Potensi berlanjutnya perlambatan ekonomi dunia hingga tahun depan turut mengerek potensi pengetatan likuiditas nasional.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Potensi berlanjutnya perlambatan ekonomi dunia hingga tahun depan turut mengerek potensi pengetatan likuiditas nasional. Jika ini terjadi, kebijakan pelonggaran makroprudensial sekalipun akan sulit mengerek pertumbuhan konsumsi sebagai penopang pertumbuhan ekonomi nasional.
Hal tersebut menjadi bahasan utama dalam diskusi bertema ”Keketatan Likuiditas dan NPL Ancam Perbankan Nasional”, di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (4/11/2019).
Ekonom senior sekaligus Komisaris Independen PT Bank Central Asia Tbk Raden Pardede menilai, stimulus pelonggaran kebijakan yang telah dilakukan Bank Indonesia (BI) belum begitu berdampak terhadap permintaan kredit perbankan.
Hal tersebut tecermin dari penyaluran kredit yang masih berada di bawah 9 persen hingga September 2019. Padahal, pertumbuhan kredit menjadi indikator kuat untuk menggambarkan kondisi pertumbuhan konsumsi masyarakat.
”BI sudah lakukan pelonggaran makroprudensial mulai dari menurunkan suku bunga acuan hingga LTV untuk ringankan kredit perumahan, tetapi sejauh ini belum terlihat peningkatan pertumbuhan kredit,” kata Raden.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan tumbuh melambat di September 2019. Kredit perbankan tercatat hanya tumbuh 7,89 persen dibandingkan dengan posisi September 2018. Posisi ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahunan pada Agustus 2019 sebesar 8,59 persen.
Penyaluran kredit terhambat akibat mengetatnya likuiditas perbankan yang tercermin pada tingginya loan to depocit ratio (LDR). Data OJK menunjukkan LDR bank umum pada Agustus tahun ini berada pada level 94,66 persen, 87 basis poin lebih tinggi dari periode yang sama setahun lalu yakni 93,79 persen.
”Kemampuan kita untuk menyalurkan kredit ke depan bergantung pada kemampuan mendapatkan deposit," ujar Raden
Kondisi ini menunjukkan relaksasi kebijakan moneter yang empat kali dilakukan Bank Indonesia melalui pemangkasan suku bunga acuan belum berdampak. Alhasil membuat kemampuan perbankan mengucurkan deposito menjadi sangat bergantung pada hasil pendapatan deposito.
Beban infrastruktur
Menurut Raden, perlambatan ekonomi global cukup berdampak terhadap ekonomi Indonesia. Potensi berlanjutnya masalah perlambatan ekonomi pada 2020 membuat perbankan memerlukan restrukturisasi, salah satunya dengan mengurangi beban perbankan dalam membiayai infrastruktur.
Di tempat yang sama, Wakil Ketua Umum V Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) La Ode Saiful Akbar mengatakan, banyaknya pembayaran proyek yang tersendat meningkatkan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL).
Data Gapensi menunjukkan, dalam tiga bulan terakhir sejak Agustus 2019, NPL sektor konstruksi mengalami kenaikan dari 2,5 persen menjadi 2,6 persen.
”Kami pengusaha swasta yang meminjam ke bank, pembayaran jadi lambat, berdampak pada NPL,” ujarnya.
Potensi berlanjutnya masalah perlambatan ekonomi pada 2020 membuat perbankan memerlukan restrukturisasi.
La Ode mengakui pemerintah menggencarkan proyek infrastuktur yang bisa menggenjot industri konstruksi. Sayangnya, proyek infrastruktur yang gencar digenjot pemerintah rata-rata memiliki nilai proyek di atas Rp 100 miliar sehingga minim melibatkan pengusaha swasta.
”Ada satu masalah yang jadi fundamental di konstruksi, problemnya adalah pekerjaan konstruksi itu dikuasai BUMN, tidak dicapai pengusaha-pengusaha swasta,” ujar La Ode.
Optimistis
Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan optimistis kondisi likuiditas global akan membaik pada 2020. Keyakinan ini berdasarkan pada tren rendahnya suku bunga global seiring kebijakan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, memangkas suku bunga acuan.
”Untuk sementara ini tidak ada ancaman kenaikan suku bunga global tajam yang akan memperketat likuiditas global,” kata Fauzi.
Kondisi tersebut membuat investor global akan melirik negara dengan imbal hasil yang lebih tinggi. Suku bunga negatif di beberapa negara, lanjut Fauzi, akan membuat dana investor global tertarik ke negara yang suku bunganya masih tinggi, termasuk Indonesia.
Mengacu data Indikator Likuiditas LPS, pada Oktober, LDR perbankan berada di level 94 persen. Sepanjang tahun ini LPS memproyeksikan LDR di level 96,8 persen dengan pertumbuhan kredit 11,7 persen.