Tantangan Politik Kompromi
Kabinet Indonesia Maju dinilai sebagai bentuk politik kompromi untuk menata keseimbangan politik. Namun, hal ini juga menimbulkan tantangan soal potensi konflik kepentingan yang bisa mengganggu pemerintahan.
Pakar hukum tata negara Refly Harun, dalam diskusi Satu Meja dengan topik “Politik Kompromi, Sanggupkan Melesat?” di Kompas TV, Rabu (30/10/2019) malam mengemukakan pertanyaan mengenai masihkah ada harapan pada pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo.
Pertanyaan itu, kata Refli, berkaca pada catatan lima tahun terakhir di bidang penegakan hukum. Menurut dia, ada persoalan di sektor itu. Sebagian di antaranya karena lolosnya revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilainya melemahkan lembaga itu. “Ini ada persoalan dengan penegakan hukum,” katanya.
Ada tiga hal yang dicatatnya sebagai kekurangan Kabinet Indonesia Maju saat dibandingkan dengan Kabinet Indonesia Kerja, periode pertama Presiden Jokowi. Pertama, Presiden Jokowi tidak lagi melibatkan KPK dalam menyeleksi calon menteri.
Kedua, usia menteri yang kembali menjabat di kabinet saat ini, sebagian di antaranya bakal menjadi lima tahun lebih tua dibandingkan periode sebelumnya. Ketiga adalah kecenderungan makin banyaknya akomodasi terhadap kekuatan-kekuatan politik yang dilakukan Jokowi.
Akomodasi pada berbagai spektrum kekuatan politik itu dinilai relatif kentara pada penunjukan terhadap sejumlah posisi wakil menteri. Ia menggarisbawahi hal itu dengan hadirnya sosok dari kalangan partai politik alih-alih sosok yang berasal dari kalangan birokrat mapan atau kaum profesional.
Selain Refly, dalam acara itu hadir pula Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz, dan Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera. Selain itu juga hadir Menteri Komunikasi dan Informatika yang juga Sekjen Partai Nasdem Johny G Plate, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Ansy Lema, dan pendiri Indo Barometer M Qodari.
Ansy mengatakan, politik pada dasarnya adalah kompromi. Menurutnya, hal itu bukan hal tabu untuk dilakukan. Dalam pandangannya, apa yang dilakukan pemerintah saat ini dengan mengkompromikan sejumlah kepentingan, bukanlah bentuk politik transaksional. Ia lebih melihatnya sebagai realitas faktual yang mesti dipahami dalam beberapa tahun belakangan.
Ini terutama saat dikaitkan dengan betapa kerapnya ruang publik diisi dengan permusuhan dan kebencian. Ia beranggapan bahwa hal itu bukan hanya mengancam pemerintah, tetapi juga bisa mendegradasi demokrasi.
Merujuk pada Richard Bellamy (2001) yang menulis buku “Liberalism and Pluralism: Towards a Politics of Compromise,” disebutkan bahwa tujuan kompromi yang baik adalah untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan dan cita-cita dalam permainan (politik). Ini dilakukan untuk mencapai solusi yang dapat diterima dan diwujudkan dengan kepedulian dan rasa hormat yang sama bagi pihak-pihak yang terlibat.
Masih menurut Bellamy, seni kompromi adalah perundingan. Dalam keterlibatan dengan orang lain, individu dan kelompok dituntun memiliki pandangan yang diperluas terhadap sebuah situasi.
Konflik kepentingan
Donal juga menyoroti longgarnya aturan mengenai rangkap jabatan menteri dengan ketua umum partai yang terjadi pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Ia membandingkannya dengan tak dibolehkannya menteri merangkap jabatan di periode pertama Presiden Jokowi.
Ia mengingatkan ihwal relatif besarnya potensi konflik kepentingan terkait praktik tersebut. Terutama jika dikaitkan dengan munculnya sejumlah kasus hukum yang pada periode sebelumnya melibatkan sebagian pengurus partai.
Ini masih ditambah pula dengan relatif pendeknya masa kerja riil pemerintahan. Donal memperkirakan, masa efektif kerja bagi pemerintahan presiden hanya tersisa sekitar tiga tahun. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan persiapan parpol-parpol untuk menghadapi Pemilu 2024.
Hal lain yang cenderung bisa hilang, kata dia, ialah mekanisme checks and balances.. Publik, jadi cenderung tak punya kanal menyuarakan keresahan pada “oposisi.”
Mardani berharap selama tiga bulan awal masa kerja Kabinet Indonesia Maju, ada sejumlah catatan tajam untuk kepastian arah lebih baik. Masa relatif singkat selama tiga bulan itu, dinilai krusial untuk menentukan Indonesia selama lima tahun ke depan.
Komunikasi politik
Johny berargumen bahwa konflik kepentingan tidak saja berpotensi muncul dalam posisi seorang menteri yang juga merangkap jabatan. Menurut dia, yang paling penting adalah komitmen dan integritas.
Menurut dia, keberadaan menteri yang juga merangkap sebagai ketua umum atau sekjen partai politik, memiliki keuntungan. Di antaranya sinergi antara kebijakan partai politik dan presiden yang bisa saling bertemu.
Dalam pandangan Johny, hal tersebut akan mengakselerasi munculnya kebijakan tertentu. Hal ini, tidak akan mudah terjadi bila dibandingkan dengan menteri yang berasal dari kalangan profesional dan tidak ada hubungan politik dengan partai tertentu. “Sulit untuk mengatur komunikasi politik,” ujar Johny.
Sementara itu, Qodari mengingatkan bahwa cara sebagian orang melihat Presiden Jokowi dalam menyusun kabinet memiliki bias Orde Baru. Padahal, dua hal itu tidak bisa disamakan.
Kepemimpinan Soeharto berlangsung di bawah rezim otoriter. Soeharto merupakan sosok yang berada di atas kekuatan politik apapun, sehingga relatif tak ada penghalang dalam menentukan sosok menteri yang diinginkannya.
Sementara saat ini, kata dia, siapapun yang menjadi presiden Indonesia niscaya tidak akan bisa terlepas dari kompromi-kompromi politik yang mesti dilakukan. Bagaimana menurut Anda?