Pemilu Amerika Serikat tinggal setahun lagi. Pilihan politik yang mengerucut pada dua kekuatan utama politik, Demokrat dan Republik, akan menciptakan polarisasi tajam.
WASHINGTON, SENIN —Hitung mundur satu tahun menuju pemilihan umum Amerika Serikat baru saja dimulai, Minggu (3/11/2019). Polarisasi politik di tengah publik AS pun diperkirakan kian menguat.
Terbelahnya preferensi politik publik AS tersebut sebenarnya telah terjadi sejak lebih dari setengah abad lalu. Ketika itu protes terhadap perang dan hak-hak sipil muncul di kota-kota di AS.
Polarisasi politik saat ini menggambarkan perpecahan sosial ekonomi di antara komunitas kulit putih di perdesaan, yang secara ekonomi dirugikan oleh alih daya dan otomatisasi industri, dan masyarakat perkotaan yang lebih beragam dan secara ekonomi menikmati keuntungan dari teknologi dan jasa.
Kondisi tersebut sudah ada sebelum Donald Trump menjadi Presiden. Namun, masa kepresidenan Trump dinilai justru memperburuk situasi tersebut. Trump menyebut lawan-lawan politiknya sebagai ”sampah manusia”, sementara Demokrat memandang visi Trump untuk masa depan AS sebagai kutukan bagi nilai-nilai pendiri bangsa.
Trump menyebut lawan-lawan politiknya sebagai ”sampah manusia”.
Berimbang
Baik Republik maupun Demokrat memiliki basis dukungan masing-masing. Sejauh ini belum terlihat mana yang lebih unggul di antara kedua kubu itu.
Proyeksi terbaru dari tim ilmu politik di Universitas Virginia memperlihatkan bahwa dua kekuatan politik, yaitu Demokrat dan Republik, masih berimbang dengan masing-masing memimpin di 248 dewan elektoral atau kurang dari jumlah minimal untuk menang, yaitu 270 dewan elektoral.
”Sepertinya Republikan dan Demokrat tidak bisa dikalahkan,” kata Mark Updegrove, sejarawan presiden dan Kepala Lyndon Baines Johnson Foundation.
”Kedua kekuatan memiliki versi masing-masing atas realitas, apakah itu berdasarkan kebenaran atau tidak,” ujarnya.
Keterbelahan pun tergambar dari proses inisiatif pemakzulan Trump yang didorong anggota Demokrat di DPR AS. Setiap anggota DPR dari Republik menentang upaya ini.
Meski berimbang, Trump berani bertaruh bahwa Republikan yang ”marah” atas pemakzulan dirinya oleh Demokrat di DPR AS bisa mengantarkan dirinya kembali menjadi presiden AS.
Trump mengatakan, dirinya ”sangat percaya diri” terpilih kembali. ”Kami sangat bagus dalam jajak pendapat.”
Agar menang kampanye, Trump perlu menciptakan antusiasme di antara pendukung fanatiknya, sebuah pekerjaan yang tidak selalu mudah bagi petahana yang terbebani dengan rekam jejaknya pada periode pertama.
Research menunjukkan, 82 persen pendukung Demokrat dan 74 persen Republikan tertarik pada pemilu.
Namun, Trump telah mengandalkan kebijakan imigrasi yang memotivasi para pemilihnya tahun 2016. Alih-alih membujuk independen dan Demokrat untuk mengalihkan dukungan kepadanya, kampanye Trump akan lebih prospektif menyasar Republikan yang tak memilihnya pada tahun 2016.
Sementara itu, di kubu yang berseberangan, Demokrat belum memiliki kandidat presiden yang definitif. Hingga kini ada empat nama yang memuncaki berbagai jajak pendapat, yaitu Senator Elizabeth Warren, Senator Bernie Sanders, Wali Kota South Bend, Indiana, Peter Buttigieg, dan mantan Wakil Presiden AS Joe Biden.
Kendati terjadi polarisasi, terdapat satu hal yang menjadi persamaan antara Republikan dan Demokrat, yaitu antusiasme dalam kampanye. Padahal, saat ini masih pada tahap awal pemilu.
Jajak pendapat oleh The Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research menunjukkan, 82 persen pendukung Demokrat dan 74 persen Republikan tertarik pada pemilu. (AFP/AP)