BAGHDAD, SENIN— Aksi unjuk rasa terus berlangsung dan telah menewaskan lebih dari 250 orang di Irak. Aksi ini tidak lagi hanya menuntut perombakan struktur politik. Para pengunjuk rasa juga mengobarkan sentimen anti-Iran.
”Pemimpin kami dalam genggaman Iran,” kata Azhar (21), seorang pengunjuk rasa di Baghdad, Irak, Senin (4/11/2019). Bahkan, dalam unjuk rasa di Karbala, Minggu malam, massa menyerbu konsulat Iran. Mereka menurunkan bendera Iran dan memasang bendera Irak.
”Iran dan pihak-pihak yang terkait dengan Iran membahayakan kami. Kami tidak akan membiarkan orang Iran mana pun di Karbala atau daerah lain di Irak,” kata pengunjuk rasa yang tidak mau diungkap identitasnya.
Aparat Irak menembakkan senjata untuk membubarkan unjuk rasa di Karbala. Akibatnya, seperti dikonfirmasi tim medis, tiga orang tewas karena tembakan itu. Sementara belasan orang lain terluka akibat tembakan atau lemparan.
”Mereka tidak menembak ke udara. Mereka berniat membunuh, bukan membubarkan. Mereka membunuh sesama warga (Irak) demi negara lain?” kata pengunjuk rasa yang lain di Karbala.
Mereka tidak menembak ke udara. Mereka berniat membunuh, bukan membubarkan.
Kementerian Luar Negeri Irak mengecam keras serangan terhadap konsulat Iran itu. ”Keamanan misi diplomatik dan konsulat adalah garis merah yang tak bisa ditabrak,” demikian pernyataan Kemlu Irak.
Meski rumit, Irak-Iran berhubungan dekat. Teheran memasok listrik dan menjadi sumber impor penting bagi Baghdad. Teheran juga mempunyai pengaruh penting dalam politik Baghdad lewat kelompok milisi bersenjata Hashed al-Shaabi dan faksi Fatah, pemilik kursi terbanyak kedua di parlemen Irak pimpinan Hadi al-Amiri.
Mayor Jenderal Qasem Soleimani, Komandan Brigade Quds yang mengurusi operasi Garda Revolusi Iran di luar negeri, dilaporkan bolak-balik ke Baghdad gara-gara unjuk rasa di Irak. Pekan lalu, ia dikabarkan memimpin pertemuan di kantor Perdana Menteri Irak. Ia meminta Amiri mempertahankan pemerintahan PM Adel Abdul Mahdi.
”Mereka menyepakati cara menangani unjuk rasa yang memungkinkan kepemimpinan sekarang bertahan,” kata seorang pejabat Irak yang mengetahui pertemuan itu.
Perombakan
Dukungan Iran itu menjadi salah satu alasan pengunjuk rasa menuntut perombakan struktur politik. Struktur sekarang dinilai merupakan hasil kesepakatan yang dituding diarahkan Amerika Serikat setelah menumbangkan Saddam Husein pada 2003. Pembagian kekuasaan dengan basis sektarian masih bertahan di Irak sampai sekarang.
Partai politik sektarian berbagi kursi menteri, lalu menyerahkan aneka kontrak yang didanai APBN kepada pendukungnya. Pola itu membuat aneka proyek APBN tidak dapat diandalkan dan pelayanannya buruk. Listrik kerap padam, air dari PDAM tidak layak minum, dan infrastruktur hancur.
Sebanyak 20 persen warga Irak hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara hingga 25 persen pemuda di negeri itu menganggur. Padahal, Irak adalah pemilik cadangan minyak terbesar keempat. Namun, hanya sedikit orang diuntungkan oleh kekayaan itu. Struktur politik sektarian dituding menyebabkan kondisi itu lestari sejak 2003. Kondisi Irak tak kunjung membaik hingga 16 tahun sejak invasi ke Irak yang berujung kejatuhan Saddam Husein.