Salah satu ciri praktik demokrasi adalah berisik. Gaduh. Namun, jikalau prosesnya berjalan baik, demokrasi akan memastikan tak ada penyalahgunaan kekuasaan.
Dengan kerangka itulah kita berusaha memahami proses politik paling hangat yang terjadi di DPR Amerika Serikat. Kubu Demokrat tengah mengerahkan tenaga untuk menjalankan proses yang nantinya mungkin berujung pada rekomendasi DPR agar Presiden Donald Trump dimakzulkan.
Proses di DPR berlangsung dengan ditandai pemanggilan pejabat intelijen dan pejabat pemerintah untuk bersaksi seputar pembicaraan telepon antara Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Semula keterangan diberikan tertutup. Lewat pengesahan oleh DPR pada 31 Oktober silam, keterangan kini diberikan terbuka.
Tentu proses ini gaduh dan berisik. Media terus mewartakan dinamika yang terjadi. Pernyataan keras kedua kubu yang berseberangan, Republik dan Demokrat, diamplifikasi. Republik menolak proses politik yang diprakarsai Demokrat. Sebaliknya, politisi Demokrat terus mengundang para pejabat menghadiri pemeriksaan. Ada pula pernyataan tajam Trump kepada pemimpin Demokrat di DPR, Nancy Pelosi.
Pemicu proses itu ialah pembicaraan telepon antara Trump dan Zelensky pada 25 Juli 2019. Trump dilaporkan meminta Zelensky menyelidiki dugaan korupsi Joe Biden dan putranya, Hunter Biden, terkait bisnis mereka di Ukraina. Pejabat intelijen AS yang bertugas mendengarkan pembicaraan itu melapor kepada atasannya mengenai isi pembicaraan Trump yang dirasa berpotensi melanggar undang-undang (UU).
Apa yang salah dengan permintaan Trump itu? UU di AS melarang peserta pemilu melibatkan pihak asing untuk mencapai kemenangan. Langkah meminta pemeriksaan atas Biden dinilai bertujuan menghambat mantan Wakil Presiden AS itu berkompetisi pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2020. Hal yang memberatkan lainnya, permintaan itu ditengarai dikaitkan dengan bantuan militer AS terhadap Ukraina.
Deretan pejabat Gedung Putih, termasuk yang terkait dengan bidang anggaran, dijadwalkan dipanggil oleh DPR. Mereka mungkin menolaknya. Namun, sudah ada sejumlah pejabat intelijen yang hadir. Ada analisis menyebut, mereka yang hadir adalah representasi ”deep state”, semacam aparat birokrasi yang selama ini diam-diam berseberangan dengan Presiden. Peran mereka krusial dalam proses di DPR itu.
Tidak salah jika semua ini dilihat sebagai wujud persaingan menuju Pilpres 2020. Demokrat tak mau jagoan mereka, Biden, dijegal begitu saja. Sebaliknya, Republik menolak langkah Demokrat yang menyerang kandidat kuat Trump.
Satu hal yang pasti, proses yang sedang berlangsung menunjukkan tak ada kekuasaan absolut dalam demokrasi yang sehat. Setiap pihak memiliki perangkat melakukan pengawasan dan membuat penyeimbangan. Pemenang pilpres sekalipun tak leluasa menyalahgunakan kekuasaan. Ia harus selalu mematuhi dan melaksanakan perintah UU.