PALEMBANG, KOMPAS - Seluas 161,476 hektar (63,1 persen) dari 255.904 hektar lahan yang terbakar di Sumatera Selatan adalah lahan gambut. Kerusakan lahan gambut secara masif menimbulkan bencana karena terjadi peningkatan emisi karbon dioksida yang berbahaya bagi lingkungan serta bencana banjir pada musim hujan.
Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumatera Selatan Ansori, Senin (4/11/2019), mengkhawatirkan makin kritisnya lahan gambut di Sumsel. Kebakaran di lahan gambut juga sulit dipadamkan. Sampai saat ini, delapan helikopter bom air dikerahkan untuk memadamkan api di sejumlah lokasi, seperti di Kecamatan Kayu Agung, Tanjung Lubuk, Lalan dan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Sebaran titik panas di Sumsel per 4 November 2019 ada 25 titik, 21 titik di antaranya di Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Masyarakat menilai, membakar bisa menambah pupuk bagi tanaman. Padahal, pengelolaan gambut tidak sama dengan pengelolaan tanah mineral.
Dosen Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Bambang Prayitno, memaparkan, sebagian besar kerusakan lahan gambut karena kebakaran lahan serta penerapan transmigrasi tanpa pembekalan pengelolaan lahan gambut. Petani transmigran yang kebanyakan dari Jawa dan Bali tidak dibekali cara mengelola lahan gambut. Mereka melakukan penanaman dengan cara membakar untuk tanaman pertanian ataupun perkebunan. Awalnya, tak ada dampak signifikan. Namun, hal ini mengikis lahan gambut.
”Masyarakat menilai, membakar bisa menambah pupuk bagi tanaman. Padahal, pengelolaan gambut tidak sama dengan pengelolaan tanah mineral. Yang terpenting tata kelola air. Bukan membakar seluas-luasnya,” ujar Bambang yang masuk Tim Ahli Badan Restorasi Gambut.
Di level korporasi, pemerintah memberi izin menanam komoditas yang tidak ramah gambut. Dari penelitian Bambang, kawasan gambut yang masih baik hanya di jalur 30-35 Sugihan kanan, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Namun, kawasan itu kini terancam perluasan plasma sawit. Untuk mengantisipasi kerusakan gambut lebih parah, pemerintah diharapkan memberikan sosialisasi kepada warga dan perusahaan, terutama soal tata kelola air di lahan gambut.
Kepala Seksi Observasi dan Informasi Stasiun Meteorologi Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang Bambang Beni Setiaji mengatakan, seiring adanya pusat tekanan rendah dan badai tropis Hatlong di Laut China Selatan, massa udara dingin dari Australia (Muson Australia) menguat. Potensi hujan minim karena lapisan udara atas kering dan berangin kencang sehingga menghambat pertumbuhan awan hujan di Sumsel.
Sementara itu, untuk antisipasi kebakaran lahan dan hutan 2020, Pemprov Kalimantan Tengah mendampingi masyarakat di desa dan kelurahan menjadi tim respons pertama saat kebakaran. Anggaran mencegah kebakaran ditambah melalui dana bagi hasil-dana reboisasi Rp 299,4 miliar.
Polisi menyidik 20 korporasi dengan luas lahan terbakar total 448 hektar dan 161 kasus perorangan, luas lahan terbakar 298 hektar.
Hal itu mengemuka dalam Rapat Evaluasi Kebakaran Hutan dan Lahan 2019 dan Antisipasi Kebakaran Hutan dan Lahan 2020 di Palangkaraya, Senin. Hadir dalam kegiatan itu, Direktur Pengendalian Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Raffles Brostestes Panjaitan dan Gubernur Kalteng Sugianto Sabran.
Dalam rapat terungkap data luas kebakaran hutan dan lahan 2019 yang berbeda. Data tim lapangan, luas lahan terbakar hanya 12.880 hektar, sedangkan data satelit 134.229 hektar. Data penegakan hukum Polda Kalteng didominasi tindakan hukum perorangan. Dari 181 kasus kebakaran yang ditangani, ada 101 tersangka perorangan dan tiga tersangka dari tiga perusahaan perkebunan. Polisi menyidik 20 korporasi dengan luas lahan terbakar total 448 hektar dan 161 kasus perorangan dengan luas lahan terbakar 298 hektar.