Mengembalikan Kejayaan Sagu Lingga
Pada abad ke-19, sagu pernah menjadi komoditas andalan di Lingga, Kepulauan Riau. Kala itu, pati sagu dijual sampai ke Tumasik atau Singapura, Johor, serta Pahang di Malaysia menggunakan sejumlah kapal niaga milik Kesultanan Riau-Lingga. Berkat sagu, Lingga pada masa itu bisa menikmati kemandirian pangan dan kemakmuran ekonomi.
Kini, semua itu tinggal cerita. Satu per satu tempat pengolahan sagu atau yang disebut warga setempat sebagai bangsal sagu berhenti beroperasi karena merugi. Tinggal tiga yang tersisa. Salah satunya adalah bangsal sagu milik keluarga Thian Seng yang terletak di hilir Sungai Tanda, Kampung Seranggung, Kelurahan Daik, Kecamatan Lingga.
Bangunan tua dengan dinding papan dan cerobong asap yang menghitam itu tinggal menyisakan empat pekerja yang tiga di antaranya sudah lanjut usia. Di sana, dari pagi buta hingga siang hari, para pekerja mengolah 20 karung atau sekitar 600 kilogram sagu basah menjadi tepung secara manual.
Sagu basah dimasukkan ke dalam wadah besar berisi air dan diaduk menggunakan tongkat kayu. Sagu cair itu lantas disalurkan melalui lintasan dari papan untuk memisahkan pati dari ampasnya yang disebut bidat. Pati yang didapat lalu diletakkan di ubin yang di bawahnya dipanaskan dengan kayu bakar.
Di tempat pengeringan, pekerja bergantian menjaga agar sagu tidak menggumpal saat dipanggang. Bongkahan-bongkahan sagu seukuran ibu jari dihancurkan menggunakan tangan. Setelah kering, sagu itu lalu diayak untuk menghasilkan tepung yang bersih dan halus sebelum akhirnya dikemas lalu dipasarkan.
Bangsal atau kilang sagu di hilir Sungai Tanda itu kini dikelola Awe (60) dan Ahui (51) yang merupakan generasi keempat. Dalam sebulan, mereka menjual 25 ton tepung sagu ke Tanjung Pinang untuk bahan baku pembuatan kue dan mi. Satu kilogram tepung sagu saat ini harganya Rp 6.000.
”Waktu dikelola generasi pertama dan kedua, pekerjanya ratusan orang Teochew dan Hokkian yang datang dari Tiongkok. Tepungnya dijual sampai Sumatera dan Jawa,” kata Ahui, Jumat (25/10/2019).
Namun, seiring waktu, usaha itu terus merosot. Dulu keluarga Thian Seng memiliki dua bangsal sagu, satu di hulu dan satu di hilir. Namun, bangsal sagu di hulu Sungai Tanda sudah tutup karena merugi. Pada 2018, bangsal sagu yang tersisa di hilir Sungai Tanda pun sempat berhenti produksi selama tujuh bulan karena kekurangan pasokan sagu basah.
Hambatan
Untuk mendapatkan sagu basah, bangsal-bangsal sagu di Lingga bergantung pada petani sagu di Desa Nerekeh, Panggak Laut, Musai, Merawang, serta beberapa desa lainnya di Kecamatan Lingga. Masalahnya, petani sagu kini jumlahnya semakin berkurang. Generasi muda kurang berminat meneruskan pekerjaan itu.
Salah satu petani sagu di Desa Nerekeh, Ahmad (45), mengatakan kesulitan mencari pekerja untuk membantunya memanen pohon sagu dan mengolah tual atau potongan batang sagu menjadi sagu basah. Padahal, permintaan selalu banyak dan harga sagu basah Rp 1.550 per kilogram dirasa sudah cukup tinggi.
”Lagi susah seperti ini, pemerintah malah mau nyetak sawah. Padahal, sudah jelas orang Melayu tak pandai bersawah, kami tak bisa nyangkul lama-lama,” ujar Ahmad.
Pada 2016, pemerintah daerah Lingga menargetkan mencetak 3.000 hektar sawah. Saat ini sebagian sawah yang baru dibuka di Nerekeh terbengkalai karena warga enggan meneruskan menanam padi setelah panen pertama hasilnya mengecewakan.
