”Bima Swargan” Lempad
Udara di Ubud, Bali, pagi itu terasa sejuk. Langit pun cerah. I Gusti Putu Suteja (55), salah satu cucu maestro pelukis Bali, I Gusti Nyoman Lempad (meninggal tahun 1978), membuka perbincangan dengan bercerita tentang lukisan Lempad yang paling ia suka, yaitu ”Bima Swargan”.
”Ini lukisan ’Bima Swargan’. Lukisan terakhir kakek saya, I Gusti Nyoman Lempad, lukisan yang paling saya suka,” ujar Suteja, Jumat (25/10/2019).
Suteja menunjukkan koleksi lukisan Lempad di kompleks Dewangga Ubud yang menempati sebidang tanah di Ubud seluas 9.600 meter persegi. Di situ Suteja mengelola 25 kamar yang disewakan untuk wisatawan.
Kemudian ada satu bangunan khusus sebagai ruang koleksi lukisan Lempad. Saat ini ada 87 lukisan Lempad, termasuk lukisan ”Bima Swargan”. Sebanyak 85 lukisan diwarisi Suteja dari ibunya, I Gusti Putu Oka.
Dua lukisan lainnya ia dapatkan dari tetangga. Suteja kebetulan menjumpai kedua lukisan itu tahun 2000-an, kemudian digantikan dengan sejumlah uang. Suteja tidak bersedia menyebut nilai uang itu. Namun, ia menyebutkan, tetangganya itu bisa membangun rumah baru dari uang tersebut.
Lukisan Lempad tahun 2000-an sampai sekarang terbilang sangat mahal. Tidak hanya kolektor, berbagai museum di Eropa dan negara-negara lain turut mengoleksinya. Karya Lempad terbilang istimewa karena menjadi jembatan antara karya tradisional Bali dan lukisan modern Barat.
Dalam buku Lempad for the World (2014), Lempad disebutkan sebagai sosok pembaru seni lukis Bali. Lempad pernah tergabung dalam kelompok seniman Pitamaha yang didirikan pada 1936 oleh seniman Rudolf Bonnet (Belanda), Walter Spies (Jerman), dan Tjokorda Gede Agung Sukawati (Puri Ubud).
Ditulis di buku itu, Spies pernah menyimpan lukisan Lempad dan diminati teman-temannya yang berkunjung. Lalu, lukisan Lempad dibeli dengan harga tinggi. Spies pun bingung. Hasil penjualan itu diserahkan kembali kepada Lempad.
Lempad disebutkan sebagai sosok pembaru seni lukis Bali.
Di buku yang sama, seniman I Ketut Budiana, I Wayan Seriyoga Parta, dan I Made Susanta Dwitanaya menulis ulasan tentang karya Lempad. Ada pembagian karya Lempad, meliputi aspek konstruksi elemen visual, proses kreatif, dan tematik. Lempad tergolong pencipta karya yang unik dan genius.
Melukis Bima
Suteja adalah anak pertama dari Gusti Putu Oka. Gusti Putu Oka ini merupakan salah satu dari empat anak Lempad dari istri kedua, I Gusti Rai Tindih. Dari istri pertamanya, I Gusti Nyoman Dapet (kakak I Gusti Rai Tindih), Lempad tidak dikaruniai anak.
Pada usia 14 tahun, Suteja ditinggalkan sang kakek untuk selamanya. Lukisan ”Bima Swargan” menjadi kenangan paling berharga baginya. Ia memberikan judul lukisan ”Bima Swargan”, sebagai paduan kata Bima, putra kedua Pandawa, dan swargan, yang berkonotasi perihal kesurgaan. Suteja memberi konteks lukisan tersebut sebagai bagian perjalanan terakhir Lempad di dunia yang fana ini menuju alam surga.
Waktu itu Suteja masih duduk di bangku SMP. Kakeknya sudah berusia senja. Ia menghabiskan hari-harinya dengan berbaring. ”Kakek waktu itu sudah lama sekali tidak melukis,” ujar Suteja.
Tatkala itu Suteja mengagumi sosok Bima. Ia ingin sekali tahu bagaimana kakeknya kalau menggambar tokoh Bima. Bima merupakan salah satu tokoh penting di dalam epos Mahabharata. Lempad kerap melukiskan bagian tertentu narasi dari epos Mahabharata, tetapi Suteja jarang menjumpai kakeknya itu melukiskan tokoh Bima.
Lempad di pembaringannya menyambut hangat keinginan Suteja. Sambil berbaring dengan bersandarkan bantal, Lempad perlahan menggoreskan pensil di atas kertas. Kertas itu berukuran sekitar dua lembar folio. Seingat Suteja, Lempad tidak langsung seketika menyelesaikan lukisan ”Bima Swargan” itu. Bahkan, waktu yang ia butuhkan untuk menyelesaikan lukisan itu mungkin lebih dari seminggu.
Lempad berhasil menyelesaikan bagian wajah Bima yang menoleh ke kanan bawah. Sorot mata Bima tajam. Mulutnya menyunggingkan senyuman. Lukisan wajah Bima itu menunjukkan karakter keperkasaan, tetapi menyimpan rasa welas. Bagian tubuh lainnya tidak pernah terselesaikan.
Pada bagian lengan tangan kanan sempat tergambar, tetapi tidak sampai ujung pergelangan tangan dan jari-jemari Bima.
Lempad juga menggambarkan dada bidang Bima meski agak samar. Hanya bagian kepala yang tampak sempurna. Selebihnya berupa goresan tipis dan sebagian besar adalah bidang kosong.
Di sepanjang hidupnya, Lempad tidak bisa membaca dan menulis
Lukisan ”Bima Swargan” itu seperti tidak selesai. Entah karena kondisi fisiknya yang lemah atau Lempad memiliki maksud tertentu dengan menggambar wajah Bima yang sempurna, tetapi bagian tubuh lainnya samar. Menurut Suteja, sekitar dua sampai tiga bulan berikutnya Lempad mangkat. Lempad meninggal sekitar pukul 09.00, 15 April 1978.
Usia Lempad tidak ada yang bisa memastikan. Sebab, catatan hari kelahirannya tidak pernah diketahui. Namun, masa kelahiran Lempad diperkirakan pada 1862. Ini berarti Lempad mangkat di usia yang cukup panjang, 116 tahun.
”Di sepanjang hidupnya, Lempad tidak bisa membaca dan menulis,” ujar Suteja.
Lempad menghasilkan ratusan, bahkan ribuan lembar lukisan yang berkarakter khusus. Narasi lukisannya diambil dari berbagai kisah di epos Mahabharata, Ramayana, Sutasoma, ataupun kisah keseharian tradisi masyarakat Bali.
”Bima Swargan” memberikan misteri tersendiri. Suteja memaknai banyak bidang kosong yang disisakan Lempad pada lukisan itu sebagai ruang yang harus diisi generasi penerusnya. Namun, sejauh ini belum pernah ditemui lagi seniman yang bisa meneruskan daya cipta Lempad.
”Generasi penerus dari cucu- cucunya pun sampai sekarang sulit sekali meneruskan proses kreatif Lempad,” kata Suteja.
Ruang kosong lukisan ”Bima Swargan” menjadi misteri dan tantangan tersendiri. Lempad telah membuka jalan.