Hindari Pemicu Kerusuhan
”Integrasi Papua ke Indonesia itu ibarat perkawinan paksa. Meski tidak cinta, lama-lama, ya, cinta juga. Akan tetapi, kok, tetap curiga …tidur bersama, tetapi simpan pistol di bawah bantal”. Analogi suami-istri ini dipakai mantan anggota DPR dari Papua, Simon Patrick Morin, untuk menggambarkan relasi warga Papua dengan Pemerintah Indonesia dalam sebuah diskusi soal Papua.
Demonstrasi di Papua merupakan respons atas pengepungan yang dilakukan anggota ormas terhadap asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya, Jawa Timur, 16 Agustus 2019. Mereka memadati halaman depan asrama sejak siang hingga malam karena menganggap ada mahasiswa merusak bendera Merah Putih.
Saat itu, jelang HUT ke-74 RI, dipasang banyak bendera Merah Putih. Para anggota ormas melakukan persekusi dan umpatan bernada rasis terhadap penghuni asrama.
Esok harinya, kabar penyerbuan dan umpatan rasis itu menyebar ke berbagai elemen mahasiswa dan masyarakat Papua serta Papua Barat, khususnya melalui media sosial. Isi medsos di Papua dipenuhi berita persekusi mahasiswa. Publik Papua gelisah dan disikapi mahasiswa dengan rencana aksi. Dua hari kemudian, 19 Agustus 2019, unjuk rasa terbesar terjadi di Bumi Cenderawasih.
Demonstrasi pertama terjadi serempak pada 19 Agustus di Jayapura, Papua, dan Manokwari serta Sorong di Papua Barat. Puluhan ribu orang asli Papua (OAP) turun ke jalan sambal meneriakkan kecaman atas persekusi dan rasisme.
Jakarta terkaget-kaget, apalagi Surabaya. Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa segera menelepon Gubernur Papua Lukas Enembe untuk meminta maaf. Presiden Joko Widodo pun angkat bicara. ”Saya minta masyarakat tenang, tak melakukan tindakan anarkistis. Kita semua akan rugi jika ada fasilitas umum, fasilitas publik, fasilitas masyarakat rusak,” kata Presiden, Kamis (29/8/2019).
Kecuali para pengamat Papua dan warga Papua, hampir tak ada yang mengira peristiwa asrama mahasiswa bisa memicu kemarahan massal di Papua. Yang diketahui umumnya adalah di Papua sedang ada operasi keamanan TNI-Polri terhadap anggota kelompok kriminal bersenjata (KKB), yang terdiri dari beberapa kelompok berbeda. Namun, dengan masifnya demonstrasi masyarakat umum Papua, publik bertanya-tanya mengapa hal itu bisa terjadi.
Ternyata unjuk rasa berlanjut. Pada 28 Agustus 2019, giliran Kabupaten Deiyai dilanda unjuk rasa, yang memakan korban jiwa. Tuntutannya makin melebar, menuntut referendum Papua. Unjuk rasa paling parah dilakukan di Kabupaten Wamena, 23 September, yang ditandai pembakaran bangunan-bangunan dan memakan puluhan korban jiwa. Kasus Wamena bahkan memicu eksodus massal warga pendatang yang tinggal di Wamena.
Penegakan hukum yang dilakukan petugas kepolisian dan TNI berhasil meredam berbagai unjuk rasa itu. Meski demikian, konflik belum selesai. Korban warga sipil pendatang terus berjatuhan karena jadi sasaran kebencian OAP.
Penyebab kerusuhan
Kerusuhan tak melulu karena ujaran kebencian dan rasisme. Ada faktor laten dan faktor pemicu yang menumpuk sehingga meletuskan aksi massa dan kerusuhan. Faktor laten adalah problem-problem mendasar relasi Papua dan pemerintah pusat di Jakarta terutama dalam soal politik, ekonomi, dan pembangunan.
Hasil penelitian Tim Kajian Papua LIPI, yang dipublikasikan dalam Papua Road Map (2009), menunjukkan ada empat akar persoalan di Papua, yaitu diskriminasi dan marjinalisasi, kegagalan pembangunan, pelanggaran HAM, serta sejarah dan status politik.
Pemerintah dianggap masih parsial dalam menyelesaikan persoalan Papua melalui percepatan pembangunan di Papua. Hal ini diwujudkan dalam pembangunan infrastruktur dan konektivitas untuk Papua, seperti pembangunan jalan trans-Papua, sekolah, dan fasilitas kesehatan. Dalam pemikiran Jakarta (baca: pemerintah pusat), pemenuhan nilai kesejahteraan bagi orang Papua akan menyelesaikan konflik.
Persoalan HAM bukan berarti hanya persoalan kekerasan, melainkan juga persoalan tak terpenuhinya kebutuhan dasar, seperti kesehatan, yang bersinggungan dengan hak hidup orang Papua. Dengan kata lain, persoalan diskriminasi dan marjinalisasi ini tak hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga bersinggungan dengan aspek sosial, budaya, dan politik.
Isu lain yang masih akut di tanah Papua adalah rasa aman dan nyaman merawat budaya serta tradisi. Demonstrasi dan kerusuhan di beberapa kota di dua provinsi tersebut memberikan isyarat perlindungan negara terhadap kultur dan adat OAP belum efektif.