Menurut peneliti Balai Pelestarian Nilai dan Budaya Kepulauan Riau, Anastasia Wiwik Swastiwi, upaya penanaman padi juga pernah dilakukan di Kesultanan Riau-Lingga pada zaman Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883). Namun, hasilnya tidak memuaskan dan Sultan berpaling memperbanyak sagu.
Pertimbangan Sultan Sulaiman waktu itu adalah sagu terbukti mudah tumbuh subur di Lingga tanpa perawatan yang rumit. Selain itu, sagu diketahui telah sejak lama menjadi makanan pokok suku laut dan warga Lingga pada umumnya, seperti yang dikisahkan dalam cerita rakyat ”Sumpah Orang Barok” dan ”Asal Mula Kampung Nerekeh”.
Dalam cerita ”Sumpah Orang Barok” dikisahkan Raja Barok yang merupakan pemimpin suku laut selalu menyuguhkan gubal kepada para tamu yang datang. Gubal adalah parutan sagu basah yang dicampur dengan kelapa parut kemudian digoreng tanpa minyak. Makanan itu pengganti nasi.
Adapun ”Asal Mula Kampung Nerekeh” adalah kisah tentang seorang raja kejam yang dikutuk mati kepanasan. Meski berkisah tentang hukuman kepada seorang raja lalim, cerita itu juga memuat deskripsi tentang Kampung Nerekeh yang digambarkan rindang dikelilingi pohon sagu subur dan lebat.
Pada zaman Sultan Sulaiman itulah perniagaan sagu di Lingga mencapai puncaknya. Secara khusus, Sultan mendatangkan bibit sagu dari Serawak, Malaysia, untuk mempercepat perluasan kebun di Lingga. Ratusan pendatang dari Tiongkok diterima Sultan untuk bekerja di perkebunan dan kilang pengolahan sagu. Adapun kapal niaga kesultanan yang terkenal, di antaranya Sri Lanjut, Lelarum, dan Gempita, dikerahkan untuk menjual sagu ke Tumasik, Johor, dan Pahang.
Revitalisasi
Data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Lingga menunjukkan luas lahan sagu di kabupaten tersebut saat ini 3.314 hektar. Adapun total produksi sagu basah pada triwulan III-2019 sebesar 646 ton. Menurut rencana, revitalisasi dan penataan kebun sagu akan segera dilakukan untuk meningkatkan produksi.
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Lingga Sufahmi mengatakan, revitalisasi sagu dengan memangkas anakan tanaman sagu yang normalnya berjumlah 8-12 tunas menjadi 4 tunas telah dilakukan di beberapa desa, salah satunya di Merawang.
Selain itu, warga juga mulai didorong untuk merawat kebun dengan membasmi tanaman lain yang menghambat pertumbuhan sagu. Tujuannya adalah mengembalikan produktivitas kebun sagu tua milik warga yang selama puluhan bahkan ratusan tahun tidak pernah dirawat dan kini berubah menjadi seperti hutan.
”Berbeda dengan daerah lain, sagu di Lingga itu mayoritas tidak berupa hutan, tetapi perkebunan buatan. Pada zaman Sultan Sulaiman, warga diberi geran (semacam sertifikat) tanda hak milik atas kebun sagu,” kata Ketua Perhimpunan Pendayagunaan Sagu Indonesia Wilayah Lingga Deddy Zufriandy Noor.
Selain mendukung upaya revitalisasi, Deddy berharap sagu di Lingga dikembangkan dengan tetap dikelola warga. Jika diserahkan kepada industri, ia khawatir kebun sagu yang luasnya hanya 3.314 hektar itu tidak akan bertahan lebih dari 10 tahun dan justru akan menghilangkan mata pencarian petani sagu saat ini.
Dengan terbitnya Indikasi Geografi Sagu Lingga dari Kementerian Hukum dan HAM pada pertengahan Oktober lalu, ia berharap harga sagu jenis tuni atau runggamanu (Metroxylon rumphii martius) di Lingga dapat semakin meningkat. Hal ini penting untuk menarik minat orang muda terlibat dalam produksi sagu.
Waktu tidak dapat diputar kembali. Kesultanan Riau-Lingga sudah lama runtuh. Namun, harapan masih ada pada ribuan hektar kebun sagu yang tersisa. Jika upaya revitalisasi membuahkan hasil, mungkin saja kemakmuran dan kemandirian pangan zaman Sultan Sulaiman bisa kembali dinikmati masyarakat Lingga.