Mayoritas pemilik suara di PSSI menginginkan kepemimpinan kuat yang mampu menjalin kemitraan mesra dengan para pengambil kebijakan di negeri ini. Stabilitas kembali menjadi kata kunci di kongres kali ini.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Suasana kebatinan di lingkungan pemilik suara PSSI saat ini tidak jauh berbeda dengan empat tahun silam, yaitu jelang terpilihnya mantan Panglima Komando Strategis TNI Angkata Darat Edy Rahmayadi sebagai Ketum PSSI periode 2016-2020. Edy, yang sejak jauh-jauh hari menyiapkan diri sebagai calon ketum PSSI, unggul telak dari para pesaing lainnya, yaitu 70 persen suara.
Para pendukungnya saat itu, yang tergabung dalam K-85, kompak mengenakan jaket loreng khas TNI untuk melawan dinginnya suhu ruangan sekaligus pamer kekompakkannya beberapa saat jelang kongres di Ancol, Jakarta, saat itu. “Hidup Pak Edi, hidup PSSI!” pekik girang para pengusung Edy tepat di Hari Pahlawan itu.
Tidak seperti kongres-kongres sebelumnya, pemilihan itu berjalan lancar, nyaris tidak ada kendala apa pun, apalagi kericuhan. Hampir seluruh pemilik suara saat itu, seolah tersihir oleh komando sang mantan jendral bintang tiga TNI AD itu. “PSSI adalah rumah besar kita bersama,” ujar Edy yang kini menjabat Gubernur Sumatera Utara terpilih.
Edy saat itu dipilih karena menggemari sepak bola, memiliki kekuasaan strategis di TNI AD, dan dianggap bisa menjembatani PSSI dan pemerintah yang dulu sempat berbeda arah, bahkan berkonflik, dengan ditandainya sanksi pembekuan FIFA pada April 2015 lalu. PSSI kepemimpinannya mulai goyah saat Kepolisian RI membentuk Satuan Tugas Antimafia Bola, Desember 2015.
Satu persatu pengurus dan anggota komite eksekutif terbelit kasus pengaturan skor. Di saat sama, Edy sulit fokus menjalani amanah Kongres PSSI 10 November 2016 silam karena mulai menjalani pekerjaan barunya sebagai kepala daerah di Sumut. Ia lantas mundur sebagai Ketum PSSI pada Kongres PSSI, Januari lalu.
Sejak itu, roda organisasi PSSI semakin goyah. Ibarat musafir, mereka bahkan sempat berpindah-pindah kantor mulai dari kawasan perkantoran mewah di Epicentrum Kuningan, lalu rumah biasa di Kemang, serta berlanjut mengungsi ke sebuah kompleks apartemen dan mal di Permata Hijau, hingga sebelum akhirnya menetap di FX Sudirman.
Tongkat estafet pemimpin PSSI pun berpindah-pindah dari Joko Diyono, yang lantas dipenjara karena kasus penghilangan barang bukti pengaturan skor, ke Iwan Budianto yang awalnya menjabat Wakil Ketum II PSSI. Di kompetisi, jadwal pertandingan Liga 1 pun kerap morat-marit karena kerap terbentur masalah keamanan dan izin kepolisian.
Berkaca dari masalah-masalah itu, mayoritas para pemilik suara PSSI kian merasakan pentingnya sosok pengayom yang mampu menjembatani berbagai masalah praktis itu. “Kami butuh ketum yang kuat dan punya jiwa kepemimpinan, bukan mone alias modal nekat. Sosok ini telah terbukti punya kapasitas dan mampu bermitra baik dengan pemerintah sehingga bisa bantu misalnya mempermudah soal perizinan (laga). Jadi, ke depan, tidak akan lagi ada laga-laga tertunda,” tutur Sekretaris Umum PSMS Medan Julius Raja, Jumat (1/11/2019).
Perizinan terbantu
Julis dengan terang-terangan menyebut calon dimaksud adalah Mochamad Iriawan alias Iwan Bule, jenderal polisi bintang tiga. Ini seperti tongkat estafet dari Edy yang jenderal TNI bintang tiga. Julius bercerita bahwa PSMS pernah dibantu Iwan saat hendak menggelar laga ulang kontra Perseba Bangka di Liga 2. Laga itu dua kali ditunda karena Kepolisian Daerah Sumatera Utara tidak memberikan rekomendasi izin keramaian menyusul pelantikan Presiden beberapa waktu lalu.
“Saya sampai rugi Rp 200 juta karena dua kali membiayai transportasi dan hotel tim Bangka. Itu semua menjadi tanggung jawab kami selaku Panpel (Panitia Pelaksana) karena batal menggelar laga pertama. Setelah itu, saya telepon pak Iwan Bule dan tidak lama dapat rekomendasi dari Polda Sumut. Hal-hal semacam ini, terkait perizinan polisi, sangat penting bagi kami sebagai klub. Ia bisa membantu ini,” tuturnya.
Iwan Bule tidak hanya rajin menemui para pemilik suara, mulai dari Sumatera, jawa, Kalimantan, dan daerah lainnya. Ia juga sempat bertatap muka dengan Menteri pemuda dan Olahraga Baru Zainudin Amali. Foto pertemuan mereka berdua sempat menjadi sorotan di jagat maya karena dianggap Menpora “merestui” Iwan dan tidak netral.
Namun, hal itu ditepis pihaknya. Sekretaris Kemenpora Gato S Dewa Broto berkata, pihaknya terbuka calon mana pun, tidak hanya Iwan yang ingin bertemu langsung. Ia berkata, pemerintah dan Menpora ingin bersikap netral dalam kongres ini. Menpora, yang juga peduli dengan sepak bola, dipastikan gatot bakal menghadiri langsung KLB PSSI itu hari ini.