Berebut Tiket Pilkada di ”Kandang Banteng”
Sejak reformasi, PDI-P mendominasi kontestasi politik di Solo, baik dalam pilkada maupun pemilu legislatif. Dukungan PDI-P pun diperebutkan karena siapa pun yang diusung ”sang banteng” hampir dipastikan bakal terpilih.
Sejak reformasi, PDI-P mendominasi kontestasi politik di Solo, baik dalam pilkada maupun pemilu legislatif. Dukungan PDI-P pun diperebutkan karena siapa pun yang diusung ”sang banteng” hampir dipastikan bakal terpilih.
Setahun menjelang pemilihan wali kota dan wakil wali kota Solo pada September 2020, dinamika politik lokal menghangat. Pemicunya langkah mengejutkan putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, yang berniat maju sebagai calon wali kota Solo melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Padahal, DPC PDI-P Solo sudah bulat mengajukan pasangan Achmad Purnomo-Teguh Prakosa kepada DPP PDI-P.
Juli 2019, Laboratorium Kebijakan Publik, Universitas Slamet Riyadi, perguruan tinggi swasta di Solo, merilis hasil survei riset kepemimpinan Solo periode 2020-2025. Survei ini melibatkan 786 responden warga Solo yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap Pemilu 2019 dengan margin of error 4 persen. Survei dilakukan pada 25 Juni-20 Juli 2019.
Hasil survei menunjukkan, Gibran dan Wakil Wali Kota Solo Achmad Purnomo memiliki popularitas tertinggi, yaitu sama-sama 90 persen, disusul Kaesang Pangarep (86 persen), serta anggota dan mantan Ketua DPRD Solo, Teguh Prakosa (49 persen). Untuk akseptabilitas, Purnomo berada di posisi teratas (83 persen), disusul Gibran (61 persen), dan Teguh Prakosa (49 persen). Dari sisi elektabilitas, Purnomo pun tertinggi (38 persen), Gibran (13 persen), dan Teguh (11 persen).
Hasil survei menunjukkan, Gibran dan Wakil Wali Kota Solo Achmad Purnomo memiliki popularitas tertinggi.
Pasca-survei itu dirilis, Gibran belum menunjukkan sinyal bakal maju dalam Pilkada Solo. Ia mengaku masih fokus berbisnis saat diminta tanggapan soal survei tersebut. ”Saya dan Kaesang masih melakukan aktivitas saya yang saya lakoni seperti biasa, masih fokus menjalani bisnis, masih fokus ekspansi bisnis,” kata Gibran di Solo, Sabtu (27/7/2019).
Belakangan, Gibran mengambil langkah mengejutkan. Ia menemui Wali Kota Solo yang juga Ketua DPC PDI-P Solo FX Hadi Rudyatmo di Rumah Dinas Loji Gandrung, Rabu (18/9). Dalam pertemuan itu, Gibran menanyakan mekanisme pencalonan wali kota Solo melalui PDI-P. Namun, ketika itu pun, ia belum secara terbuka menyatakan keinginannya maju dalam pilkada.
”Tukar pikiran saja. Silaturahmi dengan Pak Rudy, berbicara tentang perkembangan kota Solo,” katanya seusai pertemuan saat itu. Namun, ia memberi secuil isyarat. ”Kota Solo ini butuh sedikit sentuhan anak muda,” ujarnya. Lima hari kemudian, Gibran mendaftar menjadi anggota PDI-P di kantor DPC PDI-P Solo. Ia juga menanyakan formulir pencalonan wali kota. Namun, DPC PDI-P Solo menutup pintu bagi Gibran maju.
Rudy menyatakan, DPC PDI-P Solo tidak membuka pendaftaran bakal calon wali kota dan wakil wali kota. DPC PDI-P Solo telah mengajukan secara resmi pasangan Achmad Purnomo-Teguh Prakosa sebagai calon wali kota dan wakil wali kota Solo kepada DPP PDI-P.
Kota Solo ini butuh sedikit sentuhan anak muda.
Pengajuan nama Purnomo-Teguh merupakan penugasan partai secara berjenjang mulai dari anak ranting, ranting, dan anak cabang PDI-P di Solo. ”Saya telah melaksanakan tugas partai sesuai dengan peraturan partai,” katanya. Achmad Purnomo tercatat bergabung menjadi kader PDI-P sejak 2012 dan kini menjadi Dewan Pembina DPC PDI-P Solo. Adapun Teguh Prakosa merupakan Sekretaris DPC PDI-P Solo.
Manuver Gibran
Pintu yang tertutup di Solo tidak membuat Gibran menyerah begitu saja. Pengusaha kuliner itu mengetuk pintu DPP PDI-P. Ia menemui langsung Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri di Jakarta dan menyatakan keseriusannya untuk maju dalam Pilkada Solo melalui PDI-P. ”Saya akan berjuang melalui PDI-P,” katanya.
Tiket untuk maju dalam Pilkada Solo dari PDI-P pun kini ”diperebutkan” dua pihak di kandang banteng. Rudy menanggapi santai manuver yang dilakukan Gibran tersebut. ”Semua punya hak mencalonkan sebagai wali kota. Namun, keputusan (calon yang diusung) ada pada ketua umum DPP PDI-P,” ujarnya.
