Sumber-sumber Pertumbuhan Ekonomi Terkontraksi Cukup Dalam
Perekonomian Indonesia triwulan III-2019 tumbuh 5,02 persen, terendah dalam empat tahun terakhir. Hampir semua sumber pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi cukup dalam.
JAKARTA, KOMPAS — Perekonomian Indonesia triwulan III-2019 tumbuh 5,02 persen, terendah dalam empat tahun terakhir. Hampir semua sumber pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi cukup dalam.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Selasa (5/11/2019), pertumbuhan ekonomi triwulan III-2019 tumbuh 5,02 persen dibandingkan triwulan III-2018. Pertumbuhan ekonomi Juli-September 2019 ini terendah sejak triwulan III-2016 yang sebesar 5,03 persen.
Perekonomian RI tumbuh 5,07 persen pada triwulan I-2019 dan 5,05 persen pada triwulan II-2019. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun kalender 2019 sebesar 5,04 persen. Adapun produk domestik bruto (PDB) pada triwulan III-2019 sebesar Rp 4.067,8 triliun.
“Ketidakpastian perekonomian global berdampak ke semua negara. Dibandingkan dengan negara lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak terlalu curam,” kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers di Jakarta.
Suhariyanto mengatakan, struktur pertumbuhan PDB dari sisi pengeluaran tidak berubah. Akan tetapi, seluruh sumber pertumbuhan PDB cenderung melambat, kecuali konsumsi rumah tangga.
Struktur pertumbuhan PDB dari sisi pengeluaran tidak berubah. Akan tetapi, seluruh sumber pertumbuhan PDB cenderung melambat, kecuali konsumsi rumah tangga.
Pada triwulan III-2019, pertumbuhan investasi, ekspor, dan konsumsi pemerintah terkontraksi cukup dalam dibandingkan periode sama tahun 2018. Laju pertumbuhan investasi melambat dari 6,96 persen pada triwulan III-2018 menjadi 4,21 persen triwulan III-2019.
Pertumbuhan ekspor melambat dari 8,08 persen pada triwulan III-2018 menjadi 0,02 persen triwulan III-2019. Adapun konsumsi pemerintah melambat dari 6,27 persen pada triwulan III-2018 menjadi 0,98 persen triwulan III-2019.
Di dalam negeri, kata Suhariyanto, situasi politik berdampak signifikan terhadap kinerja investasi. Sikap menunggu dan melihat yang dilakukan investor tidak berhenti pasca-pelaksanaan Pemilihan Umum 2019. Investor menanti pengumuman kabinet baru sehingga tren pertumbuhan investasi sepanjang 2019 terus melemah.
“Situasi politik dalam negeri akan sangat memengaruhi kinerja investasi. Pada triwulan IV-2018, investasi diperkirakan kembali menguat,” ujar Suhariyanto.
Sementara itu, pertumbuhan konsumsi rumah tangga tidak mampu mengerek pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Konsumsi rumah tangga naik tipis dari 5 persen pada triwulan III-2018 menjadi 5,01 persen pada triwulan III-2019. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga dipengaruhi momentum Lebaran dan libur panjang, serta inflasi yang terjaga rendah.
Menurut Suhariyanto, ketidakpastian perang dagang Amerika Serikat (AS)-China juga menekan sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi lapangan kerja. Kinerja industri, pertanian, perdagangan, dan konstruksi pada triwulan III-2019 tumbuh melambat dibandingkan triwulan III-2018. Padahal, keempat sektor itu merupakan penyokong pertumbuhan ekonomi RI.
“Kontribusi sektor industri, pertanian, perdagangan, dan konstruksi mencapai 57 persen PDB. Semua sektor itu tumbuh melemah kendati masih positif,” ujar Suhariyanto.
Baca juga: Pebisnis Tetap Yakin di Tengah Proteksionisme Perdagangan
Tidak banyak pilihan
Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mengatakan, perang dagang AS-China masalah bagi Indonesia. Sebab, pemerintah tidak memiliki banyak pilihan untuk mendorong ekspor karena daya saing lemah. Peringkat Indonesia dalam Daya Saing Global 2019 merosot menjadi peringkat ke-50 dari 141 negara.
Di sisi lain, perang dagang AS-China juga menyebabkan pertumbuhan perdagangan global melambat yang berimbas ke perlemahan harga komoditas. Kondisi itu semakin menekan Indonesia karena ekspor unggulan masih komoditas mentah, terutama sawit dan batu bara. Kinerja ekspor hingga akhir tahun diperkirakan tumbuh negatif.
“Pemerintah jangan terlalu banyak blunder kebijakan jangka pendek yang kontraproduktif. Solusi jangka menengah akan menolong karena solusi jangka pendek tidak banyak,” ujar Febrio.
Pemerintah jangan terlalu banyak blunder kebijakan jangka pendek yang kontraproduktif. Solusi jangka menengah akan menolong karena solusi jangka pendek tidak banyak.
