investasi dalam membentuk karakter anak di masa depan. ”Mari bahagiakan anak sekarang agar dia membahagiakan generasi berikutnya. Caranya dengan memberikan waktu bermain bagi mereka,” ujarnya.
Kesenangan kolektif
Peneliti permainan tradisional Indonesia yang juga pendiri Komunitas Hong, Zaini Alif, mengatakan, permainan tradisional menghadirkan kesenangan kolektif. Sebab, orientasinya tidak pada kemenangan melainkan menikmati prosesnya. Dia mencontohkan, dalam permainan kucing-kucingan, anak yang menjadi ”kucing” (penjaga), justru sangat menikmati perannya. Padahal, dia harus berlari mengejar teman- temannya untuk menggantikan posisinya sebagai kucing.
”Dalam permainan tradisional, yang kalah tidak selalu di bawah. Intinya bukan menang atau kalah, melainkan kegembiraan bersama,” ujarnya. Menurut Zaini, sedikitnya terdapat 2.600 permainan tradisional di Indonesia. Sekitar 350 di antaranya berada di Jabar. Alumnus Program Doktor Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung itu berharap kekayaan permainan tradisional dimaksimalkan sebagai media dalam mendidik anak.
”Pengaruh perkembangan teknologi sulit dibendung. Oleh karena itu, akar kebudayaan harus diperkuat. Salah satu caranya dengan mengenalkan permainan tradisional sejak anak-anak,” ujarnya. Cara tersebut dipraktikkan Rini Kusmarini (51), guru SD Negeri 185 Cihaurgeulis, Kota Bandung. Dalam kampanye Astaga itu, dia memakai musik kentungan untuk melatih kosakata dan kecepatan berpikir anak didiknya.
”Makan mi, minya mi sedap, sedapnya sedap rasa, rasanya rasa apa?” ujarnya mengajukan pertanyaan kepada puluhan siswanya. Sambil memegang kentungan, para siswa berembuk untuk menentukan jawabannya. Setelah 15 detik, mereka dengan kompak menjawab, ”Rasanya rasa kaldu,” teriak puluhan siswa sambil memukul kentungan sehingga meriuhkan suasana.
Keriangan anak-anak bermain permainan tradisional kontras dengan kondisi politik bangsa. Pada saat anak-anak menampilkan kejujuran, saling percaya dan melindungi, elite-elite politik justru sibuk saling serang dan curiga. Kondisi ini turun ke akar rumput sehingga sempat membuat masyarakat terpolarisasi.
Pemilu 2019 yang menjadi pemicu memanasnya suhu politik telah usai. Namun, kekisruhan belum berakhir. Gelombang aksi unjuk rasa menolak berbagai rancangan undang-undang menjalar di berbagai daerah. Sayangnya, tak sedikit demonstrasi berakhir ricuh. Bahkan, sampai menimbulkan korban jiwa.
Kegaduhan itu turut disaksikan anak-anak melalui layar televisi dan gawai. Hal itu meracuni pikiran mereka yang seharusnya dipenuhi dengan kegembiraan dan memori-memori kebaikan.
Menjelang siang, kampanye Astaga berakhir. Rombongan siswa mulai meninggalkan Gedung Sate. Nyaring bunyi kentungan mengiringi langkah para siswa pulang. Suara itu membuat hari mereka lebih berirama. Namun, sekaligus menjadi alarm bahaya candu penggunaan gawai dan memori negatif yang mengancam masa depan generasi penerus bangsa.