Desa Tangkahen di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, dikepung penambangan ilegal dan pembalakan liar. Namun, warga desa itu bangkit dan berubah dari perusak menjadi penjaga lingkungan. Dibentuknya hutan desa menjadi titik balik perjuangan mereka menjaga lingkungannya lewat ekowisata.
Desa yang letaknya 91 kilometer dari Kota Palangkaraya itu merupakan salah satu desa tua di Kalteng. Desa ini bersejarah bagi masyarakat Dayak. Sebagian suku Dayak di Kalteng percaya bahwa di desa ini tempat para dewa turun dan mengajarkan kepercayaan mereka, Kaharingan. Para dewa dan dewi ini turun menjadi manusia, tinggi, besar, perkasa, dan bijaksana.
Bahkan, peninggalan dari para dewa itu dipercaya masih ada di desa ini. Beberapa peninggalan itu berupa sisa-sisa jembatan atau tangga yang dibuat dewa. Bentuknya berupa kayu-kayu tua yang disimpan warga desa. Kayu-kayu itu merupakan kayu baja atau ulin (Eusideroxylon zwageri).
Selain mitos tentang para dewa, di tempat ini terdapat tugu Gerakan Mandau Telawan Pancasila (GMTPS) pada 1953 silam. GMTPS merupakan gerakan tokoh-tokoh Dayak di Kalteng saat itu untuk menjadikan Kalteng sebagai provinsi yang terlepas dari Kalimantan Selatan.
Para dewa dan dewi ini turun menjadi manusia, tinggi, besar, perkasa, dan bijaksana.
Kini, desa yang dikelilingi Sungai Kahayan itu banyak mengalami perubahan. Hampir di sepanjang sungai di desa itu dipenuhi oleh kato pasang atau alat pengisap emas di sungai. Jumlahnya sekitar enam hingga delapan alat pengisap.
Sebagian masyarakat memang menambang emas secara ilegal di sungai. Sebagian lagi merupakan pembalak liar. Namun, perubahan dari perilaku merusak lingkungan mulai terasa sejak Hutan Desa Tangkahen hadir di tempat itu.
Beralih wisata
Kamis (22/8/2019), Buyung (38) menyiapkan parangnya dan bersiap menuju hutan desa. Ia berangkat bersama tiga warga Tangkahen lainnya. Hutan desa itu luasnya 162 hektar. Ada beberapa rute untuk bisa masuk ke hutan desa itu. Rute yang paling digemari pengunjung adalah dengan berjalan kaki selama lebih kurang dua jam hingga masuk ke dalam jantung hutan desa. Pengunjung benar-benar disuguhi tutupan hutan dengan pohon-pohon yang rimbun. Satwa dan tumbuhan dilindungi. Hutan ini juga penuh dengan tanaman obat.
Di dalam hutan, pengunjung bisa menginap di rumah pohon yang dibuat pada tahun 2018. Selain rumah pohon, di dalam hutan juga terdapat pondok wisata yang mampu memuat ratusan orang. ”Di sini kalau pagi hari bisa mendengar nyanyian owa-owa dan berbagai burung lainnya,” kata Buyung.
Pondok wisata dibangun menggunakan dana desa sebesar Rp 125 juta pada tahun 2017 dan Rp 125 juta lagi pada tahun 2018. Terdapat dua pondok wisata yang dibangun, satu yang menjadi pondok utama, kedua dibuat seperti rumah pohon. Anggaran tersebut diberikan pemerintah desa melalui badan usaha milik desa yang bergerak di bidang ekonomi kreatif. Selain membuat pondok, BUMDes Tangkahen juga memiliki usaha mebel.
Pondok wisata dibuat dengan konsep huma betang atau rumah panjang yang merupakan ciri khas suku Dayak. Rumah dibuat tinggi hingga mencapai empat sampai lima meter. Dari pondok atau rumah pohon itu, pengunjung bisa menikmati keindahan alam Hutan Desa Tangkahen atau sekadar mendengarkan kicauan merdu burung. Lokasi ini cocok bagi pengunjung yang ingin menjauhi ingar bingar kota.
Sejak dibentuk, pertama tujuannya hanya satu, untuk masa depan anak-anak kami.
Hutan dikelola serta dijaga hingga menjelma menjadi destinasi ekowisata dan konservasi. Di dalamnya tersimpan beragam kekayaan alam. Rahmat Saduri, salah satu inisiator hutan desa, mengungkapkan, pembentukan hutan desa itu didasari keinginan masyarakat untuk menjaga lingkungan. Selain itu, hutan desa menjadi titik balik masyarakat Tangkahen dari perusak menjadi penjaga.
”Sejak dibentuk, pertama tujuannya hanya satu, untuk masa depan anak-anak kami. Kami khawatir mereka tidak bisa menikmati kekayaan alam Kalteng,” ungkap Saduri. Hutan desa itu kemudian mendapatkan izin dan sertifikat langsung dari Presiden Joko Widodo pada Desember 2016.
Meskipun demikian, persiapan hingga mencapai kesepakatan untuk membentuk hutan itu sudah dilakukan sejak 2010. Membutuhkan waktu lebih kurang enam tahun hingga masyarakat bisa menikmati dan menjaga hutannya dengan skema hutan desa. Mereka tak sendiri karena didampingi sejumlah lembaga, mulai dari
pemerintah hingga Lestari USAID.
Difasilitasi
Kepala Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Kahayan Tengah Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Kamalludin mengungkapkan, dengan skema hutan desa, masyarakat bisa tidur tenang tanpa diganggu konflik lahan seperti yang terjadi di daerah lain di Kalteng.
”Kami sedang berupaya agar ini tidak hanya menjaga lingkungan semata, tetapi juga menjadi revitalisasi ekonomi untuk masyarakat sehingga mereka juga berubah, ini berkembang terus,” kata Kamalludin. Tak hanya KPH, inisiatif dan upaya masyarakat juga didukung oleh pemerintah daerah.
Selama bisa merawat alam dengan baik, alam akan memberikan keuntungan untuk manusia.
Bupati Pulang Pisau Edy Pratowo mengungkapkan, pihaknya sudah membuat perencanaan untuk membuka jalan menuju hutan desa. ”Tak hanya jalan, kami juga akan bangun sumur agar pengunjung tidak kesulitan ngambil air,” kata Edy.
Fasilitas di hutan desa sudah lengkap dan pernah dikunjungi tamu dari luar negeri maupun dari masyarakat sekitar sekadar menikmati hutan atau meneliti hutan hujan tropis khas Kalimantan. Paket-paket wisata saat ini lebih siap dan Hutan Desa Tangkahen siap memanjakan pengunjung lewat hutan dan keanekaragaman hayati yang eksotis.
Bagi masyarakat adat Dayak, alam bukan benda mati yang bisa dikuasai atau dieksploitasi. Selama bisa merawat alam dengan baik, alam akan memberikan keuntungan untuk manusia. Mereka pun berubah dari petambang emas ilegal menjadi petambang kesejahteraan.