Revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mendesak dilakukan untuk memastikan dilindunginya hak memilih dan dipilih warga negara.
Oleh
Ingki Rinaldi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mendesak dilakukan untuk memastikan dilindunginya hak memilih dan dipilih warga negara. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan syarat penggunaan KTP elektronik untuk dukungan sebagai calon perseorangan ataupun terdaftar sebagai pemilih.
Komisioner KPU Viryan Azis, Senin (4/11/2019), di Jakarta, mengatakan bahwa syarat tersebut ada di dalam Pasal 200A UU No 10/2016 tentang Pilkada. Pada poin keempat pasal tersebut dituliskan: ”Syarat dukungan calon perseorangan maupun sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih menggunakan Kartu Tanda Penduduk Elektronik terhitung sejak bulan Januari 2019”.
Selain itu, pada poin ketiga pasal yang sama disebutkan aturan mengenai batas penggunaan surat keterangan sementara sebagai syarat dukungan calon perseorangan maupun sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih. Surat keterangan sementara itu disebutkan bisa digunakan paling lambat hingga Desember 2018.
Aturan tersebut, imbuh Viryan, mengandung makna bahwa setelah Desember 2018 pengaturan administrasi pemilih dan calon perseorangan mesti menggunakan KTP elektronik. Hal ini dilakukan karena berdasarkan perhitungan, proses pengadaan KTP elektronik telah dapat diselesaikan seratus persen pada Desember 2018. ”Ini, kan, nyatanya tidak,” sebut Viryan.
Ia menyebutkan, berdasarkan kondisi faktual saat ini, pengadaan KTP elektronik belum tersebar seratus persen di seluruh Indonesia. Sebagian di antaranya bahkan cenderung masih berkutat pada isu perekaman data elektronik, alih-alih pencetakan KTP elektronik sebagai syarat sebagai pemilih dan dukungan bagi calon perseorangan tadi.
Menurut Viryan, hal tersebut bisa menjadi masalah. Hal ini diperkirakan bakal terjadi pada calon perseorangan yang membutuhkan dukungan warga dan dinyatakan lewat KTP elektronik serta pendaftaran pemilih.
”Maka menjadi mendesak revisi terbatas UU pemilihan (UU Pilkada) untuk menyelamatkan hak pilih warga negara,” sebut Viryan.
Terkait hal tersebut, Viryan mengatakan, sebagian anggota Komisi II DPR sudah membawa isu tersebut dalam pembahasan di sela-sela rapat dengar pendapat yang diselenggarakan Senin itu. Ini dilakukan sembari membahas rancangan PKPU (Peraturan KPU) Pencalonan dan PKPU Pembentukan Badan Ad Hoc Tata Kerja Panitia PPK, PPS, dan KPPS.
Viryan menambahkan, salah satu isu yang mencuat dalam pembahasan terkait PKPU Pencalonan adalah larangan bagi bekas narapidana koruptor untuk mencalonkan diri. Ia mengatakan hal itu sebagai bentuk komitmen dan konsistensi KPU terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Menurut Viryan, draf yang sebelumnya telah disampaikan pula pada rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR periode sebelumnya itu, idealnya dimasukkan pula ke dalam revisi terbatas UU Pilkada. Hal tersebut dinilai akan membuat dasar aturannya menjadi lebih kokoh.
Komitmen parpol
Larangan serupa bagi eks narapidana koruptor untuk mencalonkan diri pada pemilu serentak 2019 muncul dalam PKPU Nomor 20/2018. Aturan itu lantas dibatalkan Mahkamah Agung. Namun, menurut Viryan, secara prinsip para pemimpin partai politik sepakat dengan hal tersebut dan terkonfirmasi dengan tidak adanya calon anggota DPR yang merupakan narapidana eks koruptor.
”Tinggal komitmen parpol ini pada tingkat apa, maka alternatifnya muncul dalam rancangan PKPU,” ujar Viryan.
Hal lain yang juga muncul dalam pembahasan tersebut ialah pembatasan usia petugas pemilu. Dari semula rentang usia 17 tahun-60 tahun menjadi antara 20 tahun dan 45 tahun.
Viryan mengatakan bahwa KPU tidak mempersoalkan usulan mengenai sejumlah alternatif terkait ambang batas usia petugas terkait. Ia menilai ambang batas usia maksimum memang dibutuhkan menyusul sebagaian petugas pemilu yang wafat pada pelaksanaan Pemilu 2019 telah berusia lanjut.
”Walaupun tidak semuanya,” sebut Viryan.
Akan tetapi, imbuh Viryan, KPU berharap batas usia minimal petugas pemilu di lapangan tetap 17 tahun. Hal ini dinilai penting sebagai bentuk partisipasi politik bagi anak-anak muda agar melek politik pemilu sejak dini.
Kepastian hukum
Anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin saat dihubungi pada hari yang sama mengatakan, revisi UU Pilkada terkait poin penggunaan KTP elektronik berhubungan dengan kepastian hukum bagi penyelenggara, peserta, dan pemilih.
Ia menyatakan bahwa penggunaan surat keterangan untuk memilih dan persyaratan dukungan pasangan calon independen merupakan sesuatu yang sah dan legal. ”Punya dasar hukum yang kuat sehingga tidak menjadi persoalan dan dipersoalkan,” sebut Zulfikar.
Ia menambahkan, revisi UU Pilkada harus didorong agar masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun ini agar segera dibahas Komisi II. Terkait dengan waktu yang mendesak, ia mengatakan bahwa DPR meminta agar pemerintah yang menyiapkan naskah akademik dan draf RUU revisi dimaksud. Ini dengan catatan sudah terjadi kesepahaman antara DPR dan pemerintah mengenai norma yang harus direvisi.
Adapun mengenai rentang usia bagi petugas pemilu di lapangan, Zulfikar mengatakan diperlukan pedoman pasti bagi penyelenggara pemilu. Hal ini terkait dengan batas usia minimum dan maksimum dari seorang warga negara dewasa yang boleh menjadi bagian dari penyelenggara pemilu.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.