Menyingkap Selubung Palsu
Di tangan kapitalis dan industrialis, teknologi berubah menjadi instrumen eksploitatif. Di tangan politikus, teknologi juga bisa menjadi alat propaganda dan hoaks.
Sains melahirkan teknologi demi merengkuh kesejahteraan bersama. Sialnya, di tangan kapitalis dan industrialis, teknologi berubah menjadi instrumen eksploitatif. Di tangan politikus, teknologi juga bisa menjadi alat propaganda dan hoaks.
Di tangan seniman, teknologi dijadikan media seni untuk menyingkap selubung-selubung palsu tersebut. Itu karena pula teknologi bertransformasi menjadi kekuatan yang menggerakkan tubuh dan kesadaran manusia mengingkari tujuan semula.
Hari ini teknologi mewujud sebagai komputer, sistem internet, dan peranti teknologi kecerdasan buatan lainnya. Manusia diselubunginya rapat-rapat hingga hilang rasa kemanusiaannya. Diselubunginya dengan hangat dan mesra hingga tak kuasa lagi menghiraukan sesamanya.
Demikianlah, Direktur Artistik Agung Hujatnikajennong berusaha menangkap dan menyingkap selubung-selubung palsu teknologi melalui Pameran Instrumenta#2 Machine/Magic (Mesin/Magi) di Galeri Nasional Indonesia.
Pameran ini digelar pada 23 Oktober hingga 19 November 2019. Karya-karya seni media dihadirkan dari 21 seniman dan kolektif seniman Tanah Air.
Ditambah karya-karya tujuh seniman dari sejumlah negara, meliputi Hayashi Chiho dan Mei Homma, keduanya dari Tokyo, Jepang. Marjan Verstappen dari Christchurch, Selandia Baru. Nur Amira Hanafi dari Perak, Malaysia. Skawennati dari Toronto, Kanada. Stelarc dari Melbourne, Australia. Juga Vvzela Kook dari Hong Kong.
Di tangan seniman, teknologi dijadikan media seni untuk menyingkap selubung-selubung palsu.
Deretan seniman Tanah Air itu di antaranya Abshar Platisza, Benny Wicaksono, seniman kolektif Cut and Rescue, Duta Hardono X TROMARAMA, Dwiky KA, Etza Meisyara, Farhanaz Rupaidha, Irene Agrivina, KULTse, Monica Hapsari, Nindya Nareswari X Maulana Ahmad, Nurrachmat Widyasena, ORCYWORLD/Gilang Anom Manapu Manik, Rega Rahman X Bandu Darmawan, Rianti Gautama, Riar Rizaldi, Rudi Hendriatno, dan Tontey & The Krazy Kosmic Konspiracy.
Agung Hujatnikajennong merangkap sebagai kurator bersama tiga orang lainnya, yaitu Bayu Genia Krishbie, Bob Edrian, dan Gesyada Siregar.
Memang tidak semua karya bisa ditautkan dengan esensi kuratorial yang ingin menyingkap teknologi sebagai selubung palsu. Sebab, pameran seni media ini juga ingin menghubungkan ekspresi dengan fenomena artistik meluas yang ditemui sebagai karya fiksi ilmiah di dalam komik, novel, animasi, dan sebagainya.
Beberapa karya yang dipamerkan bisa kita simak.
Cuping
Adalah seniman Stelarc dari Melbourne, Australia. Pria yang berumur senja itu di sepanjang karier kesenimanannya kerap mengembangkan eksperimen seni media teknologi dengan media tubuhnya sendiri.
Keikutsertaannya di Instrumenta#2 kali ini dengan menampilkan foto dan video beberapa karya yang sudah diciptakan. Satu di antaranya, Stelarc mencangkokkan sel daun telinga atau cuping ke bawah lapisan kulit di lengan tangan kirinya.
Di sebuah foto, Stelarc tampak seolah membisikkan sesuatu ke telinga yang berada di lengan tangannya itu. Penonton digugah untuk memberi makna. ”Eksperimen seni media Stelarc itu dilakukan pada tahun 2006. Sampai sekarang cuping telinga di lengan tangannya masih ada,” ujar kurator Bob Edrian.
Telinga di lengan tangan mudah dibisiki oleh mulut orang yang bersangkutan. Sewaktu-waktu cuping telinga itu bisa didekatkan, bahkan dilekatkan ke mulut untuk mendengarkan sesuatu dari mulutnya sendiri.
Melalui teknologi pencangkokan sel daun telinga itu, Stelarc berbicara tentang persoalan keseharian. Telinga kita sering tidak betul-betul digunakan untuk mendengarkan.
