JAKARTA, KOMPAS--Pemerintah jangan mengabaikan persoalan hulu minyak dan gas bumi di dalam negeri. Persoalan itu adalah produksi yang kian susut, sedangkan konsumsi terus meningkat.
Penemuan cadangan baru sangat penting dan mendesak. Optimalisasi pemanfaatan gas alam untuk menekan defisit perdagangan minyak dan gas bumi merupakan langkah tepat kendati bersifat jangka pendek.
"Kunci untuk mengurangi defisit perdagangan migas adalah meningkatkan produksi migas dalam negeri. Makanya, eksplorasi harus terus didorong sampai menemukan sumber cadangan baru," ujar Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, Senin (4/11/2019), di Jakarta.
Strategi pemerintah mengoptimalkan pemanfaatan gas alam untuk menekan defisit perdagangan migas, lanjut Komaidi, bisa dibilang tepat. Sebab, impor elpiji Indonesia menyumbang sekitar 40 persen dari defisit perdagangan migas. Sisanya berupa impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM).
"Pemanfaatan gas alam untuk rumah tangga sebagai pengganti impor elpiji sifatnya hanya jangka pendek. Solusi jangka panjang adalah menaikkan produksi migas di dalam negeri lewat eksplorasi untuk menemukan sumber cadangan baru," kata Komaidi.
Komaidi juga menyoroti sektor transportasi, selain industri, yang banyak mengonsumsi BBM. Kebijakan pencampuran biodiesel dalam solar membantu mengurangi defisit perdagangan migas Indonesia. Saat ini, pemerintah memberlakukan kebijakan pencampuran biodiesel 20 persen di dalam setiap liter solar atau yang dikenal sebagai kebijakan B20.
Neraca perdagangan Indonesia pada Januari-September 2019 defisit 1,945 miliar dollar AS. Surplus nonmigas 4,496 miliar dollar AS belum menutupi defisit perdagangan migas sebesar 6,441 miliar dollar AS.
Setiap hari, Indonesia harus mengimpor minyak mentah dan BBM sebanyak 700.000 barrel-800.000 barrel. Impor sebesar itu setengah dari konsumsi BBM nasional yang mencapai 1,5 juta barrel-1,6 juta barrel per hari. Adapun kemampuan produksi minyak dalam negeri saat ini kurang dari 800.000 barrel per hari.
Direktur Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) Nanang Abdul Manaf mengatakan, dari 128 cekungan hidrokarbon di Indonesia, masih ada 74 cekungan yang sama sekali belum diteliti dan diketahui potensinya. Sebagian besar cekungan hidrokarbon itu ada di Indonesia bagian timur dan terletak di perairan dalam. Dibutuhkan investasi besar dan teknologi tinggi untuk mencari sumber cadangan migas di wilayah seperti itu.
"Namun, secara teknis ada peluang untuk temuan cadangan baru. Terakhir kali ditemukan sumber cadangan besar adalah Lapangan Banyu Urip pada awal 2000-an," ujarnya.
Data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebutkan, produksi siap jual (lifting) minyak hingga September 2019 sebanyak 745.000 barrel per hari. Pencapaian itu di bawah target nasional yang sebesar 775.000 barrel per hari. Untuk mendorong peningkatan lifting minyak nasional, selain eksplorasi yang masif, adalah menerapkan metode pengurasang minyak tingkat lanjut.
"Strategi lain adalah mencegah laju penurunan produksi minyak lewat pengoptimalan kerja ulang, perawatan sumur, serta penggunaan teknologi yang efisien," kata Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dalam keterangan resmi. (APO)