Tambang Minyak Ilegal dalam Tahura Senami Kian Masif
›
Tambang Minyak Ilegal dalam...
Iklan
Tambang Minyak Ilegal dalam Tahura Senami Kian Masif
Aktivitas tambang minyak ilegal kian masif merambah Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin di Kabupaten Batanghari, Jambi. Bahkan, areal rambahan aktivitas itu telah meluas tiga kali lipat dalam enam bulan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
BATANGHARI, KOMPAS — Aktivitas tambang minyak ilegal kian masif merambah Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin atau Tahura Senami di Kabupaten Batanghari, Jambi. Bahkan, areal rambahan aktivitas itu telah meluas tiga kali lipat dalam enam bulan terakhir.
Temuan itu didapatkan Kompas saat mengikuti pantauan udara bersama tim Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sabtu (3/11/2019).
Hampir 2.000 sumur tambang liar masih aktif beroperasi. Tak hanya ilegal, tambang minyak juga mencemari sepanjang salah satu anak sungai yang bermuara ke Sungai Batanghari.
Air anak sungai berwarna cokelat pekat dan berminyak. Ratusan tanaman karet, sawit, dan vegetasi hutan dalam tahura ikut mati. Kehidupan satwa liar pun lenyap akibat lingkungan yang tercemar. Dinas Kesehatan Batanghari pun telah menemukan lonjakan kasus infeksi kulit atau dermatitis contact sejak 2018. Terdata kasus dermatitis contact mencapai 177 orang tahun 2018, dari tahun sebelumnya 110 orang.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batanghari, Parlaungan, mengatakan, areal tambang liar dalam tahura awal tahun ini berkisar 50-100 hektar, tetapi sekarang sudah 250-an hektar.
Pemerintah pusat dan provinsi telah membentuk tim terpadu untuk menghentikan praktik itu, sekaligus mencarikan jalan keluar bagi para pekerja tambang. Namun, realiasi di lapangan belum optimal. ”Sebetulnya kalau operasi dan sosialisasi bisa terpadu dan intensif, pasti (aktivitas tambang liar) cepat tutup. Namun, di lapangan ini belum berjalan,” katanya.
Tambang liar marak tiga tahun terakhir di Desa Pompa Air dan Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari. Aktivitas itu bahkan mengokupasi wilayah kerja pertambangan PT Pertamina (Persero) dalam kawasan tahura, yang produksinya dikerjakan PT Prakarsa Betung Meruo Senami (PBMS).
Tim terpadu telah mengultimatum petambang untuk meninggalkan lokasi itu paling lambat 1 Oktober 2019. Spanduk larangan dipasang pada sejumlah titik strategis dalam hutan tersebut. Kenyatannya, hingga hari ini praktik liar itu masih leluasa berjalan.
Sejak awal Oktober, pihaknya tiga kali melakukan operasi gabungan bersama petugas perusahaan. Sekitar 100 sumur dari 1.500-an sumur pengeboran minyak ilegal di sana telah dirusak.
Begitu pula mesin dan perlengkapan tambang dibenamkan ke lumpur agar pekerja tambang tidak bisa lagi beraktivitas. Pada operasi ketiga, petugas malah diintimidasi petambang.
Juru bicara PT PBMS, Sugeng, mengatakan, sejak September sudah gencar dilakukan sosialisasi oleh tim terpadu. Namun, sosialisasi itu hanya ditujukan pada kalangan pekerja di lapangan. Sementara pemodalnya tidak pernah tersentuh.
Itu sebabnya tambang minyak ilegal sulit diberantas. ”Selama pemodalnya belum hengkang, para pekerja akan tetap nekat,” katanya.
Selama pemodalnya belum hengkang, para pekerja akan tetap nekat.
Pihaknya berulang-ulang menutup sumur-sumur ilegal, tetapi dibuka kembali oleh pekerja tambang. Sejak Oktober, sudah hampir 200 sumur tambang ditutup. Beberapa di antaranya telah dibuka kembali. ”Para pekerja tambang itu berani terang-terangan membuka kembali karena dibekingi oknum (aparat),” lanjutnya.
Sebanyak 87 unit sumur liar yang ditutup oleh tim terpadu juga kembali dibuka 31 sumur oleh para pekerja tambang.
Praktik tambang itu berlangsung terorganisasi. Ada klaim dan jual beli lahan untuk pembukaan sumur bor dalam kawasan hutan negara. Hasil tambang minyak diangkut menuju tempat-tempat pengolahan. Tak satu pun yang berizin.
Menurut Sugeng, dalam sehari diperkirakan 1.400 truk dan pikap mengangkut hasil tambang liar dari Desa Pompa Air dan Bungku. Lebih dari 8.000 pekerja terlibat sebagai pengebor, petambang, ataupun pengumpul minyak limbah sisa tambang dengan penghasilan beragam, mulai dari Rp 300.000 hingga Rp 3 juta per hari. Nilai pungutan liar yang mengucur dari kendaraan angkut lebih dari Rp 100 juta per hari.
Public Relation and Government Relation and Assistant Manager Pertamina EP Asset I Jambi, Andrew, mengatakan, penutupan tambang minyak liar membutuhkan dukungan pemerintah pusat. Pihaknya telah melaporkan dan meminta bantuan dari berbagai kementerian dan satuan kerja terkait untuk mengatasi persoalan itu.
Ledakan di lokasi tambang dan penyulingan minyak ilegal kerap menelan korban tewas. Warga sekitar pun mengeluhkan air sumur mereka yang tercemar limbah.
Dari sisi dampak kesehatan, terjadi lonjakan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan infeksi kulit. Temuan ISPA di Desa Pompa Air, misalnya, naik hampir 300 persen. Lonjakan tersebut belum pernah terjadi sebelumnya.