Bahkan, kerap kita mengalihkan telinga untuk mempercantik diri dengan menambahkan anting perhiasan. Kemudian abai terhadap persoalan telinga untuk benar-benar mendengarkan segala hal yang perlu didengarkan baik-baik.
Foto dan video lainnya menunjukkan rentang karya Stelarc selama bertahun-tahun. Stelarc menggunakan tubuhnya sebagai media karya yang dihubungkan teknologi untuk menyampaikan pesan kritis.
Telinga kita sering tidak betul-betul digunakan untuk mendengarkan.
Hayashi Chiho dari Tokyo, Jepang, menampilkan patung dan video karya berjudul ”Artificial Lover & True Love” (Pencinta Artifisial dan Cinta Sejati). Ia menempatkan sebuah patung pria yang dilengkapi kabel-kabel untuk menunjukkan kesan robotiknya.
Layar dari pemutaran proyektor mempertontonkan seorang gadis sedang membuat keramik di kursi putar. Patung pria itu ada di belakang gadis tersebut.
Sambil membentuk tanah liat dan memutar kursi putarnya, sesekali gadis itu mencium mulut patung pria itu. Berulang kali gadis itu merapatkan pelukan tangan patung pria itu pula seraya sibuk membentuk onggokan tanah liat yang berputar-putar.
Ini mempertontonkan kemiripan adegan di dalam film Ghost (1990) dengan bintang film Demi Moore. Namun, di balik itu, Hayashi Chiho ingin menunjukkan betapa kuasanya robot yang mampu mengajarkan sesuatu kepada manusia.
Manusia akhirnya tunduk pada kuasa teknologi robot itu. Parahnya lagi, manusia jatuh cinta pada kuasa teknologi tersebut.
Teknologi robot akhirnya menjadi pencinta artifisial dan memperoleh sambutan mesra manusia. Cinta manusia dikalahkan robot. Cinta manusia tak diperlukan lagi. Hayashi pun mempertanyakan perihal cinta sejati dari sesamanya, manusia.
Imajinasi penulis
Dari seniman Tanah Air, Bob Edrian menunjukkan karya Dwiky KA dari Surabaya berjudul ”X-Spider Punx”. Sebuah instalasi robot tank laba-laba berkaki empat yang dikendalikan seorang bocah kecil dipajang menjadi lorong pintu masuk Galeri Nasional.
Karya ini merupakan respons dari imajinasi seorang penulis, yaitu Djoko Lelono, di dalam karya novel fiksi ilmiahnya yang berjudul Getaran (1972). Djoko Lelono mengisahkan seorang bocah bernama Prim.
”Suatu ketika, Prim terbentur kepalanya. Bocah itu kemudian menjadi pintar luar biasa,” kata Bob.
Prim itulah yang digambarkan Dwiky sebagai pengendali tank laba-laba berkaki empat. Tank itu bisa merayap di segala medan pertempuran, termasuk memanjat dinding bangunan demi menghancurkan lawan.
”Semula, instalasi ini dirancang untuk dipajang di atas genteng gedung pameran,” ujar Bob.
Dwiky membingkai imajinasi penulis novel itu sebagai suatu keadaan modifikasi manusia kini yang ingin dibentuk kegeniusannya secara dini. Manusia menjadi bangga dengan anak ajaib (prodigy).
Karya seniman Rega Rahman berkolaborasi dengan Bandu Darmawan, keduanya asal Bandung, berkisah tentang teknologi Biro Pendeteksian Luar Nalar. Karya mereka terinspirasi narasi seorang seniman Sudjana Kerton, yang mengaku dua kali pernah diculik makhluk angkasa luar atau alien.
Penculikan banyak terjadi dan dilakukan penguasa ketika ambisi dan kekuasaannya diusik.
Mereka menaruh banyak lembaran tulisan berita berjudul Orang Indonesia Diculik Alien? Di situ ada dua foto Sudjana Kerton dan dua gambar ilustrasi di sebaliknya.
Kutipan kedua foto di halaman muka itu, ”Sudjana Kerton menunjukkan hasil cetakan pijakan alien yang menculiknya”. Kemudian, ”Sudjana Kerton saat tahun 1948”.
Rega dan Bandu merancang sebuah aplikasi gawai. Ketika kamera gawai itu diarahkan ke kedua foto itu, maka wajah Sudjana Kerton menghilang.
Tentu ini sebagai metafora. Metafora yang mengunggah kemampuan teknologi di masa mendatang untuk bisa mendeteksi kejadian penculikan di luar nalar.
Penculikan oleh alien tentu juga dimaknai sebagai sebuah metafora. Pada kenyataannya, penculikan banyak terjadi dan dilakukan penguasa ketika ambisi dan kekuasaannya diusik.