Virus demam babi Afrika telah menyebar dari China ke Laos, Vietnam, Filipina, dan Timor Leste. Penyakit itu bisa mengancam masa depan peternakan babi di Batam, Kepulauan Riau.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Virus demam babi Afrika telah menyebar dari China ke Laos, Vietnam, Filipina, dan Timor Leste. Penyakit itu bisa mengancam masa depan peternakan babi di Batam, Kepulauan Riau. Untuk mencegah hal itu, pengawasan terhadap orang asing dan barang masuk di pelabuhan serta bandara mulai diperketat.
Meskipun tidak berbahaya kepada manusia, virus demam babi (ASF) sangat mematikan bagi babi dan belum ada obatnya. Penyakit itu sangat mudah menyebar. Penularan disebabkan kontak langsung dengan hewan terinfeksi atau karena memakan daging hewan terjangkit. Virus tersebut bisa bertahan di tubuh babi selama beberapa bulan.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Batam Mardanis, Sabtu (2/11/2019), mengatakan, sosialisasi bahaya ASF kepada pengusaha dan peternak telah dilakukan pada awal Oktober. Petugas juga telah diperintahkan untuk memantau kondisi ternak secara langsung di lapangan.
”Virus ASF biasanya akan membuat babi mati secara massal dan mendadak sekitar 2-10 hari setelah terjangkit. Dari pantauan petugas lapangan, hal itu belum pernah terjadi di Batam,” kata Mardanis.
China merupakan negara yang paling terpukul penyakit itu. Sejumlah kajian memprediksi China bisa kehilangan setengah dari 700 juta babi pada akhir 2019. Virus ASF membuat pasokan daging babi berkurang dan harganya melonjak sampai 69 persen di China (Kompas, 1/11/2019).
Menurut Mardanis, peternakan babi di Batam relatif aman dari penyebaran virus ASF. Peternakan babi skala industri ada di Pulau Bulan yang lokasinya dipisahkan Selat Paku dari Kota Batam. Sejak 1986, pulau tersebut memang khusus digunakan sebagai tempat peternakan babi oleh PT Indotirta Suaka.
Manajer Biosekuriti dan Pencegahan Penyakit PT Indotirta Suaka Drh Paulus Mbolo Maranata mengatakan, kolaborasi pencegahan penyebaran virus ASF sudah dilakukan dengan balai karantina setempat. Populasi babi di Pulau Bulan saat ini setidaknya mencapai 233.000 ekor.
”Sebelumnya pengawasan sudah ketat, tetapi saat ini lebih diperketat lagi untuk mencegah ASF. Dalam hal ini, kesadaran pengelola untuk mengeluarkan biaya ekstra sangat diperlukan,” ujarnya.
Sebelumnya pengawasan sudah ketat, tetapi saat ini lebih diperketat lagi untuk mencegah ASF. Dalam hal ini, kesadaran pengelola untuk mengeluarkan biaya ekstra sangat diperlukan.
Data dari laman Badan Karantina Pertanian menunjukkan, dalam satu hari, PT Indotirta mengekspor lebih kurang 900 babi ke Singapura. Sepanjang 2018, peternakan itu mengekspor 271.000 babi. Ekspor babi dari Batam ke Singapura itu dalam setahun nilainya diperkirakan sekitar Rp 1,1 triliun.
Badan Karantina Pertanian Kelas I Batam Joni Anwar menyatakan, situasi Batam cukup diuntungkan dengan tidak adanya penerbangan dan pelayaran langsung ke negara yang sudah terjangkit ASF. Meski begitu, pengawasan kepada orang asing dan barang masuk tetap diperketat sebagai antisipasi.
”Kondisi Batam sekarang siaga satu. Potensi penularan ASF juga bisa datang dari provinsi lain yang berbatasan dengan negara terjangkit, misalnya Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur,” kata Joni.
Sementara itu, Mardanis mengatakan, pengawasan ternak babi skala kecil yang tersebar di Kecamatan Nongsa, Batu Aji, dan sepanjang jembatan penghubung Batam-Rempang-Galang lebih susah dilakukan. Peternakan babi di sejumlah lokasi itu dikelola warga yang kebanyakan tinggal di permukiman liar.
”Jumlahnya tidak diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan sekitar puluhan. Peternakan di lokasi itu lebih sulit dipantau karena tidak ada izinnya sehingga tidak masuk ke dalam data kami,” ujar Mardanis.