Optimalkan Pengawasan Program Terorisme
JAKARTA, KOMPAS - Optimalisasi pengawasan parlemen terhadap program-program penanggulangan terorisme menjadi syarat mendasar bagi implementasi Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme. Undang-undang juga mengatur perlu adanya rancangan peraturan Dewan Perwakilan Rakyat mengenai pembentukan Tim Pengawas Penanggulangan Terorisme.
Pasal 43 Huruf J UU 5/2018 tentang Terorisme mengatur keberadaan tim pengawas penanggulangan terorisme. Lebih jauh tentang pembentukan tim pengawas penanggulangan terorisme diatur dengan peraturan DPR.
Setahun setelah penetapan UU Terorisme, peraturan DPR mengenai keberadaan tim itu hingga sekarang masih belum diterbitkan. Namun, sejumlah catatan dikemukakan oleh masyarakat sipil terkait dengan pembentukan tim itu. Anggota DPR yang baru beserta alat kelengkapannya diharapkan memberikan perhatian kepada isu ini, karena penanganan terorisme melibatkan tidak hanya satu lembaga atau instansi atau pun kementerian, melainkan memerlukan pendekatan holistik.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara, Kamis (31/10/2019) di Jakarta mengatakan, akar persoalan dari kemunculan terorisme sangat berkaitan dengan situasi lingkungan di mana sikap ekstrem yang diwarnai kekerasan mendapatkan lahan subur. Terorisme pun dipandang bukan semata-mata memiliki dimensi kuat terkait dengan ideologi, melainkan melibatkan faktor lainnya, seperti kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, maupun penindasan.
"Perlu juga untuk dipikirkan solusi lain atas terorisme ini selain yang sifatnya punitif. Menilik dari beragam faktor yang memicu tumbuhnya terorisme dan ekstremisme, pendekatan hukum pidana bukanlah satu-satunya cara dalam melawan terorisme," kata Anggara.
Oleh karena itu, sebagai tindak lanjut atas UU Terorisme, tim pengawasan penanggulangan terorisme yang dibentuk oleh DPR harus dipastikan tidak hanya didukung oleh orang-orang dengan latar belakang hukum yang berperspektif pidana. Sekalipun anggotanya adalah para legislator, mereka pun diharapkan berasal dari beragam komisi, tidak hanya dari komisi tertentu yang berkaitan dengan hukum, seperti Komisi III.
"Kewenangan dari tim ini juga harus jelas, karena bila merujuk pada ketentuan UU, lingkupnya sangat luas, antara lain untuk memastikan apakah anggaran penanggulangan terorisme digunakan tepat sasaran, dan apakah program deradikalisasi berjalan dengan benar," ujar Anggara.
Untuk memastikan efektivitas kerja tim, menurut Anggara, suatu tim pendukung dengan latar belakang beragam dan tugas khusus yang meliputi pengumpulan data, penyusunan laporan, hingga riset di lapangan penting untuk dilibatkan. Tim itulah yang bekerja secara riil di lapangan untuk membantu mengawasi program-program deradikalisasi, dan terorisme. Sebab, dengan kinerja legislatif yang berat, kecil kemungkinan berharap pada anggota tim yang merupakan anggota DPR untuk fokus pada kerja pengawasan penanggulangan terorisme semata.
Pengamat terorisme Al Chaidar mengatakan, sekarang ini semua kementerian dan lembaga, dan pemerintah daerah sangat fokus ke persoalan terorisme dan radikalisme. Untuk makin mengefektifkan pengawasan oleh parlemen terhadap kerja-kerja penanggulangan terorisme, tim bentukan DPR sebaiknya fokus pada dua tipe program penanggulangan yang dilakukan oleh pemerintah melalui sejumlah kementerian dan lembaga.
Selama ini, ada dua pendekatan dalam penanggulangan terorisme yang diatur di dalam UU Terorisme, yakni penindakan cara keras (hard approach) dan cara halus (soft approach). Penindakan cara keras dilakukan oleh kepolisian dan komando operasi khusus gabungan (koopsusgab) TNI dalam menangani terorisme teritorial dan organik.
"Dua lembaga ini perlu diawasi karena sebagai garda terdepan dalam penindakan (hard approach) terhadap tindak pidana terorisme," kata Chaidar.
Selain itu, pengawasan terhadap Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan lembaga-lembaga lainnya, termasuk pemerintah daerah juga sangat diperlukan untuk melihat dan mengevaluasi program deradikalisasai, serta program-program tambahan terkait isu terorisme, radikalisme, dan intoleransi.
"Pengawasan terhadap program soft approach BNPT dan pemda, serta kementerian maupun lembaga lainnya perlu dilakukan secara lebih integral agar manajemen penanggulangan atau pemberantasannya dapat berlangsung efektif, dan sesuai dengan etik kemanusiaan," katanya.
Menurut Chaidar, pengawasan program penanggulangan terorisme ini merupakan isu besar dan krusial. Pemerintah pun saat ini konsen dalam upaya-upaya menanggulangi ekstremisme dan terorisme dalam berbagai bentuknya.
Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas mengatakan, terorisme harus diatasi secara menyeluruh, tidak hanya dengan pendekatan keras, sebab ada banyak hal pula yang bisa memicu atau menjadi bahan bakar bagi timbulnya terorisme.
"Penanganannya harus komprehensif. Tidak boleh partisial dan sporadik. Kebijakan yang diambil harus menyeluruh, dari hulu hingga hilir. Begitu juga seluruh stakeholder harus bersatu padu dalam satu visi dan satu tindakan sesuai tupoksi masing-masing. Namun, jangan sampai terjadi tumpang tindih yang berdampak pada efektivitas program," katanya.
Dalam konteks umum, menurut Robikin, ekstremisme dan radikalisme berbasis agama disebabkan karena dangkalnya pemahaman agama. Adapun faktor keadilan dan keadaan ekonomi merupakan kayu bakarnya. "Keadilan di sini termasuk faktor keadilan dalam pergaulan masyarakat dunia," katanya.