Dalam jangka menengah, lanjut Febrio, pemerintah tetap harus mendorong sektor perdagangan dan investasi sebagai motor penggerak perekonomian. Potensi pertumbuhan ekonomi harus ditingkatkan melalui perbaikan iklim usaha, relaksasi peraturan, pemangkasan birokrasi, serta penurunan biaya ekspor dan impor.
Pemerintah juga harus mengevaluasi pelaksanaan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS) yang terbukti gagal. Implementasi OSS sebaiknya diterapkan pada dua provinsi—misalnya, Jakarta dan Surabaya, untuk uji coba. Perbaikan perizinan harus melibatkan ekosistem di tingkat daerah supaya lebih efektif.
“Orientasi kebijakan bukan menumbuhkan perekonomian di atas 5 persen, tetapi meningkatkan potensi pertumbuhan ekonomi,” ujar Febrio.
Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Ryan Kiryanto berpendapat, perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik didominasi faktor eksternal. Selain perang dagang AS-China, risiko ekonomi juga bersumber dari ketidakpastian Brexit, harga komoditas yang jatuh, dan konflik geopolitik di sejumlah negara.
Di sisi lain, faktor internal yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi adalah perlemahan daya beli seiring jatuhnya harga komoditas, terutama tambang dan perkembunan. Pemerintah diharapkan mempercepat realisasi belanja untuk meningkatkan daya beli dan konsumsi agar pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2019 bisa tetap di atas 5 persen.
Baca juga : Bisnis Internasional Hadapi Era Deglobalisasi, Waspadai Kemunculan Blok AS dan China
Konsumsi dan daya beli
Persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini per Oktober 2019 melemah dari bulan sebelumnya. Pelemahan itu terjadi terutama karena penurunan Indeks Penghasilan dan Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja. Pelemahan itu melanjutkan tren pelemahan sebelumnya yang sempat tinggi pada Juni 2019.
Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) pada Oktober 2019 menunjukkan, Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini sebesar 104,8, turun dari September 2019 yang sebesar 107,5. Penurunan indeks terdalam terutama terjadi pada Indeks Penghasilan yang turun 3,8 poin dan Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja yang turun 2,5 poin dari bulan sebelumnya.
"Optimisme konsumen terhadap penghasilan saat ini dibandingkan 6 bulan lalu melemah. Konsumen juga semakin pesimistis terhadap ketersediaan lapangan kerja," kata Kepala Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa.
Optimisme konsumen terhadap penghasilan saat ini dibandingkan 6 bulan lalu melemah. Konsumen juga semakin pesimistis terhadap ketersediaan lapangan kerja.
BI mencatat, Indeks Penghasilan menurun dari 118,9 pada September 2019 menjadi 115,1 pada Oktober 2019. Penurunan indeks itu terutama terjadi pada kelompok responden dengan tingkat pengeluaran di atas Rp 5 juta per bulan.
Adapun Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja sudah semakin merosot di bawah ambang batas indeks atau di bawah 100. Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja pada Oktober 2019 sebesar 89,4 atau turun dari bulan sebelumnya yang sebesar 91,9. Penurunan indeks ini terutama terjadi pada responden dengan pendidikan Sarjana.
Hal itu sebenarnya terkait erat dengan ekspetasi konsumen terhadap perkembangan kegiatan usaha ke depan. Konsumen menilai kegiatan usaha ke depan tidak sekuat bulan sebelumnya.
Indeks Ekspetasi Kegiatan Usaha pada Oktober 2019 tercatat sebesar 130,8. Indeks itu turun dari bulan sebelumnya yang sebesar 137,1. Penurunan indeks terjadi pada responden kelompok pengeluaran Rp 1 juta-Rp 2 juta per bulan.
Survei tersebut juga memperlihatkan, rerata porsi pendapatan responden rumah tangga yang digunakan untuk konsumsi turun dari 68,8 persen pada September 2019 menjadi 68 persen pada Oktober 2019.
Sementara, porsi tabungan terhadap pendapatan meningkat dari 19,4 persen menjadi 19,8 persen. Porsi pembayaran cicilan pinjaman terhadap pendapatan naik dari 11,6 persen pada bulan sebelumnya menjadi 12,2 persen.
Porsi konsumsi terhadap pendapatan menurun pada seluruh kelomopok pengeluaran responden, terutama dengan pengeluaran Rp 3,1 juta-Rp 4 juta per bulan dan Rp 4,1 juta-Rp 5 juta per bulan.
Baca juga: Waspadai Pengetatan Likuiditas di 2020
Para responden rumah tangga itu akan mengutamakan menyimpan kelebihan pendapatan dalam 12 bulan mendatang dalam bentuk tabungan atau deposito, dan emas. Sementara preferensi responden di sektor properti menurun 1,5 persen. Sebanyak 65,7 persen responden menyatakan tidak mungkin atau tidak tahu membeli/membangun rumah.