Hamburg-Berlin
Salah satu hal menarik saat di negeri orang adalah mencuri waktu jalan-jalan untuk menabung kenangan. Selama tiga hari di Jerman, saya mengumpulkan kenangan di antara genangan sisa hujan.
Senin, 23 September 2019
Akhir September lalu, kami diajak jalan-jalan oleh panitia Hannover Messe 2020 ke lokasi pameran yang akan digelar pada April tahun depan. Hannover Messe merupakan pameran internasional terbesar dalam bidang teknologi manufaktur yang diikuti oleh sedikitnya 6.000 peserta dari sejumlah negara dan 200.000 pengunjung dari seratusan negara. Kali ini, Indonesia dipilih sebagai mitra (country partner). Harian Kompas diundang Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Jerman terkait Hannover Messe 2020.
Steindamm Pukul 15.30
Setelah keliling beberapa titik yang akan dijadikan pameran lalu makan siang, kami meluncur ke Hamburg. Lamat-lamat terdengar suara siulan Klaus Maine menyanyikan lagu ”Wind of Change” dari radio di mobil yang dikemudikan Safran, staf lokal KBRI. Saya minta tolong volume dibesarkan lalu bercerita bahwa lagu itu selalu merayu saya untuk datang ke Jerman. Pekan itu, ajakan ini menjadi nyata.
”Lagu ini juga yang membuat Hannover terkenal karena vokalis Scorpions ini lahir di sini,” kata Safran.
Lagu yang populer pada era 1990-an ini menandai runtuhnya Uni Soviet dan tembok Berlin sebagai bersatunya kembali warga Jerman itu membuai saya. ”Take me to the magic of the moment on a glory night. Where the chidren of tomorrow dream away….”
Saya tidak sadar kapan lagu itu berakhir karena kemudian jatuh tertidur sepanjang 3 jam perjalanan. Tidur itu untuk membayar utang begadang selama penerbangan Jakarta ke Hannover. Hari mulai sore ketika kami tiba di hotel tempat kami menginap di Hamburg. Hotel ini terletak di kawasan Steindamm, salah satu titik paling sibuk di Hamburg. Di kanan kiri hotel terdapat beragam kedai, mulai dari kedai makanan sampai tempat hiburan. Ini sejenis Jalan Sabang, kalau di Jakarta.
Hotel kami tepat di sisi jalan yang selalu ramai. Banyak juga pemabuk dan pengemis di sana. Seorang perempuan berteriak keras memarahi pria yang jalan sempoyongan, sementara di mulut gang, dua polisi memeriksa seorang pria kumal. ”Biasanya itu imigran gelap,” komentar rekan saya, yang sudah belasan tahun tinggal di Jerman, tentang pria tadi.
Rathaus Pukul 18.30
Kami jalan sore, ditemani rintik hujan tipis, hendak menikmati bangunan Wali Kota Hamburg, Rathaus. Kami berjalan kaki sejauh sekitar 550 meter. Agenda melihat Rathaus ini agak memaksa karena kami sadar besok belum tentu ada waktu terkait padatnya jadwal kegiatan.
Sebenarnya saya didera dilema antara terus jalan atau balik ke penginapan. Apalagi, waktu itu suhu udara juga dingin, sampai 15 derajat celsius. Begitu sampai di depan Rathaus, gelap. Lampu sekelilingnya padam. Sia-sia karena kami tak bisa memotretnya.
Berhubung perut mulai lapar, kami merapat ke sebuah restoran Asia di mal. Sekitar pukul 21.00, ketika jalan kembali, Rathaus ternyata sudah ditaburi cahaya dari kawasan sekelilingnya. Megah.
Selasa, 24 September
Pelabuhan Hamburg Pukul 08.00
Pagi hari kami sarapan roti di kafe depan hotel. Sekitar pukul 08.00, sengaja lebih pagi dari jadwal acara karena khawatir macet, mungkin ini bawaan alam sadar setelah sekian tahun tinggal di Jakarta, selalu pergi dua jam sebelum acara. Ternyata masih cukup banyak luang.
