Sejumlah putusan peninjauan kembali di Mahkamah Agung yang meringankan terpidana korupsi dikhawatirkan mencederai kepercayaan publik dalam upaya pemberantasan korupsi.
JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah putusan kasasi dan peninjauan kembali Mahkamah Agung yang mengurangi hukuman para terpidana korupsi dikhawatirkan dapat mencederai kepercayaan publik dalam upaya pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, diperlukan persamaan persepsi di antara aparat penegak hukum untuk menjalankan upaya pemberantasan korupsi tersebut.
Saat dihubungi di Jakarta, Minggu (3/11/2019), Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo, menyatakan, persamaan persepsi dalam memberantas korupsi memang diperlukan. ”Semua aparat penegak hukum wajib berkomitmen menegakkan pemberantasan korupsi. Kalau memang terpidana melakukan kasasi di MA ataupun PK, mestinya sikapnya seperti MA pada zaman Pak Artidjo (Artidjo Alkostar),” ujar Agus.
Semasa menjadi hakim agung, Artidjo yang pernah menjabat sebagai ketua Kamar Pidana MA dikenal sebagai hakim agung yang jarang meringankan hukuman terdakwa korupsi. Ia cenderung memperberat hukuman mereka. Ia memasuki masa purnabakti pada Mei 2018.
Semua aparat penegak hukum wajib berkomitmen menegakkan pemberantasan korupsi.
Kondisi tersebut sedikit berbeda saat ini. Beberapa kali, MA menjatuhkan putusan yang lebih ringan terhadap para terdakwa korupsi. Yang terakhir, Jumat (1/11/2019), MA dalam putusan PK mengurangi hukuman mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, M Sanusi, dari 10 tahun penjara menjadi 7 tahun penjara.
Putusan PK ini sama dengan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Sanusi terbukti menerima suap terkait pembahasan rancangan peraturan daerah tentang kawasan reklamasi di Jakarta Utara yang melibatkan mantan pemimpin Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja.
Sebelumnya, majelis kasasi MA juga melepaskan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung dari segala tuntutan. Meski diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda), MA membenarkan terjadinya perbuatan yang didakwakan, tetapi bukan masuk ranah pidana. Sebelumnya, Syafruddin dihukum 13 tahun karena dinilai merugikan negara Rp 4,58 triliun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuidasi Bank Indonesia kepada Bank Dagang Nasional Indonesia.
Ada juga mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman yang hukumannya dikurangi MA. Sementara itu, berdasarkan data Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hingga Oktober 2019, tercatat 37 terpidana korupsi mengajukan permohonan PK melalui PN Jakarta Pusat. Dari jumlah itu, ada dua orang yang diputus tahun ini, yakni Zulkarnaen Jabar dan Dendy Prasetia. Keduanya adalah terpidana kasus korupsi pengadaan Al Quran.
Preseden buruk
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, putusan yang meringankan terpidana korupsi dikhawatirkan dapat menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi. Terlebih lagi, putusan ringan pengadilan itu bukan hanya sekali terjadi, melainkan beberapa kali dan menunjukkan tren penurunan.
Jangan sampai, apa yang menjadi pertanyaan di benak publik itu benar adanya.
”Putusan ringan di MA agaknya dipengaruhi oleh pergeseran paradigma, yakni tidak lagi menganggap korupsi sebagai kejahatan luar biasa, tetapi kejahatan biasa. Hal ini salah satunya ditandai kemudian dengan revisi UU KPK baru-baru ini,” ujarnya.
Pengajar hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan, menambahkan, pertanyaan soal kecenderungan pengurangan hukuman terhadap koruptor mesti direspons hati-hati oleh MA. ”Jangan sampai, apa yang menjadi pertanyaan di benak publik itu benar adanya,” katanya.
Menurut Agustinus, jika putusan MA disampaikan dengan argumentasi jelas, bernas, dan bisa dipertanggungjawabkan, hal itu akan bisa dipahami publik. Namun, acap kali, informasi soal argumentasi putusan itu kurang memadai karena putusan tidak segera diunggah ke publik dalam waktu cepat. Publik kerap hanya menerima putusan ”kabul” dan ”tolak”, tetapi argumentasi putusannya secara lengkap tak segera dipublikasikan. Inilah berpotensi memicu pertanyaan publik.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menegaskan, hakim agung di MA sebenarnya sudah bekerja secara profesional. Hakim MA juga telah melaksanakan tugasnya dalam penegakan hukum dan memberikan keadilan pada pencari keadilan.
”Baik putusan kasasi maupun PK yang menjadi tugas, pokok, dan fungsi MA telah melalui proses dan pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta di persidangan. Sebagai lembaga peradilan tertinggi, MA sama sekali tidak ada pikiran untuk melemahkan pemberantasan korupsi,” kata Andi Samsan.
Namun, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengingatkan putusan MA yang beberapa kali menurunkan jumlah hukuman, tentu akan menjadi perhatian publik. ”Dalam penanganan kasus korupsi, masyarakat yang menjadi korban korupsi tentu berharap putusan hukum tersebut (seharusnya) tidak kompromi dengan pelaku korupsi,” kata Febri.