Senada dengan Rudy, Purnomo mengatakan tidak mencalonkan diri, tetapi mendapat penugasan bersama dengan Teguh sebagai bakal calon wali kota-calon wakil wali kota dari DPC PDI-P. Penugasan tersebut bulat dari anak ranting hingga DPC. Sebagai kader partai, ia menerima penugasan itu dan akan menerima apa pun keputusan DPP PDI-P. ”Kami itu kader partai yang patuh melaksanakan apa pun keputusan partai,” kata Purnomo.
Pengamat politik yang juga dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret Solo (UNS), Supriyadi, menilai, hasil survei Universitas Slamet Sriyadi menyadarkan Gibran bahwa ia populer di mata warga Solo dan juga memiliki elektabilitas lumayan tinggi. ”Itu menjadi modal sosial yang mendorongnya maju,” ujarnya, Rabu (30/10).
Langkah Gibran memilih PDI-P dinilai sebagai strategi tepat untuk meraih kemenangan. Pasalnya, PDI-P memiliki basis massa pendukung yang besar dan mengakar kuat di Solo hingga saat ini. Solo merupakan kandang banteng bermoncong putih. Ini terlihat dari hasil Pemilu 2019, PDI-P mendapatkan 30 kursi dari total 45 kursi di DPRD Solo.
Langkah Gibran memilih PDI-P dinilai sebagai strategi tepat untuk meraih kemenangan.
Kuatnya basis dukungan kepada PDI-P tersebut tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kalangan abangan. Menilik kajian Clifford Geertz yang membagi masyarakat Jawa menjadi abangan, santri, dan priayi, menurut Supriyadi, kalangan abangan di Solo masih kuat hingga saat ini.
”Sejarahnya dulu, kaum abangan ini orang-orang di luar struktur pemerintahan Hindia Belanda dan di luar kultur santri. Mereka punya ideologi abangan sendiri yang berbasis kearifan lokal. Itu yang sampai sekarang terjaga,” katanya. Itulah mengapa Partai Nasional Indonesia (PNI) dulu juga pernah menjadi kekuatan besar di Solo karena populer di kalangan abangan. Demikian pula, Sarekat Islam Merah juga sempat berkembang luas. ”Solo itu basisnya merah dari dulu,” katanya.
Dosen FISIP UNS, Aris Arif Mundayat, mengatakan, kelompok abangan memiliki kesesuaian kultur politik dengan PDI-P. Dalam pilkada di Solo, mereka akan berhadapan dengan kelompok populisme Islam yang kini cenderung menguat. Meski demikian, tetap tidak mudah menghadapi calon dari PDI-P jika tidak berkoalisi. Apalagi, konstituen PDI-P, baik dari abangan maupun non-abangan, memiliki karakter kesetiaan yang tinggi. ”Karakter pemilih PDI-P itu khas, siapa yang dicalonkan partainya mereka akan memilihnya,” ujarnya.
Potensi konflik
Menurut pengamat politik dan pakar hukum Tata Negara UNS, Agus Riewanto, Gibran menyadari betul akan dapat meraih kemenangan apabila maju bersama PDI-P sehingga tidak mau menempuh jalur pencalonan yang lain, baik independen maupun dengan parpol lain.
PDI-P tercatat tidak pernah kalah dalam pilkada langsung di Solo, mulai saat Joko Widodo maju berpasangan dengan FX Hadi Rudyatmo dalam Pilkada Solo pada 2005 dan berikutnya pada 2010. Pada 2015, PDI-P yang mengusung FX Hadi Rudyatmo-Achmad Purnomo juga meraih kemenangan tanpa berkoalisi. Karena itu, wajar jika tiket PDI-P diperebutkan.
Namun, sayangnya, menurut Agus, upaya Gibran menemui Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri secara langsung menunjukkan komunikasi politik yang dibangunnya bermodel dari atas ke bawah, bukan dari bawah ke atas.
PDI-P bisa saja menelan kekalahan perdana dalam Pilkada Solo.
”Komunikasi politik itu penting. Seharusnya, Gibran menyolidkan dukungan dari DPC PDI-P Solo, entah bagaimana caranya, agar memiliki legitimasi di DPC. Ingat, pilkada itu, kan, yang bekerja DPC, bukan DPP,” ujarnya. Agus juga melihat adanya potensi konflik di kalangan kader dan pemilih PDI-P di Solo dengan munculnya Gibran. Pasalnya, DPC PDI-P Solo telah bulat memutuskan mengusulkan Purnomo-Teguh.
Majunya Gibran sekaligus menjadi ujian bagi Ketua Umum DPP PDI-P. Pemberian tiket kepada Gibran sebagai putra Presiden akan memperlihatkan pengambilan keputusan dilakukan dari atas ke bawah. Atau memutuskan sebaliknya, memilih menangkap aspirasi dari bawah, mengakomodasi usulan DPC PDI-P Solo. ”Begitu salah melangkah, saya khawatir itu akan memecah belah PDI-P,” kata Agus.
Apabila konflik internal terjadi secara terbuka dan dukungan dari internal PDI-P Solo terbelah, konsolidasi internal partai tidak akan terjadi. Akibatnya, bukan tidak mungkin lawan justru mengambil keuntungan. Jika hal itu terjadi, PDI-P bisa saja menelan kekalahan perdana dalam Pilkada Solo.