Jadilah pagi itu kami keluyuran dulu ke Pelabuhan Hamburg di Sungai Elbe, salah satu pelabuhan tersibuk di Eropa. Kota Hamburg menjadi besar seperti sekarang ini antara lain lantaran peran penting pelabuhan yang dibangun pada
abad ke-12 ini. Puluhan kapal mengangkut peti kemas, sementara belasan lainnya lalu-lalang menurun-naikkan penumpang.
Saya menghitung, dalam 8 menit setidaknya sepuluh kapal bersandar menurunkan lalu mengangkut penumpang lainnya. Genangan sisa air hujan di pelabuhan menggoda saya untuk mengabadikan aktivitas tadi.
Air Sungai Elbe keruh, tetapi sungainya bersih, tak ada sampah mengambang. Melihat sungai ini mengingatkan saya pada Mahakam atau Musi. Sayangnya, kedua sungai di Tanah Air itu tidak dioptimalkan fungsinya seperti Elbe.
Sebab, orang Indonesia cenderung melihat sungai sebagai halaman belakang, termasuk tempat membuang sampah dan beragam kotoran. Adapun di Hamburg, sungai menjadi halaman depan. Di sepanjang sungai berdiri rumah-rumah megah menghadap perairan. Asri.
Ah, serius sekali saya bahas sungai. Selepas kegiatan hari itu, kami meluncur ke Berlin untuk menghadiri kelanjutan agenda Hannover Messe 2020.
Rabu, 25 September
Memorial Holokaus Pukul 14.00
Sore harinya, saya bersama seorang teman meluncur ke Memorial Holokaus atau The Memorial to the Murdered Jews of Europe. Kami melihat lebih dekat 111 prasasti yang bercerita tentang pembunuhan massal terhadap 3 juta orang Yahudi. Di bawah hamparan prasasti tersebut terdapat museum yang berisi informasi lebih detail tentang kekejaman itu.
Kami juga mengunjungi Monumen Tembok Berlin dengan mengendarai trem dari stasiun pusat. Tembok Berlin tinggal puing-puingnya, tetapi kisahnya abadi. Tembok ini dulu yang memisahkan warga Jerman menjadi dua, Timur dan Barat.
Ketika hendak memasuki gedung museum, kami dicegat tiga orang yang tengah membuat karya seni eksperimen bertajuk ”Berlin Hand Shape”.
Dalam konsep seni karya Meike Ziegler ini, saya diminta mencari orang yang benar-benar tidak saya kenal dan berdialog untuk menemukan kesamaan, lalu berjabat tangan sembari menggenggam lumpur. Pesannya adalah, semua orang bisa saling terhubung meski tidak saling kenal karena kita satu. Oleh karena itu, tak perlu saling memusuhi.
Siang itu saya ketemu Anna Kinga Lesko, guru bahasa Jerman dan pelukis asal Polandia. Benang merah antara kami adalah kreativitas. Setelah jabat tangan, gurat tangan kami tercetak pada lumpur yang nanti akan dijadikan porselin sehingga abadi.
Menarik juga konsep Meike tadi, mirip dengan perobohan tembok Berlin yang akhirnya menyatukan warga Jerman. Menyusuri sisa dan bekas tembok itu, di kepala saya mengalun lagi ”Wind of Change”. Ada perasaan hangat saat saya memutar kembali lagu itu di kepala sembari mengingat semangatnya. Gerimis turun saat kami meninggalkan sisa tembok Berlin.
Pekan itu di Jerman kerap turun hujan. Itu menginspirasi saya untuk memotret dengan teknik refleksi memanfaatkan genangan. Jika Anda ingin tahu kenangan yang saya dapat di sana, sebagian terekam lewat genangan sisa hujan.