Aksi orang Papua di Mimika dan Jayapura serta di Provinsi Papua Barat di Fakfak, Manokwari, dan Sorong selama beberapa hari terasa janggal. Hal itu dinilai tak otentik mencerminkan kondisi di Papua Barat yang puluhan tahun lebih terpapar terhadap pendatang.
Pengamat politik, J Kristiadi, menganggap isu sentralnya bukan rasialisme, melainkan masifnya gelombang penetrasi dari luar yang membawa tradisi, adat istiadat, nilai-nilai eksklusif dan partikularistik, disertai pembangunan simbol-simbol yang melambangkan hegemoni mereka. Hal ini kian dirasakan mengancam eksistensi nilai-nilai budaya dan adat OAP.
Sejauh ini, isu laten belum pernah menyebabkan orang asli Papua di Papua dan Papua Barat sedemikian terorganisasi untuk menjadi satu kesatuan dalam menyuarakan tuntutan. Mereka semakin kuat karena unsur identitas agama, yang biasanya memecah di provinsi lain, di Papua tetap menyatukan alias sama-sama menyuarakan protes kepada pemerintah dan pendatang.
Jika diamati di media, faktor kondisi pemicu aktual seakan mengambil porsi besar dari kesadaran orang Papua. Faktor pemicu itu adalah kasus asrama mahasiswa, umpatan rasis aparat, dan tergeraknya kalangan pemuda/mahasiswa di Papua.
Namun, jika diamati lebih dalam berdasar kronologi waktu kejadian, tampak warga Papua saat sebelum Agustus berada dalam kondisi sensitif karena terjadi rentetan gesekan serius antara manuver KKB dengan operasi aparat keamanan. Tindakan petugas yang mengejar anggota KKB pada awal Desember 2018 setelah mereka membunuh 16 pekerja konstruksi menimbulkan tragedi dari kacamata OAP. Sayangnya, kondisi itu diberitakan secara mini oleh media di luar Papua.
Puncak kemarahan
Aparat gabungan TNI-Polri melakukan penyisiran dan pengejaran terhadap kelompok pimpinan Egianus Kogoya di sejumlah distrik di Kabupaten Nduga setelah mereka menewaskan 16 dari 31 pekerja proyek PT Istaka Karya. Penyerangan itu terjadi pada 1 Desember 2018.
Peristiwa itu membangkitkan reaksi keras dari Jakarta, yang diikuti dengan pengiriman pasukan dan operasi penyisiran anggota KKB. Dampak dari penyisiran itu sungguh berat bagi warga Papua, khususnya orang tua, perempuan, dan anak-anak. Gelombang pengungsian terjadi di sejumlah kabupaten, seperti Jayawijaya, Mimika, Asmat, Lanny Jaya, dan Yahukimo.
Total jumlah pengungsi yang dilaporkan Pemerintah Kabupaten Nduga mencapai 45.532 orang. Kementerian Sosial menyebut 53 pengungsi korban konflik Nduga di Papua meninggal pada periode Desember 2018 hingga Juli 2019. Mereka menyatakan pengungsi meninggal dengan berbagai sebab, seperti usia dan sakit (Cnn.indonesia, 30/7/2019).
Namun, informasi lain dari Tim Solidaritas untuk Nduga menyebut angka 139 orang meninggal. Informasi itu dibantah pejabat Kemensos.
Kondisi ribuan warga pegunungan Papua yang menderita karena operasi militer itu tentu membangkitkan emosi dan solidaritas warga Papua. Di tengah keseharian sebagian masyarakat Papua yang hidup subsisten dan kerap terancam, situasi itu menyebabkan setiap kemunculan isu baru menjadi ”batas titik kritis” yang rawan terbakar.
Pra-kondisi tersebut disulut dengan telak oleh peristiwa pengepungan asrama mahasiswa Papua di Jawa Timur dan berpotensi merembet ke mahasiswa Papua yang sedang belajar di Pulau Jawa. Padahal, bagi orang Papua, mahasiswa dipandang sebagai generasi masa depan yang akan ”menyelamatkan” peradaban Papua.
Gangguan terhadap mahasiswa adalah gangguan bagi cita-cita masa depan orang asli Papua. Tak ayal, unjuk rasa sebagai reaksi kasus asrama mahasiswa menjadi titik puncak kemarahan yang terpendam itu.
Pemerintah tampaknya memakai strategi ”lunak dalam pendekatan, tetapi teguh dalam prinsip”. Berbagai narasi dan ungkapan yang diucapkan pejabat pemerintah terhadap kerusuhan Papua terlihat sangat terkontrol dan tak berlebihan dibandingkan dengan kondisi sebenarnya.
Presiden Jokowi juga sudah berkunjung ke Pegunungan Arfat dan Kaimana di Papua Barat serta di Wamena dan Jayapura baru-baru ini. Langkah itu dilakukan Jokowi setelah sebulan sebelumnya mematangkan kesepakatan dengan kepala suku, pemuka adat, dan pemuka agama Papua yang diundang ke Istana Negara.
Di sisi lain, penempatan pos-pos keamanan yang masif, seperti di Wamena dan daerah lain, tetap dibaca sebagai pendekatan kekuatan keamanan dan senjata. Tekad pemerintah menutup ruang pembicaraan tentang upaya kedaulatan politik orang Papua membuat jarak sosial antara Papua dan non-Papua masih terbentang.
Sebuah pilihan sulit bagi pemerintah saat ini, mengajak warga Papua kembali menjadi saudara sebangsa di tengah tuntutan mereka yang kian bergejolak.... (Litbang Kompas)