Kemajuan teknologi membuat industri mampu menghasilkan tekstil cetak bermotif wastra atau kain tradisional dengan harga jauh lebih rendah. Namun, tetap ada optimisme wastra akan tetap lestari menghadapi tantangan itu.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Kemajuan teknologi membuat industri mampu menghasilkan tekstil cetak bermotif wastra atau kain tradisional dengan harga jauh lebih rendah. Namun, tetap ada optimisme wastra akan lestari menghadapi tantangan itu. Kecintaan pada wastra perlu terus ditanamkan, terutama kepada anak-anak muda.
Hal itu mengemuka dalam ASEAN Traditional Textile Symposium ke-7 yang digelar di Hotel Royal Ambarukmo, Yogyakarta, Selasa (5/11/2019). Ini merupakan acara tahunan yang diadakan bergilir di negara-negara se-Asia Tenggara.
Tema yang diambil tahun ini adalah ”Embracing Change, Honouring Culture”. Hadir permaisuri Raja Malaysia Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong XVI Al-Sultan Abdullah Ri’ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah, yakni Raja Permaisuri Agong Tunku Hajah Azizah Aminah Maimunah Iskandariah.
Presiden Traditional Textile Arts Society of South East Asia (TTASSEA) Gusti Kanjeng Bendoro Raden Ayu Adipati (GKBRAy) Paku Alam X mengatakan, tantangan terberat wastra saat ini adalah produksi kain cetak (printing) bermotif tradisional. Produksi kain cetak dapat dilakukan dengan cepat, sementara waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi selembar wastra sangat panjang.
Ia mencontohkan, dalam selembar kain batik, nitik (membuat ribuan titik yang disusun dengan ukuran dan jarak yang tepat sehingga membentuk gambar geometris) bisa dibuat dalam kurun waktu sedikitnya dua minggu. Harga kainnya juga bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Namun, kain yang dicetak dengan motif tradisional bisa membuat bentuk yang serupa dengan harga yang sangat murah. Hanya sekitar Rp 50 ribu saja. Semakin lama, motif yang ditiru pun bisa semakin beraneka ragam.
”Kita tidak bisa menghentikan perubahan itu. Perubahan akan terus mengalir. Tetapi, kita harus menghargai tradisi,” kata GKBRAy Paku Alam X.
Hal yang seharusnya dilakukan adalah bereksplorasi untuk menemukan berbagai peluang yang bisa dijajaki.
Executive Committee ASEAN Traditional Textile Symposium Ke-7 Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas mengatakan, wastra adalah jantung budaya dari masyarakat se-Asia Tenggara. Kain merupakan manifestasi tradisi yang memuat nilai luhur dengan keindahan.
Menurut Hemas, perubahan akan selalu terjadi. Tradisi pun tak bisa mengelak dari perubahan itu. Hal yang seharusnya dilakukan adalah bereksplorasi untuk menemukan berbagai peluang yang bisa dijajaki.
“Harapannya, melalui simposium ini, kita semakin sadar bahwa inovasi menjadi komponen penting bagi kemajuan tekstil di Asia Tenggara. Itu sekaligus menjadi cara agar tradisi ini bisa terus bertahan di tengah masyarakat,” kata Hemas.
GKBRAy Paku Alam X menambahkan, untuk itu generasi muda perlu mengenali wastra Nusantara. Dengan cara itu, wastra diyakini akan terjamin kelestariannya. Bakal muncul kesadaran untuk membeli atau mengoleksi wastra-wastra asli demi keberlangsungan para perajin yang kian tergerus oleh industri kain bermotif wastra yang dicetak.
Selain itu, proses kreatif pada wastra juga akan membuat wastra kian menarik perhatian. Adapun modifikasi dalam bentuk pakaian hendaknya disesuaikan dengan konteks kekinian. Lewat jalan itu, ia merasa optimistis wastra akan terus bertahan dengan melintasi zaman.
”Mereka (anak muda) bakal memakainya dengan corak-corak kekinian. Jadi, mereka tidak merasa bahwa (wastra) ini zadul (zaman dulu). Saya rasa, wastra Nusantara sudah selalu mengikuti perkembangan zaman,” ujarnya.
Ignacio, pemilik Gading Haumara, mengharapkan ada gerakan yang dibentuk pemerintah untuk membuat masyarakat semakin cinta terhadap wastra. Ia meyakini kecintaan terhadap wastra akan mampu membuat orang mau menerima mahalnya harga selembar wastra yang diproduksi dengan proses yang panjang.
Adapun wastra yang dibuat Ignacio adalah tenun dari Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Ia telah memasarkan kain tenunnya hingga ke Amerika Serikat dan Jepang. Jumlah yang bisa dijualnya 30-40 lembar per bulan dengan harga mulai dari Rp 2,5 juta sampai puluhan juta per lembar.
Meskipun dalam 10 tahun terakhir konsumen dari dalam negeri mulai meningkat, lanjut Ignacio, dirinya juga mengkhawatirkan tekanan industri kain bermotif wastra yang diproduksi dengan cara printing. Kain-kain tersebut dijual jauh lebih murah dibandingkan dengan kain tenun asli. Hanya berkisar Rp 250.000-Rp 300.000 per lembar.
”Ini bisa mematikan tenun yang asli karena harganya jauh lebih murah,” kata Ignacio. Ia melihat printing semata-mata hanya berorientasi uang. Padahal, motif yang digunakan bukan motif produksi sendiri, melainkan motif yang dihasilkan perajin. ”Sayang sekali, perajin tidak dapat dari apa yang mereka ciptakan itu,” kata Ignacio.
Meski demikian, kain tenun asli tetap memiliki keunggulan, yaitu nilai yang termuat di dalamnya. Cerita dari setiap kain itu yang memberikan nilai tambah sehingga menarik minat konsumen. Ia optimistis, wastra bisa semakin laris di pasaran.
”Sekalipun ada jiplakan hasil karya kami, mereka sekadar menjual kain. Tapi, kami tidak sekadar menjual kain. Ada cerita-cerita di balik itu. Ini yang membuat kami berbeda. Juga bagaimana kain ini dibuat dengan warna alam. Ini yang kami galakkan,” kata Ignacio.
Proses pembuatan yang panjang juga terjadi pada wastra dari Filipina, yakni pina seda. Wastra itu dibuat dengan cara menenun serat daun nanas. Butuh lebih dari 200 lembar daun nanas untuk menghasilkan selembar pina seda.
Setidaknya perlu waktu tiga minggu untuk mengolah serat daun itu menjadi selembar kain. Itu belum ditambah waktu penanaman dan pengepulan daun nanas.
Raquel Elisario, perajin pina seda, mengatakan, tantangan yang dihadapinya adalah menjelaskan kepada pembeli panjangnya proses produksi yang membuat harganya tinggi. Selembar kain pina seda dihargai 9.000 peso atau setara dengan Rp 2,5 juta.
”Ini yang paling menantang. Kami harus menjelaskan kepada orang-orang sulitnya membuat kain tradisional ini. Prosesnya juga begitu panjang,” kata Raquel.
Namun, pina seda sudah mendapatkan perhatian dari pemerintah di negaranya. Anak-anak muda dilatih untuk membuat kain tersebut sehingga petenun pina seda semakin banyak.