Keputusan pemerintah menaikkan iuran kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat atau JKN-KIS perlu disertai pembenahan program secara menyeluruh.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah menaikkan iuran kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat perlu disertai dengan pembenahan program secara menyeluruh. Di sisi lain, upaya promotif preventif perlu terus didorong agar tidak makin membebani biaya kesehatan.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, di Jakarta, Selasa (5/11/2019) mengatakan defisit program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) tidak bisa diatasi dengan menaikkan iuran peserta saja. Pembenahan lain perlu dilakukan beriringan, mulai dari manajemen Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, penguatan promotif-preventif, hingga membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya JKN-KIS.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menambahkan, sebelum rencana kenaikan iuran itu diberlakukan, pemerintah dan BPJS Kesehatan seharusnya membersihkan data penerima bantuan iuran (PBI) dulu.
”Sejumlah warga mampu masih masuk data PBI," katanya. Padahal, banyak warga miskin dan tidak mampu justru tak tercakup dalam PBI.
Selain itu, semua perusahaan juga harus dipastikan mendaftarkan pekerjanya jadi peserta JKN-KIS. Dana kenaikan cukai rokok juga harus dipastikan dialokasikan bagi pembiayaan BPJS Kesehatan dan promotif preventif.
Defisit BPJS Kesehatan jadi konsekuensi dari besaran iuran JKN-KIS yang sejak awal lebih rendah dari nilai keekonomiannya. Ketentuan menaikkan iuran tiap dua tahun pun tak dipatuhi. Akibatnya, sejak beroperasi 2014, BPJS Kesehatan terus merugi, layanan tak optimal, serta tenaga kesehatan dan rumah sakit mengeluhkan rendahnya bayaran layanan.
Strategi komunikasi
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional Tubagus Achmad Choesni menilai, pemerintah dan BPJS Kesehatan perlu menyiapkan strategi komunikasi kenaikan iuran dengan baik hingga masyarakat bijaksana menerima.
”Penolakan sebagian kalangan, meningkatnya peserta nonaktif, dan peserta yang turun kelas perawatan terjadi karena pemahaman terkait prinsip gotong royong dan keberlanjutan program JKN-KIS belum terbentuk dengan baik,” ujarnya.
Pemerintah dan BPJS Kesehatan perlu masif mendekati tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat. Prinsip gotong royong JKN-KIS perlu dipertegas, yang mampu membiayai yang tidak mampu dan yang sehat membantu yang sakit.
Hingga kemarin, penolakan kenaikan iuran JKN-KIS berlangsung di sejumlah daerah. Di Sidoarjo, Jawa Timur, 500-an buruh dari Persatuan Pekerja Buruh Sidoarjo berunjuk rasa di dinas tenaga kerja dan alun-alun setempat. ”Kenaikan tinggi berdampak luas pada perekonomian masyarakat,” kata Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Jatim Ahmad Fauzi.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan warga miskin dan tidak mampu pasti dijamin iurannya oleh pemerintah. Saat ini, 96,8 juta penduduk miskin dan tak mampu jadi peserta JKN-KIS dari kelompok PBI. Jika ditambah PBI daerah, totalnya 133 juta orang.
Selain itu, masyarakat peserta mandiri juga bisa memilih kelas perawatan sesuai kemampuan. Prinsipnya, semua kelas perawatan memberi pelayanan medis yang sama berkualitas.
Menurut Fahmi, peserta mandiri kelas I dengan iuran Rp 160.000 per bulan hanya perlu menyisihkan Rp 5.000 per hari. Untuk kelas II dengan iuran Rp 110.000 per bulan setara Rp 3.600 per hari. Untuk kelas III dengan iuran Rp 42.000 per bulan setara Rp 1.400 per hari. ”Jumlah itu sangat kecil dibandingkan pulsa yang dibeli masyarakat,” ucapnya.
Pencegahan penyakit
Dalam Rapat Dengar Pendapat DPR antara Komisi IX dengan Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan, anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Kurniasih Mufidayati, mengingatkan pembangunan kesehatan nasional harus lebih berbasis pada upaya promotif dan preventif, bukan kuratif seperti selama ini. ”Jika promotif-preventif berjalan, beban kesehatan tak akan besar,” katanya.
Penyebab defisit BPJS Kesehatan, antara lain, besarnya biaya untuk mendanai sejumlah penyakit katastropik atau berbiaya tinggi yang bisa dicegah, seperti jantung, gagal ginjal, dan diabetes. BPJS Kesehatan mencatat beban penyakit katastropik pada Januari-Agustus 2019 Rp 15,4 triliun. Padahal, selama 2018 biayanya Rp 20,4 triliun. Dengan demikian, beban biaya penyakit katastropik diprediksi naik hingga akhir 2019.
Menanggapi itu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan, revitalisasi puskesmas akan dilakukan. Ke depan, puskesmas tak menekankan layanan pada aspek kuratif, tetapi juga promotif-preventif. Tenaga kesehatan di puskesmas didorong datang ke warga hingga akses kesehatan kian mudah. (M ZAID WAHYUDI/DEONISIA ARLINTA/RUNIK SRI ASTUTI/C ANTO SAPTOWALYONO/AYU PRATIWI)